Perempuan itu bukan aktivis top, bukan tokoh politik, apalagi tokoh ekonomi. Namun, namanya dikenal oleh para artivis buruh, yang berjuang menegakkan hak-hak buruh di era Orde Baru yang represif. Nama perempuan itu sederhana dan singkat, sesingkat kehidupannya: Marsinah.

Lahir di Desa Nglundo, Sukomoro, pada 10 April 1969, Marsinah adalah buruh pabrik arloji PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Ketidakmampuan ekonomi tidak menyurutkan dirinya untuk terus belajar dan menimba ilmu. Meski terpaksa mengubur cita-citanya untuk berkuliah di IKIP (sekarang UPI), sebagai buruh pabrik, Marsinah tetap rajin membaca.

Selain senang membaca, Marsinah membekali diri dengan mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris. Ia percaya, pengetahuan dapat mengubah kehidupan seseorang. Marsinah juga rajin mengkliping koran yang menjadi koleksinya tersendiri. Marsinah punya sifat pemberani dan setia kawan. Hal itu ditunjukkan dengan selalu membela buruh lain yang diperlakukan tidak adil oleh majikan.

Aktivitas Marsinah sebagai pejuang buruh dilatarbelakangi keluarnya Surat Edaran No. 50/Th. 1992 dari Gubernur Jawa Timur. Surat itu mengimbau pengusaha agar menaikkan kesejahteraan buruhnya, dengan menaikkan gaji sebesar 20% dari gaji pokok. Imbauan itu disambut gembira oleh buruh, namun tak disukai pengusaha karena menambah pengeluaran perusahaan.

Pada pertengahan April 1993, buruh PT. CPS rapat dan membahas Surat Edaran tersebut. Mereka memutuskan untuk berunjuk rasa pada 3 dan 4 Mei 1993. Pada 3 Mei, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat waktu itu dikerahkan untuk mencegah aksi buruh.

Pada zaman Orde Baru, gerakan buruh mengalami intimidasi yang cukup kuat. Organisasi buruh yang ada dibatasi hanya pada satu payung, yaitu SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Penyelesaian kasus perburuhan pada masa Orde Baru dianggap tidak adil dan dengan mengandalkan kekuatan militer. Bahkan militer terlibat langsung dan menjadi bagian dari Pola Penyelesaian Hubungan Industrial. Mereka diberi wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan yang cenderung represif, guna menghentikan perlawanan gerakan buruh.

Pada 4 Mei, para buruh mogok total. Mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen. Sampai 5 Mei, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam unjuk rasa dan perundingan. Marsinah menjadi salah satu dari 15 perwakilan karyawan yang berunding dengan pihak perusahaan.

Namun, pada 5 Mei siang, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dituding menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah marah mendengar kabar itu dan mengancam akan melapor ke pengadilan. Ia sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya, yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim.

Namun setelah itu, sekitar pukul 22.00, Marsinah lenyap. Pada 6-7 Mei, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya. Pada 8 Mei, Marsinah ditemukan di hutan Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur, telah menjadi mayat. Saat tewas, usianya baru 24 tahun. Pada jenazahnya terdapat tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo, Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat. Tulang leher dan panggul Marsinah remuk.

Pada 30 September 1993, dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk menyelidiki dan menyidik kasus pembunuhan Marsinah. Delapan petinggi PT. CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari, Kepala Personalia. Mutiari, satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat, yang kemudian diketahui sebagai Kodam V /Brawijaya.

Setiap yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT. CPS, Yudi Susanto, termasuk yang ditangkap. Baru 18 hari kemudian, diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat Kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.

Pada 1993, oleh 10 lembaga nonpemerintah, dibentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM), yang khusus mengadvokasi dan menginvestigasi pembunuhan Marsinah oleh aparat militer. KSUM melakukan berbagai aktivitas untuk mendorong perubahan dan menghentikan intervensi militer dalam penyelesaian perselisihan perburuhan.Tokoh HAM Munir adalah salah satu pengacara buruh PT. CPS, dalam menghadapi Kodam V/Brawijaya, Depnaker Sidoarjo, dan PT. CPS.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain dihukum empat hingga 12 tahun penjara. Mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya di tingkat kasasi, Mahkamah Agung membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan ini menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak, sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini sudah “direkayasa.”

Atas perjuangan dan pengorbanannya untuk membela hak-hak buruh, Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien. Kasus ini menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), dan dikenal sebagai kasus 1773. Pembunuhan Marsinah menjadi contoh kasus pelanggaran HAM yang tak tuntas diselesaikan. Sampai saat ini, siapa sebenarnya yang menyiksa dan membunuh Marsinah, tidak pernah terungkap.

Kisah Marsinah pernah diangkat ke film oleh Slamet Rahardjo, dengan judul “Marsinah (Cry Justice).” Film berbiaya sekitar Rp 4 miliar itu sempat menimbulkan kontroversi. Salah satu penyebabnya adalah munculnya permintaan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea, yang meminta pemutaran film itu ditunda. Ada juga pementasan drama monolog “Marsinah” oleh Ratna Sarumpaet, yang sempat dilarang oleh Kepolisian Malang, meski sukses dipentaskan di tujuh kota lain.

Seniman Surabaya dengan koordinasi penyanyi keroncong senior Mus Mulyadi juga pernah meluncurkan album musik dengan judul “Marsinah.” Lagu ini diciptakan oleh komponis Mas Gat untuk mengenang jasa-jasa Marsinah. Sebuah band beraliran anarko-punk yang berasal dari Jakarta, bernama Marjinal, menciptakan lagu berjudul “Marsinah.” Lagu itu didedikasikan khusus untuk perjuangan Marsinah. Marsinah mungkin berumur pendek, namun semangat perjuangannya tetap hidup sampai sekarang.

Jakarta, 24 September 2015

Artikel ini ditulis oleh: