Kiri-kanan ; Ketua PP. KAMMI Bidang Kebijakan Publik, Riko P. Tanjung, anggota DPR Fraksi PDIP/Komisi III, Masinton Pasaribu, Ketua Umum DPP AMPI, Ario Bimo Nandito, Pakar Hukum Sumber Daya Alam, Ahmad Redi saat menjadi pembicara diskusi di Jakarta, Kamis (23/3/2017). Diskusi yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat KAMMI Bidang Kebijakan Publik mengambil tema " Nasionalisasi Freeport untuk Kedaulatan Bangsa ". AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024, Masinton Pasaribu mengatakan wewenang Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai diktator konstitusi.

Ia menambahkan akan berbahaya jika ada orang yang mendesak untuk segera mengeluarkan Perppu. Lalu, Presiden menggunakan desakan itu untuk berlaku semena-mena.

“Perppu itu diktator konstitusi. Bahaya kalau soal ketatanegaraan atau konstitusi, kita diletakkan pada tekanan-tekanan,” kata Masinton saat menjadi pembicara dalam acara “Habis Demo Terbitlah Perppu” di Tebet Jakarta Selatan, Selasa (8/10).

Anggota DPR dari fraksi PDI-Perjuangan itu akan selalu memberikan pertimbangan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar tidak mengeluarkan Perppu.

Masinton mengatakan betapa berbahayanya Perppu jika dikeluarkan hanya karena ada kegentingan yang digenting-gentingkan oleh sejumlah pihak.

Ia mengatakan tatanan konstitusi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat pascaorde baru bisa rusak jika Presiden berhasil dipaksa mengeluarkan Perppu.

“Jangan ada yang mendesak-desak Presiden. Suatu saat, Presiden ke depan, mungkin bukan Jokowi. Lalu ada pedemo datang ke depan Istana menuntut dikeluarkan Perppu Pers. Lalu karena Presiden itu tidak suka kebebasan pers, dikeluarkannya lah. Rusak kebebasan Pers kita,” ujar Masinton.

Oleh karena itu, atas nama kebebasan pers dan kebebasan berpendapat, ia meminta agar jangan ada lagi yang mendorong Presiden mengeluarkan Perppu.

Ia mengingatkan bahwa publik pasti tidak ingin kebebasan pers dibatasi atas nama kegentingan yang digenting-gentingkan tadi.

Masinton mengatakan di era reformasi, semua saluran sudah disiapkan jika masyarakat ingin komplain terhadap satu produk perundang-undangan.

Salah satunya lewat Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi sebagai sarana menyampaikan komplain masyarakat terhadap satu produk perundang-undangan.

Menurut dia, suatu keanehan jika produk UU belum memiliki nomor dan bahkan belum diundangkan ke masyarakat. Lalu, ada pihak-pihak yang memaksa Presiden mengeluarkan Perppu. Seakan meminta Presiden bertindak diktator dengan membuat peraturan sendiri.

Padahal, ketika amandemen Undang-Undang Dasar di era reformasi, parlemen diberikan kuasa membuat UU, namun pembahasannya dilakukan bersama Pemerintah.

“Di situ ada distribusi kekuasaan. Itu kenapa DPR memiliki fungsi pengawasan terhadap mitra kerja kami terkait hukum, hak asasi manusia, dan keamanan,” ujar Masinton.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan