Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang sebagai salah satu proyek unggulan pemerintahan baru, seharusnya menjadi jawaban atas keresahan lama tentang gizi anak bangsa. Namun harapan yang disematkan kini dibayangi kekecewaan publik. Sejumlah kasus keracunan massal, terutama di Jawa Barat, telah mencoreng niat baik itu.

Ratusan hingga ribuan pelajar dan masyarakat menjadi korban setelah mengonsumsi makanan MBG, yang seharusnya menyehatkan tetapi justru menghadirkan ancaman kesehatan. Insiden di Bandung Barat dan Garut hanyalah puncak dari gunung es yang menunjukkan persoalan mendasar, tata kelola program yang rapuh dan rentan.

Dalam situasi yang kian panas, Presiden Prabowo akhirnya memanggil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) untuk memberikan penegasan. Instruksi yang disampaikan jelas. Dapur-dapur MBG yang bermasalah harus ditutup sementara, protokol keamanan pangan diperketat, koki dan petugas harus dilatih, hingga alat pengawasan seperti CCTV wajib dipasang.

Bahkan diminta pula agar setiap makanan diuji cepat sebelum disajikan. Langkah ini menunjukkan keseriusan Presiden untuk memulihkan kepercayaan publik, meski sejujurnya tindakan itu terkesan terlambat. Publik wajar bertanya, mengapa mekanisme pengawasan baru diperkuat setelah ribuan orang terlanjur jatuh sakit?

Kenyataan memperlihatkan bahwa sebuah program sosial berskala nasional tidak bisa dijalankan dengan logika proyek biasa. MBG bukan sekadar distribusi logistik, melainkan menyangkut kesehatan anak-anak yang rentan.

Rantai distribusi yang panjang tanpa kendali suhu, dapur yang belum memenuhi standar higienitas, serta SDM yang tidak terlatih dalam prinsip keamanan pangan, adalah kombinasi yang berbahaya. Kasus di Jawa Barat membuktikan bahwa satu celah saja sudah cukup memicu tragedi massal.

Apresiasi pantas diberikan atas sikap Presiden yang turun tangan langsung. Namun tanggung jawab tidak boleh berhenti di level instruksi politik. BGN harus berani menata ulang sistemnya, melibatkan ahli pangan, laboratorium independen, serta membuka data hasil uji ke publik. Transparansi menjadi kunci, sebab tanpa itu kepercayaan masyarakat sulit dipulihkan.

Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah juga tidak bisa lepas tangan. Koordinasi lintas lembaga diperlukan agar setiap dapur MBG tidak hanya dikelola dengan semangat birokratis, tetapi dengan standar profesional yang ketat.

Lebih jauh, kasus ini mengajarkan bahwa program populis dengan janji besar selalu menyimpan risiko jika dikebut tanpa kesiapan. Di satu sisi, gagasan memberi makan gratis memang menyentuh hati rakyat. Tetapi di sisi lain, logistik pangan adalah bisnis yang rumit, apalagi ketika skalanya nasional.

Tidak ada ruang bagi kelalaian, karena taruhannya adalah nyawa dan kesehatan masyarakat. Presiden tampaknya menyadari ini, sebab nada tegas saat memanggil Kepala BGN adalah sinyal bahwa kegagalan tidak boleh berulang.

Kini pertaruhan bukan hanya keberhasilan MBG sebagai program, tetapi juga reputasi pemerintah dalam menepati janji. Bila pembenahan dilakukan serius, MBG tetap bisa menjadi warisan positif bagi bangsa.

Namun jika dibiarkan berjalan dengan tambal sulam, kasus-kasus keracunan akan terus menghantui dan program ini akan dikenang bukan sebagai solusi gizi, melainkan sumber bencana.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto