Jakarta, Aktual.com — Melamun merupakan kondisi sesaat terputusnya pikiran seseorang dengan lingkungan sekitarnya, di mana kontak seseorang menjadi kabur dan sebagian digantikan oleh kayalan visual, khususnya tentang hal-hal yang menyenangkan, harapan atau ambisi, dan dialami dalam kondisi terjaga.
Namun demikian, bagaimana ajaran Islam memandang sifat alami manusia terhadap melamun tersebut?
“Melamun, jika bagi saya sendiri hal tersebut tidaklah penting karena hanya membuang waktu dan hanya membuat kita mempunyai pikiran yang tidak-tidak, sebenarnya tidak ada yang harus dilamuni di dalam dunia ini. Yang diperlukan di dunia ini hanyalah bagaimana caranya hidup kita bermanfaat di dunia dan akhirat, dari pada melamun lebih baik kita mengerjakan hal lain seperti memperbanyak zikir atau membaca buku,” kata Ustad Syarif Hidayatullah kepada Aktual.com, Senin (29/02), di Jakarta.
“Tahukah kita bahwasanya zina itu sangat luas cakupannya ada, bukan hanya melakukan hubungan intim di luar nikah, zina mata, zina telinga atau lain sebagainya. Melamun pun sebenarnya merupakan sebuah zina yaitu zina fikiran,” terang Ustad Syarif.
Menurut Ustad Syarif, zina pikiran, lamunan, khayalan, akan senantiasa terus berputar-putar di dalam hati manusia dan tak akan ada habis-habisnya. Apalagi kehidupan saat ini semakin penuh dengan tawaran kenikmatan dunia, maka akan semakin mendorong manusia untuk terus menerus dikuasai oleh pikiran, lamunan dan khayalannya, hingga saat datangnya kematian itu sendiri.
Ia kembali menjelaskan, manusia yang sudah dirasuki pikiran, lamunan, dan khayalannya pada kenikmatan dunia, ibaratnya seperti orang-orang yang terus-menerus mengejar fatamorgana, yang dikira akan dapat memuaskan dahaganya. Ternyata itu hanyalah khayalan, karena fatamorgana itu tak pernah berubah menjadi air yang menyejukkan tenggorokan mereka.
Allah SWT berfirman,
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ ۗ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Artinya, “Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.”( An Nur : 39)
Ustad Syarif menuturkan, bahwa lamunan sangat berbahaya bagi manusia karena dapat menyebabkan kelemahan, ketidakberdayaan, kemalasan, penyimpangan, penyia-penyiaan waktu, melalaikan perintah Allah SWT, dan hanya melahirkan kepayahan serta kelelahan.
Tatkala apabila fikiran seseorang sudah dipenuhi dengan lamunan dan khayalan, maka akan kehilangan saat menikmati alam realitas. Ia akan membayangkan bentuk khayalan di dalam hatinya, ia merasa puas dengan bentuk palsu yang sifatnya fiktif, saat itu ia melakukan sesuatu yang tidak ada gunanya sama sekali.
Ibaratnya seperti orang yang lapar dan dahaga yang membayangkan makanan atau minuman yang lezat dengan bentuk fiktifnya seakan ia makan dan minum. Sebenarnya orang yang sudah merasa puas dengan dunia khayalan itu pertanda bahwa ia telah menunjukkan dirinya berjiwa hina.
Pada hakikatnya waktu itu tak lain adalah usia manusia. Jika hidupnya hanya dalam pikirannya yang penuh dengan lamunan dan khayalan, maka pada saatnya nanti manusia tersebut akan dihadapkan dengan realitas yang sejatinya, yaitu kehidupan Akhirat.
Di sana, manusia akan mendapatkan kenyataan yang sejati tentang kehidupannya. Pikiran yang selalu dibenamkan dengan lamunan dan khayalan, yang tak berujung. Dan hanya diorientasikan kepada kenikmatan-kenikmatan yang sifatnya palsu, maka pada saat ia baru tersadar dari lamunan dan khayalan, maka ia hanya mendapatkan sebuah penderitaan yang pedih.
“Ketahuilah sebenarnya setan masuk dari dalam hati yang kosong dan melintasi pikiran, kemudian ia menyibukkan pemiliknya dengan hal-hal yang rendah. Tetapi manusia yang pikirannya hanya lamunan dan khayalan sudah dipenuhi dengan nafsu, menyebabkan bisikan setan yang akan membawanya kepada kehidupan yang rendah dan hina, lalu manusia menanggapinya sebagai kemuliaan, keindahan, dan kenikmatan,” tutur ia menambahkan.
“Maka, orang-orang yang berburu dengan kenikmatan palsu, keindahan yang hina, serta kesenangan sesaat, hakikatnya sudah menjadi pengikut dan budak setan. Mereka tidak dapat lagi membedakan mana yang bernilai al-haq, dan mana yang bernilai bathil. Semua kenikmatan yang bersumber dari bisikan setan, memupuskan segala kebaikan yang dimilikinya,” sambung Ustad Syarif.
“Karena itu, orang-orang yang menempuh jalan tasawuf mendasarkan suluk (akhlak) mereka dengan menjaga lintasan-lintasan pikiran mereka, dan senantiasa menjauhkan diri pikiran yang membawa kepada lamunan dan khayalan, yang menjerumuskan mereka ke dalam kehidupan para hamba dunia,” katanya lagi. Bersambung….
Artikel ini ditulis oleh: