Gunung Agung meletus. Selintas ini fenomena biasa. Namun tahukan anda bahwa terjadinya letusan gunung berapi, jika menelisik kesejarahannya, kerap jadi pertanda bakal timbulnya krisis ekonomi, politik dan bahkan perang berskala besar. Yang berujung pada terjadinya pergeseran kekuasaan. Atau munculnya kekuatan-kekuatan baru di pentas politik nasional maupun global. Sejarah letusan gunung merapi di Jawa Tengah dan gunung Agung di Bali, mungkin bisa jadi bahan perenungan.
Pada 18 Desember 1930, terjadi bencana besar di Jawa Tengah. Gunung Merapi meletus. Tidak kurang dari 1500 orang tewas dan 2500 hewan mati. Berhektar-hektar sawah serta ladang hancur. Ratusan rumah terbakar atau roboh.
Letusan gunung Merapi di Jawa Tengah pada 1930 ini, sepertinya bertali-temali dengan Depresi Ekonomi yang sedang melanda Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa Barat. Hanya selang sepuluh tahun sejak berakhirnya Perang Dunia I,tepatnya pada 1929, kemakmuran ekonomi masyarakat Amerika dan Eropa Barat berakhir sudah.
Antara 1929-1933, perekonomian Amerika dan Eropa memang sempat membaik berkat solusi Presiden Frank Delano Roseveelt yang terkenal dengan sebutan the New Deal. Sehingga lapangan kerja dan lapisan kelas menengah ekonomi Amerika bisa menggeliat lagi. Sayang hal itu tidak berlangsung lama. Resesi ekonomi dunia yang terjadi pada 1937-1938, kembali menggerus perekonomian Amerika dan Eropa yang sebenarnya sudah sempat membaik itu.
Pada perkembangannya kemudian, resesi ekonomi dunia yang terjadi pada 1937-1936, bermuara pada meletusnya Perang Dunia II.
Kembali ke peristiwa meletusnya gunung Merapi pada 1930, sulit untuk disangkal bahwa hal itu merupakan isyarat buruk bagi rakyat Jawa, yang terkena imbas Depresi Ekonomi 1930, Resesi Ekonomi 1937-1938, seraya mernjadi isyarat bakal terjadinya “Goro-Goro” kalau memakai istilah para spiritualis Jawa. Yaitu bakal terjadinya peristiwa berdarah yang memakan korban jiwa.
Memang kalau kita telisik keadaan perekonomian rakyat Jawa antara 1930-1940, memang cukup mengenaskan. Depresi Ekonomi 1929 dan tahun-tahun berikutnya menyebabkan runtuhnya harga-harga hampir di semua produk. Sehingga budidaya ekspor sangat merosot. Sehingga baik para pengusaha Belanda maupun orang-orang Pribumi sama-sama terpukul. Karena keduanya, meskipun berbeda kadar dan peruntungannya, sama-sama bergantung pada produk ekspor tersebut.
Khususnya bagi para petani Jawa di zaman Malaise atau sering diplesetkan jadi zaman meleset, mengalami kesulitan besar karena tidak mampu menyesuaikan diri utamanya dalam mencari penghasilan baru.
Sementara penghasilan merosot, hutang yang ada sebelum krisis tetap tidak berkurang. Alhasil, mereka terpaksa melepaskan simpanan berupa matauang emas dan perhiasan.
Namun itu baru sebagian dari cerita. Harga beberapa komoditi ekspor juga merosot di Hindia Belanda. Karena permintaan luar negeri berkurang gara-gara Depresi dan Resesi Ekonomi. Harga gula kualitas superior yang semula 13.09 gulden per 100 kg pada Oktober 1929 merosot menjjadi 6,25 gulden pada Juni 1932.
Kopi robusta merosot dari 82,37 per 100 kg pada Oktober 1929 menjadi 38.86 golden per 100 kg pada Juni 1932. Karet mentah dari 50 sen pada Oktober 1929 menjadi tujuh sen pada Juni 1932. Boleh dikatakan semua komoditi termasuk the dan timah, dilanda kemerosotan harga.
Maka, pengangguran tak terhindarkan lagi. Tenaga kerja di beberapa perkembungan diberhentikan. Termasuk tenaga-tenaga kerja kulit putih yang notabene merupakan aparat pemerintahan kolonial Belanda. Singkat cerita, akibat Depresi dan Resesi ini, orang kaya tiba-tiba jatuh miskin. Orang miskin semakin terlunta-lunta.
Kalau kita analogikan pada krisis moneter Indonesia 1997-1998, nilain rupiah terhadap dolar AS merosot sampai 80 persen. Sehingga proyek-proyek besar macet. Perusahaan-perusahaan besar runtuh. Puluhan juta tenaga kerja menganggur.
Banyak orang yang tidak tahu atau mungkin karena sibuk dengan masalahnya sendiri yang membelit, sehingga melupakan satu fakta penting. Bahwa seperti halnya meletusnya gunung Merapi 1930 yang mengawali krisis ekonomi berskala global dan berdampak pada rakyat Indonesia. Maka krisis moneter 1997-1998, juga diawali dengan meletusnya gunung Merapi. Pada 17 Januari 1997. 18 ribu penduduk mengungsi pada awal mengamuknya Merapi.
Lantas bagaimana dengan meletusnya gunung Agung? Letusan yang berlangsung saat ini tentu saja masih dini untuk disimpulkan sebagai pertanda. Namun kejadian letusan gunung Agung sebelumya, berlangsung pada Februari 1963, sering diyakini oleh para spiritualis dan para pakar sejarah esoterik, sebagai pertanda bakal meletusnya ledakan sosial berdarah alias Goro-Goro yang meletus dua tahun kemudian, ketika terjadi Gerakan September 1965.
Apakah berarti pula bahwa meletusnya gunung Agung sekarang merupakan pertanda buruk bagi para penguasa? Tentu saja masih terlalu dini untuk disimpulkan. Namun sekadar catatan berikut ini, bolehlah untuk menjadi bahan perenungan dan introspeksi.
Ketika gunung Agung pertama kali meletus pada 1808, tujuh tahun kemudian Kerajaan Belanda sepenuhnya berkuasa penuh terhadap hampi seluruh wilayah nusantara. Bahkan kongsi dagang para pengusaha swasta Belanda VOC yang mengawali kedatangannya di bumi nusantara, pada 1815 itu kemudian juga diambil-alih pemerintah kerajaan Belanda.
Pada 1823, ketika gunung Agung meletus lagi, Dua tahun kemudian pada 1825 terjadi perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Yang kelak dikenal dengan Perang Jawa. Meski perlawanan Pangeran Diponegoro dapat dikalahkan secara militer 5 tahun kemudian, namun perang Jawa tersebut telah menghancurkan mesin perekonomian dan keuangan Kerajaan Belanda. Pada masa itu juga terjadi pemberontakan di Bone Sulawesi, dan Padri di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol, yang semuanya juga dapat ditumpas secara militer oleh Belanda. Namun perlawanqan tersebut tetap menjadi legenda dan epos kepahlawanan yang tetap dilestarikan dalam Sejarah Nasional Indonesia. Betapa rakyat Indonesia di bumi nusantara, tidak pernah begitu saja menyerah ketika pihal asing bermaksud menjajah Indonesia.
Tahun 1843 gunung Agung kembali meletus. Tiga tahun setelah itu, tepatnya pada 1846, pasukan Belanda menyerbu kerajaan Buleleng Bali. Istana Singaraja kemudian dihancurkan.
Pada 1963, seperti disinggung di awal cerita, gunung Agung meletus kembali. Kali ini, Nusantara sudah dalam naungan kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan dua tahun kemudian, seperti kemudian sejarah mencatat, terjadilah pemberontakan G 30 September 1965.
Pemberontakan PKI berhasil ditumpas dengan cepat dan efektif oleh Pangkostrad Mayor Jenderal Suharto, yang kelak pada 1967 dikukuhkan menjadi pelaksa harian Presiden RI menggantikan Presiden pertama RI Sukarno. Namun rentetan peristiwa setelah itu adalah peralihan kekuasaan dari era Presiden Soekarno sang Proklamator Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah berkuasa selama 20 tahun. Kepada Jenderal TNI Suharto yang mana sejak pemilu pertama di era Orde Baru pada 1971, Suharto secara resmi menjadi Presiden RI kedua. Dan berkuasa selama 32 tahun.
Hendrajit, Redaktur Senior.