Membaca Operasi Bendera Palsu di balik red notice AS kepada Panglima TNI Gatot Nurmantyo. (ilustrasi/aktual.com)

Red notice yang ditujukan oleh pemerintah AS kepada Panglima TNI memang sarat misteri. Pada saat Pak Gatot, isteri dan delegasi siap berangkat menggunakan pesawat Fly Emirat melalui bandara Sukarno-Hatta pada Sabtu 21 Oktober 2017, sontak muncul pengumuman dari maskapai penerbangan bahwa Pak Gatot dilarang masuk AS oleh US Customs and Borders Protection.

Seperti halnya imigrasi, US Costums and Borders Protection berada dalam kewenangan dan otoritas Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS (Homeland Security). Otoritas Homeland Security Ministry ini dibentuk pada 2001 oleh Presiden George W Bush, menyusul terjadinya aksi bom di gedung World Trade Center dan Pentagon.

Melalui profil singkat kementerian ini maupun lembaga yang mengeluarkan red notice terhadap Pak Gatot, sedari awal berdiri maupun para personilnya, menganut haluan politik Partai Republik dan penganut pendekatan keamanan dan Hard Power/Perang Simetris. Dan bukan penganut soft power atau Perang Asimetris ala Partai Demokrat.

Kalau mau bicara hasil reformasi 1998 yang diawali kejatuhan Presiden Suharto maupun produk-produk hukum dan perundang-undangan baru yang berhaluan liberal, sejatinya merupakan hasil karya jejaring partai demokrat yang waktu itu masih dijabat oleh Presiden Bill Clinton dan Menlu Madeline Albright.

Beberapa aktor balik layar yang waktu itu memainkan peran penting dari jejaring Partai Demokrat AS antara lain Dr Jeffrey Winters, Dr Karen Brook yang punya akses langsung kepada Megawati sejak masih menulis tesis doktor di Universitas Cornell, dan beberapa aktor kunci dari National Democratic Instititute (NDI) yang berperan dalam mempengaruhi kerangka pemikiran baru politik dan TNI di negeri kita. Setidaknya ada dua pemain sentra yang saya ingat. David Liberman dan Blair King.

Tidak heran ketika bicara tentang UUD 1945 hasil empat kali amandemen, lahirnya uu baru migas pada 2001 dan uu kelistrikan 1999 yang kemudian diubah jadi uu no 30 tahun 2008, tidak lepas dari pengaruh para aktor dari jejaring Partai Demokrat.

Jejaring ini hakekatnya merupakan kombinasi antara orang-orang yang berhaluan sosialis-demokrat dan neo-liberal. Mereka ini sejak 1999 memainkan pengaruh di belakang Megawati, dan kemudian dilanjutkan pada era pemerintahan Jokowi-JK.

Pada era pemerintahan SBY, justru jejaring demokrat AS ini mengalami keterputusan jalur yang bisa langsung mengakses dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan strategis SBY. SBY tetap menjalin kerjasama strategis dengan AS, namun tidak melalui jejaring Demokrat. Melainkan melalui jejaring Republikan.

Misalnya dalam kasus Exxon mengincar blok minyak di Cepu, SBY mempertunjukkan dirinya sebagai the good boy AS kepada Menlu Condoleeza Rice. Apalagi fakta bahwa jejaring Republikan yang berbasis di Texas, umumnya merupakan pebisnis industri berat. Termasuk tambang-batubara, migas dan kompleks industri militer.

Maka jadi menarik ketika Panglima TNI Gatot Nurmantyo Sabtu lalu ditolak masuk Amerika meski kemudian larangan itu dianulir kembali. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi?

Anehnya, Wakil Duta Besar AS Erin McKee dalam keterangan persnya setelah bertemu dengan Menlu Retno Marsudi, mengatakan bahwa “Kedubes AS sedang bekerja keras untuk memahami apa yang terjadi di sekitar insiden ini.” Kedua, dalam bagian lain dikatakan bahwa Kedubes AS sedang berkoordinasi dengan otorita terkait di AS dalam insiden ini.

Sepertinya ada dualisme komando di Gedung Putih, sehingga manuver US Customs and Borders Protection yang berada dalam kewenangan Kementerian Keamanan Dalam Negeri, sama sekali tidak dikoordinasikan kepada Kementerian Luar Negeri. Hasilnya, Wakil Dubes AS Erin McKee pun sama bingungnya dengan kita kita yang awam ini.

Berdasarkan konstruksi kejadiannya itu sendiri, nampak jelas betapa adanya mis-komunikasi dan tidak adanya koordinasi yang tersirat dari istilah Kedubes AS “Sedang Berkoordinasi dengan Otoritas Terkait.” berarti AS sedang memainkan operasi intelijen yang rumit dan berbahaya di Indonesia.

Gagasan di balik operasi intelijen ini nampaknya bukan untuk memompa popularitas Pak Gatot, seperti yang diduga banyak orang, melainkan justru sebaliknya. Sepertinya logika Operasi Bendera Palsu sedang dimainkan.

Beberapa waktu lalu, seorang wartawan senior asal Inggris dan lama mukim di Indonesia sebagai kepala biro majalah Far Eastern Economic Review, John McBeth, dalam salah satu tulisannya menggambarkan Pak Gatot sebagai berhaluan ultra-nasionalis dan tentunya otomatis dipandang anti Amerika dan anti Blok Barat.

Bahkan dalam pandangan Barat, Ultra-Nasionalis itu sering disamakan dengan fasisme. Kalau McBeth menggambarkan kekhawatiran dan pandangan kaum sosialis-demokrat (sosdem) atau Neolib di Indonesia, tentu saja itu sangat wajar. Dan sangat masuk akal jika ada gerakan atau operasi intelijen dari kubu AS dan kelompok ini untuk menjatuhkan reputasi Pak Gatot. Dengan mencitrakan Pak Gatot sebagai sosok ultra-nasionalis, fasis dan anti Amerika.

Namun gerakan ini tiba-tiba jadi aneh dan janggal, ketika dipagelarkan justru dari jalur jejaring Republikan yang notabene berhaluan neo-konservatif dan anti liberalisme. Yang mana kebetulan pemerintahan Gedung Putih sedang dikuasai jejaring kaum Republikan.

Apalagi ketika elemen garis depan dalam mengeluarkan red notice pada Pak Gatot, adalah US Customs and Borders Protection yang selain berada di bawah naungan Kementerian Keamanan Dalam Negeri, juga berhaluan yang anti liberal. Dan bahkan di dalam peta politik AS itu sendiri, pemerintahan Trump justru dipandang Ultra Nasionalis dan menganut paham populisme. Dan lebih daripada itu, sama sekali tidak berkepentingan terhadap isu ultra nasionalisme dan fasime Pak Gatot, andaikan itu memang benar. Karena isu tersebut lebih merupakan dagangan politik jejaring Partai Demokrat AS ketimbang Partai Republik.

Berarti upaya kalangan Sosdem dan Neoliberal di negeri kita maupun jejaring Demokrat AS untuk menjatuhkan citra Pak Gatot, sepertinya mengalami kegagalan karena adanya Kontra Intelijen yang justru berasal dari internal dalam negeri AS sendiri.

Hasil akhirnya, justru kebalikannya. Melalui insiden ini, popularitas dan simpati publik kepada Pak Gatot malah semakin meningkat. Entah itu disadari atau tidak pada awalnya oleh para perancang skenario.

Yang masih misterius sampai sekarang. Apakah kegagalan operasi ini murni akibat False Flag Operation alias Operasi Bendera Palsu? Atau jangan-jangan, memang begitulah skenario kaum sosialis demokrat dan neolib di Indonesia maupun jejaring Demokrat di AS.

Bahwa untuk menyembunyikan watak ideologis Pak Gatot yang sebenarnya didukung kelompok ini, maka dimunculkan kesan bahwa Pak Gatot dilarang ke AS karena watak ideologisnya yang Ultra Nasionalis, fasis dan anti AS.

Jika ini yang benar, maka gerakan me-red notice-kan Pak Gatot, hakikinya merupakan keberhasilan operasi intelijen. Kepada publik, Pak Gatot dicitrakan sebagai nasionalis sehingga dimusuhi Amerika. Sementara agenda kaum sosialis-demokrat dan neolib yang sejatinya bermaksud mengusung Pak Gatot, dapat membonceng citra Pak Gatot sebagai nasionalis tulen.

Hendrajit, Redaktur Senior.