Qatar sebagai arena proxy war AS versus Rusia di Timur Tengah. (ilustrasi/aktual.com)

Meskipun santer kabar bahwa penjualan pesawat F-15 merupakan pemicu di balik pemutusan hubungan diplomatik beberapa negara teluk yang dimotori Saudi Arabia terhadap Qatar, namun masalah krusial sesungguhnya di Timur Tengah adalah polarisasi dua kutub antara Saudi Arabia versus Iran, yang sama-sama mempertaruhkan dua aset vitalnya di kawasan itu, yaitu minyak dan gas.

Qatar saat ini merupakan negara dengan cadangan gas terbesar di dunia. Maka atas dasar kenyataan tersebutlah,  beberapa negara di kawasan teluk seperti Saudi Arabia dan Iran, sangat berkepentingan untuk merebut pengaruh di Qatar. Selain untuk mengakses sumber daya alamnya, juga untuk mengakes kebijakan Qatar terkait pembangunan  jalur akses terhadap gas sebagai komoditas unggulan Qatar.

Maka di sinilah, Iran dan Qatar menjalin sinergi yang saling menguntungkan terkait komoditas gas tersebut. Qatar berbagi lapangan gas dengan Iran. Disebabkan Iran tidak mampu melakukan ekstraksi secepat Qatar. Untuk timbal-baliknya, Qatar diizinkan untuk mengangkut hasil gas melalui Selat Hormuz.

Dengan makna lain, hasil ekspor Qatar sangat tergantung pada Iran. Seperti kita ketahui, Iran merupakan negara yang menguasai Selat Hormuz. Bahkan ketika Presiden Iran Ahmadinejad berseteru dengan Presiden George W Bush pada era ketika AS gencar-gencarnya mengampanyekan War on Terror ke seluruh dunia, Ahmadinejad mengancam akan menutup Selat Hormuz jika AS melakukan aksi militer seperti yang dilakukan Paman Sam ketika menginvasi Irak untuk menggulingkan Presiden Saddam Hussein.

Menguasai jalur akses terhadap gas melalui Selat Hormuz, berarti bisa melewati Terusan Suez, yang berarti mampu menembus India, memasuki kawasan Asia Pasifik.

Namun rupanya, Iran bukan satu-satunya yang memainkan pengaruh di Qatar. Selain Iran, adalah Turki. Beberapa waktu lalu, Emir Qatar berencana membangun jalur gas melewati Arab Saudi, Yordania dan Suriah. Namun skema tersebut dikontra oleh Presiden Suriah Bashar Al-Assad, yang agaknya mengutamakan lebih nyaman bekerjasama dengan Iran maupun menjalin kerjasama jangka panjang di bidang energi dengan Rusia.

Sebagai kontra skema terhadap manuver geopolitik Saudi Arabia dan Turki, maka Iran beserta Suriah dan Irak kemudian menandatangani perjanjian konstruksi jalur pipa untuk mengangkut gas dari Teluk Persia ke Laut Mediterania untuk menyuplai kebutuhan gas Eropa.

Jadi, rupanya di sinilah persaingan krusial antara kubu Saudi Arabia versus Iran. Sebelum terjadinya gerakan isolasi dan embargo terhadap Qatar yang dimotori Saudi Arabia, sebenarnya Qatar masih tetap dalam kerangka persekutuan strategis enam negara Dewan Kerjasama Teluk: Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Jordania.

Sehingga jadi tanda-tanya dan spekulasi permainan apa yang sedang berlangsung ketika Qatar yang notabene masih dalam persekutuan Dewan Kerjasama Teluk sontak kok tiba-tiba jadi obyek isolasi dan embargo? Penjelasan paling logis adalah, Qatar sekarang sedang menjadi medan perebutan pengaruh antara kubu Arab Saudi-Turki versus Iran-Suriah.

Mengapa kemudian Turki justru tetap mendukung Qatar dan tidak ikut dalam persekutuan bersama Saudi Arabia mengisolasi dan mengembargo Qatar? Di sinilah permaintan tik-tok Saudi Arabia dan Turki. Meskipun kedua negara tersebut berseberangan, namun hakekatnya dalam hal Qatar Saudi dan Turki punya kepentingan yang sama. Kalau dilihat dalam konteks rencana membangun jalur gas melewati Arab Saudi, Yordania dan Suriah.

Dengan begitu, bisakah dikatakan bahwa manuver yang dimotori Saudi Arabia dan sekutu-sekutunya termasuk Mesir, dengan memutuskan hubungan diplomatik terhadap Qatar, tujuan sesungguhnya adalah untuk mengepung dan melumpuhkan manuver Iran di Qatar.

Berarti, di internal pemerintahan dan pengambil kebijakan di Qatar, terdapat dua kubu. Antara yang pro Saudi dan Turki, dan ada yang pro Iran. Kalau merujuk pada beberapa pernyataan Pemimpin Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani, secara tersurat Qatar menginginkan pipa gas sebagai jalur untuk menghubungkan Qatar dengan Turki.

Namun benarkah keinginan Khalifa Al Thani merupakan keinginan bulat para elit pimpinan nasional Qatar? Sebab dalam sistem kerajaan model Qatar atau Saudi Arabia sekalipun, raja hanya sekadar primus interpares. Salah satu pemimpin di antara para pemimpin yang ada.

Namun lepas dari situasi internal Qatar, dalam skema ini memang Turki akan menjadi hub(pusat penghubung dan pusat penggerak) jalur energi yang menghubungkan Timur Tengah dengan Eropa. Sehingga Turki memainkan peran strategis sebagai jalur suplai energi ke Eropa.

Yang mengkhawatirkan bagi Suriah, Iran dan Rusia, skema pembangunan jalur gas yang dimotori Turki ini, secara geopolitik bisa mematikan langkah Iran dan Rusia di Timur Tengah. Betapa tidak. Melalui skema jalur gas yang menghubungkan Qatar dan Turki, maka praktis gas Qatar akan menyatu dengan Proyek Jalur Gas Nabucco, yang menghubungkan Asia Tengah – Timur Tengah dengan Eropa, tanpa harus melalui Rusia.

Di sinilah faktor Qatar menjadi krusial di mata AS dan Blok Barat, maupun Rusia-Cina di lain pihak. Karena di sinilah dictum pakar geopolitik Tony Cartaluci menjadi relevan. Jika ingin mematikan Rusia dan Cina, matikan Timur Tengah. Artinya, matikan langkah Rusia dan Cina di Timur Tengah. Skema pembangunan jalur gas yang menghubungkan Qatar dan Turki, merupakan salah satu cara dalam menerapkan diktum Cartalucci tadi.

Sinergi kepentingan Saudi Arabia-Turki dengan AS maupun Blok Barat, nampaknya didasari rasa tidak aman terhadap manuver Rusia baik di kawasan Timur Tengah maupun Eropa. Sehingga dukungan AS dan blok Barat terhadap skema jalur gas yang menghubungkan Qatar dan Turki, menjadi sangat logis sebagai bagian integral untuk melumpuhkan Rusia, maupun persekutuannya dengan Iran dan Suriah.

Sebab dalam situasi normal ketika tidak terjadi perebutan pengaruh antara AS dan Uni Eropa versus Rusia sehingga melibatkan Saudi Arabia, Iran dan Turki sebagai obyek dari Proxy War kedua kutub negara-negara adikuasa tersebut, sebenarnya tidak ada masalah bagi Qatar untuk memanfaatkan jalur gas Iran, tanpa harus membangun jalur gas yang melalui Arab.

Sayangnya, persekutuan Rusia yang melibatkan Iran-Suriah-Irak, sangat mengkawatirkan AS dan blok Barat, termasuk Saudi Arabia dan sekutu-sekutunya dari Dewan Kerjasama Teluk seperti Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab dan Oman.

Hendrajit.