Jakarta, Aktual.com – Hampir semua surat kabar hanya menyorot postur ekonomi Amerika Serikat menyusul kemenangan mengejutkan calon presiden Donald Trump terhadap pesaingnya Hillary Clinton.
Banyak yang mengabaikan aspek terpenting dari pemerintahan Trump empat tahun ke depan. Yaitu arah kebijakan dan strategi hubungan luar negeri AS terhadap negara-negara lain. Khususnya terhadap Cina yang saat ini merupakan pesaing utamanya saat ini dalam berebut pengaruh di pelbagai kawasan dunia.
Pertanyaan sentral dari tema ini adalah, sejauhmana Trump masih berkomitmen dengan blueprint politik luar negeri AS semasa pemerintahan Presiden George W Bush yaitu Project New American Century (PNAC)? Kalau melihat gelagatnya beberapa bulan terakhir menyusul kemenangan Trump, nampaknya kebijakan luar negeri AS akan diwarnai oleh semakin memanasnya persaingan global Negara Paman Sam versus Negeri Tirai Bambu tersebut.
Jauh sebelum George W Bush menduduki kursi kepresidenan pada Januari 2001, sejumlah dokumen yang dikeluarkan oleh “think-thank” Amerika memperlihatkan bahwa telah berlangsung debat di kalangan para perumus kebijakan Amerika berkenaan dengan kebutuhan akan perlunya meningkatkan intervensi Amerika yang lebih agresif di kawasan Asia Tenggara.
Setelah Bush jadi presiden, dan beberapa bulan kemudian melancarkan invasi militer ke Afghanistan untuk melibas pemerintahan Taliban, Bush membuka apa yang kemudian kita kenal sebagai “the second front” (fron kedua) dalam “perang membasmi terorisme” di Asia Tenggara. Menyusul terjadinya aksi terorisme di Gedung WTC dan Pentagon pada September 2001.
Maka dengan dalih War on Terror pasca September 2001, maka pada Januari 2003 Amerika Serikat mengirimkan tidak kurang dari 660 orang kontingen awal yang diberitakan konon untuk “suatu tugas latihan” ke Filipina Selatan. Di samping itu, Amerika mendesak Singapura dan Malaysia agar lebih giat memburu kaum “fundamentalis Islam,” dan menekan pemerintah Megawati Sukarnoputri pada waktu itu untuk melakukan tindakan yang sama. Kemudian pasukan Amerika yang dikirimkan ke pulau Basilan di Filipina Selatan makin lama makin banyak jumlahnya. Belakangan terungkap bahwa mereka dikerahkan untuk membangun proyek-proyek konstruksi yang bertujuan untuk memfasilitasi operasi-operasi besar militer.
Pernyataan Bush tentang “fron kedua” yang ditujukan ke kawasan-kawasan di luar Timur Tengah motif sesungguhnya adalah untuk membuat dalih agar bisa melancarkan eskalasi militer besar-besaran ke kawasan Asia Tenggara, yang merupakan medan tempur yang paling penting antara AS versus Cina.
Sebuah artikel dari the Far Eastern Review sempat menengarai adanya motif lain di luar semata-mata untuk memerangi aksi terorisme di Asia Tenggara. “Kampanye Amerika sehubungan dengan terorisme di Asia Tenggara itu sungguh tidak masuk akal.”
Artikel itu selanjutnya menulis: “Beberapa kalangan berspekulasi kemungkinan adanya motif lain. Mereka mencurigai Amerika Serikat menghendaki pemulihan kembali pancangan kaki strategisnya setelah terusir dari pangkalan-pangkalan mereka di Filipina satu dasawarsa yang lalu.”
Kalau kita bongkar kembali tumpukan berita lama dan berbagai kajian terkait sepak-terjang kelompok sayap kanan neo-konservatif di Pentagon yang kelak merupakan tim inti pemerintahan Bush di Gedung Putih, untuk menangani Asia Tenggara nampaknya mengandalkan pada mantan Duta Besar AS di Jakarta, Paul Wolfowitz sebagai pemain kunci agar pelibatan Amerika di Asia Tenggara diletakkan sebagai prioritas utama. Mengingat Washington memiliki kepentingan-kepentingan yang krusial di bidang politik, ekonomi, maupun keamanan. Wolfowitz kala itu merupakan Wakil Menteri Pertahanan AS.
Menariknya, meskipun sejumlah dokumen yang dikeluarkan beberapa “think-thank” atau lembaga-lembaga kajian strategis di Washington menekankan pentingnya AS meningkatkan intervensi militernya di kawasan Asia Tenggara, namun tekanannya nampak jelas sekali diletakkan dalam konteks pelibatan kekuatan militer yang dikaitkan dengan adanya “ancaman” dari Cina yang mereka sebut “ekspansionistik” dan “pesaing strategis.”
Sebuah laporan utama yang dipublikasikan oleh Council of Foreign Relations (CFR) pada Mei 2001, melaporkan: “Waktunya tepat sekali bagi pemerintah anda untuk memfokuskan perhatian terhadap suatu kawasan yang selama ini acapkali terabaikan dari perhatian kita, yang akibatnya selalu menimbulkan bencana bagi kita.”
Laporan CFR yang melibatkan kelompok akademisi, eksekutif korporasi, dan para pejabat pemerintahan tersebut, mengecam keteledoran Presiden Bill Clinton terhadap kaawasan Asia Tenggara, yang mereka nilai bertanggungjawah atas sebab-sebab kemunduran pengaruh Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara. Untuk melawan pengaruh Cina yang makin membesar di kawasan ini, khususnya di Laut Cina Selatan yang bernilai strategis, maka Amerika harus mengambil langkah-langkah yang lebih jelas dan lebih tegas.
Dokumen CFR itu mendesak agar diberikan perhatian pada prioritas yang didasarkan pertama dan utama pada posisi militer Amerika yang lebih tegas di kawasan ini. Secara tersamar dokumen CFR menyatakan “Seperempat abad setelah Amerika melibatkan diri dalam perang meletihkan di Asia Tenggara, perang yang berkessudahan membentuk seluruh generasi, ternyata kawasan itu masih memendam tantangan yang rumit bagi para perumus kebijakan maupun publik Amerika.”
Untuk menguasai kawasan itu, maka kontrol atas alur laut yang mempunyai nilai kunci atau choke point di seluruh Asia Tenggara akan menempatkan Washington pada posisi mampu menekan Cina. Dengan memperkuat kehadiran militer di kawasan ini, “Amerika Serikat akan mampu menghadapi tantangan klaim Cina di Laut Cina Selatan dan pulau-pulau yang dipesengketakan, Spratley dan Paracel.”
Di balik pernyataan tersebut, Amerika nampaknya mengincar cadangan minyak dan gas bumi yang cukup besar di wilayah-wilayah tersebut. Sehingga menegaskan pentingnya menangkal pengaruh dan dominasi kekuatan-kekuatan dari luar kawasan. Yang tentunya tiada lain yang dimaksud adalah Cina.
Bila skema Bush ini tetap dipertahankan di era Donald Trump, bisa dipastikan konflik AS-Cina bakal semakin memanas tidak saja di Asia Tenggara, bahkan bisa meluas ke semenanjung Korea. Bahkan dalam laporan Rand Corporation tersebut, untuk menghadapi Cina , Rand Corpiration menyarankan untuk mengembangkan suatu strategi yang mereka sebut “Strategi Memagari” atau hedging strategy. Yang pada hakekatnya sama saja dengan konsep lama yaitu Strategi Pengepungan alias Containment Strategy pada Perang Dingin.
Laporan Rand Corporation tersebut dengan berani menyimpulkan bahwa “Munculnya Cina sebagai kuasa regional di Asia Tenggara dan akan meningkatkan potensi konflik bersenjata. Hanya saja Amerika dewasa ini merupakan kuasa yang dominant di luar kawasan Asia Tenggara. Sementara itu pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik, yang sangat tergantung pada kemampuan memelihara kehadiran dan pengaruh Amerika di kawasan itu serta terbukanya akses tanpa hambatan ke jalur-jalur laut yang ada di kawasan itu.
Dari simpulan Rand Corporation tersebut, nampak jelas AS siap untuk menabuh kembali genderang perangnya di Asia Tenggara. Berarti sikap ASEAN, utamanya Indonesia, menjadi faktor yang amat penting. Selain Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei yang notabene memang merupakan sekutu tradisional AS dan Inggris di kawasan ini. Apalagi Singapura yang berlokasi sangat ideal untuk menguasai “Choke Point” atau titik-titik kunci seperti Selat Malaka, serta akses menuju Vietnam dan Filipina. Untuk membantu membangun superioritas udara atas jalur-jalur di Laut Cina Selatan.
Hendrajit
Artikel ini ditulis oleh:
Hendrajit