Politik di Timur Tengah itu cepat berubah seperti bukit-bukit di gurun pasir. Pernyataan itu tampaknya ada benarnya, sesudah Arab Saudi mengeksekusi seorang ulama Syiah, Sheikh Nimr Baqir al-Nimr, yang sering mengeritik monarki Saudi. Dari situ muncullah reaksi berantai yang berujung ke putusnya hubungan diplomatik Saudi-Iran.
Eksekusi mati al-Nimr pada 2 Januari 2016 mendapat kecaman dari Irak, Iran, dan beberapa pejabat senior Perserikatan Bangsa-Bangsa, hingga menyulut krisis regional di Timur Tengah.
Pengunjuk rasa Iran menyerbu kantor Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran pada 3 Januari 2016. Polisi berhasil membubarkan massa yang sudah masuk ke dalam gedung. Namun insiden ini menjadi alasan bagi Saudi untuk langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Al-Nimr adalah ulama Syiah yang paling vokal memperjuangkan kesetaraan Syiah dengan Sunni di Saudi. Nimr dianggap teroris oleh Riyadh, tapi dipuji Iran sebagai pemerhati hak-hak kelompok Syiah yang minoritas dan terpinggirkan di Saudi. Al-Nimr termasuk salah satu dari 47 orang yang dihukum mati, setelah dihukum karena kejahatan “terorisme.”
Al-Nimr adalah pendukung protes anti-pemerintah yang meletus secara massal di provinsi timur Arab Saudi pada 2011. Dia mengeritik pemerintah dan menuntut diselenggarakannya pemilihan umum. Penangkapannya dua tahun lalu, di mana ia ditembak, memicu kerusuhan berhari-hari karena pendukungnya yakin Al-Nimr tidak pernah menganjurkan kekerasan. Hukuman mati untuk Al-Nimr dikonfirmasi pada Oktober 2015. Beberapa analis meyakini, eksekusi ini juga akan memperdalam jurang perbedaan antara Muslim Sunni dan Muslim Syiah di kawasan Timur Tengah.
Pada 4 Januari 2016, Riyadh mengumumkan, semua penerbangan dari dan ke Iran dibatalkan. Di hari itu juga, Bahrain mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Iran. Bahrain dikuasai seorang raja Muslim Sunni tetapi berpenduduk mayoritas Syiah. Bahrain menuduh Iran “meningkatkan campur tangan yang berbahaya” terhadap masalah dalam negeri negara-negara Teluk dan Arab.
Bahrain memandang serangan ke kedutaan Saudi sebagai bagian dari “pola kebijakan sektarian yang sangat berbahaya dan harus ditangani…untuk menjaga keamanan dan stabilitas kawasan secara keseluruhan”. Bahrain, yang merupakan tempat Armada ke-lima Angkatan Laut Amerika Serikat, sering menuduh Iran mendukung pemberontakan Syiah, setelah terjadinya gejolak Arab Spring tahun 2011.
Uni Emirat Arab menurunkan tingkat hubungan diplomatiknya dengan Iran, menjadi tingkat Kuasa Usaha. Beberapa negara Arab Teluk tidak ikut memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Iran, mereka adalah Kuwait, Qatar, dan Oman. Dukungan diplomatik terhadap Arab Saudi pun menyebar ke Afrika. Sudan dan Djibouti memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Rusaknya hubungan Saudi-Iran akan menambah runyam upaya penyelesaian berbagai masalah skala besar di kawasan itu, mulai dari krisis Suriah sampai konflik Yaman. Iran dan Saudi mendukung kelompok yang bertentangan di Suriah dan Yaman. Di Suriah, Iran mendukung rezim Bashar al-Assad, sementara Saudi mendukung kelompok oposisi bersenjata. Di Yaman, Iran dituding mendukung kelompok pemberontak al-Houthi, sedangkan Saudi mendukung pemerintah yang pro-Saudi.
Pada Maret 2015, Saudi melancarkan operasi militer di Yaman untuk menggempur Houthi, minoritas Syiah yang berhasil mengambil alih istana kepresidenan. Saudi dan beberapa negara Sunni lain menuding, Houthi dipersenjatai dan dibiayai oleh Iran. Namun, Iran membantah tuduhan tersebut.
Kekhawatiran akan konflik yang berpotensi meningkat di Timur Tengah membuat Amerika Serikat ikut bicara. AS yang mendukung Arab Saudi meminta para pemimpin negara di kawasan tersebut untuk membantu mengurangi ketegangan. “Amerika Serikat sangat prihatin dengan meningkatnya ketegangan di Timur Tengah menyusul terjadinya eksekusi di Arab Saudi, serangan terhadap properti diplomatik Arab di Iran, pengurangan hubungan diplomatik dengan Iran,” kata John Kirby, juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat.
Rusia dan China, dua pemain geopolitik terbesar di dunia menyatakan agar kedua negara menahan diri. “Moskow prihatin tentang situasi yang terjadi di Timur Tengah, terutama antara dua pemain kuncinya (Arab Saudi dan Iran),” kata Kementerian Luar Negeri Rusia. Rusia menyerukan agar Saudi dan Iran bisa menahan diri dan menghindari langkah-langkah yang mungkin meningkatkan ketegangan, termasuk ketegangan antar-agama.
Peningkatan konflik yang sudah tinggi sejak bertahun-tahun lalu ini dikhawatirkan oleh China. “Seperti komunitas internasional, China sangat khawatir akan perkembangan masalah itu dan menyatakan kecemasan bahwa peristiwa tersebut bisa meningkatkan konflik di Timur Tengah,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying.
Sebetulnya tidak ada yang mendapat manfaat dari rusaknya hubungan Saudi-Iran, kecuali Israel dan kelompok ekstrem ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah). Posisi ISIS di Suriah dan Irak kini sedang terdesak oleh serangan militer lawan-lawannya. Sejak terjadinya serangan teror Paris, berbagai negara sudah sepakat untuk menghabisi ISIS. Namun rusaknya hubungan Saudi-Iran ini menyebabkan perpecahan, yang bisa dimanfaatkan oleh ISIS.
Sedangkan Israel menganggap Iran sebagai musuh dan ancaman keamanan yang terbesar di Timur Tengah. Rusaknya hubungan Saudi-Iran membuat Iran makin terisolasi, dengan terjadinya pemutusan hubungan diplomatik oleh sejumlah negara Arab dan Afrika, yang mengikuti langkah Saudi.
Terjadinya kesepakatan perjanjian nuklir antara Iran dengan AS, Rusia, China, Jerman, Inggris, dan Persancis, membuat Saudi dan Israel tidak senang. Iran bersedia diinspeksi fasilitas nuklirnya dan meredam kemajuan teknologi pemerkayaan uranium, dengan imbalan dicabutnya sanksi-sanksi ekonomi. Ini membuat Saudi dan Israel tidak suka, dan mereka mati-matian menghambat, tetapi gagal.
Karena adanya kesepakatan nuklir inilah, diduga Iran tidak akan memperluas konfliknya dengan Saudi, apalagi sampai ke tahap konfrontasi militer. Kepentingan utama Iran adalah segera dibebaskannya negeri para mullah itu dari sanksi-sanksi ekonomi, yang menghambat ekonomi. Konflik terbuka baru dengan Saudi akan mempersulit pembebasan Iran dari sanksi-sanksi.
Iran Menyatakan Penyesalan
Buktinya, dalam surat kepada PBB, Iran menyatakan penyesalan atas serangan pengunjuk rasa di Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran, akibat eksekusi Al-Nimr. “Republik Islam Iran menyampaikan penyesalan atas insiden ini dan tentu akan melakukan upaya penangkapan dan peradilan bagi pelakunya,” demikian penggalan surat bertanggal 4 Januari 2016. Iran juga menyatakan akan melakukan berbagai upaya untuk mencegah kejadian serupa terulang. Iran juga menyatakan bahwa lebih dari 40 demonstran sudah diidentifikasi, ditahan, dan diserahkan ke otoritas pengadilan. Kini, sedang dilakukan penyelidikan mendalam.
Sementara itu, guna mencari solusi terbaik melalui jalan damai, Indonesia menyatakan siap menjadi mediator jika disetujui oleh pihak-pihak yang berkonflik. Tawaran tersebut disampaikan oleh Menlu Retno LP Marsudi, saat menghubungi Menlu Arab Saudi, Adel bin Ahmed Al-Jubeir, juga Menlu Iran, Mohammad Javad Zarif, pada 4 Januari 2015. “Indonesia siap untuk memberikan good offices,” ujar Retno.
Retno menyampaikan keprihatinan terhadap perkembangan hubungan antara Arab Saudi dan Iran dan menekankan pentingnya penyelesaian secara damai. Retno menekankan pentingnya perdamaian dan stabilitas kawasan, di mana Saudi dan Iran memegang peranan penting.
Juru Bicara Kemlu, Arrmanatha Nasir, mengatakan, saat berbicara dengan Sekretaris Jenderal Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Iyad Ameen Madani, Retno menyampaikan harapan agar lembaga tersebut dapat berkontribusi positif untuk membantu menjaga stabilitas kawasan. ***
Artikel ini ditulis oleh: