Aksi terorisme, yang menggunakan simbol-simbol keagamaan sebagai landasan pembenaran aksi kekerasan tersebut, masih menjadi masalah di Indonesia. Di dunia internasional, kita kenal kekejaman dan aksi brutal kelompok ekstrem ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) dengan taktik-taktik terornya. Sebetulnya, lebih efektif menangkal dan mencegah terorisme, daripada mengatasi dan melakukan penindakan sesudah terjadi aksi terorisme.
Namun draf revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tampaknya masih timpang. Draf buatan pemerintah itu lebih banyak mengatur aspek penindakan dibandingkan pencegahan terorisme. Padahal aspek pencegahan lebih penting diatur ketimbang aspek penindakan, karena penindakan terhadap teroris saat ini relatif sudah berjalan baik.
Dalam rangka pencegahan inilah, berbagai komponen dan unsur masyarakat sipil bisa ikut berpartisipasi. Salah satu organisasi kemasyarakatan yang getol menangkal penggunaan dalih agama untuk aksi kekerasan dan terorisme itu adalah Nahdlatul Ulama (NU). NU mengajukan konsep Islam Nusantara untuk menangkal radikalisme agama, yang tak jarang berujung pada pembenaran kekerasan atas nama agama.
Karakter dasar Islam Nusantara yang dibawakan oleh NU adalah cinta Tanah Air. Dengan landasan berpikir yang ramah terhadap budaya dan kearifan lokal, NU menawarkan dialog yang saling menerima dan terbuka. Tanah Air diterima sebagai bagian integral dari perjuangan keislaman. Nusantara bukan hanya sebuah konsep lokasi, namun ia menjadi sebuah titik pandang.
Islam Nusantara bukanlah mazhab baru atau sekte baru dari Islam. Sebab, Islam Nusantara hanyalah sebutan atau konsep dari Islam yang secara alami berkembang di tengah budaya Nusantara. Tanpa disebut Islam Nusantara pun, pemahaman dan pengakuan pada budaya dan kearifan lokal sedari dulu sudah dilakukan NU.
Untuk memahami cara pandang NU, kita harus mengerti bahwa interpretasi atas teks Islam tidak pernah beku. Ketika teks sudah diproduksi dan dibaca, pemahaman atas teks itu melahirkan suatu pemahaman baru, yang merupakan hasil dialog antara teks dan pembaca. Contohnya, teks Al Quran dan hadist yang dibaca orang Indonesia bisa berbeda maknanya ketika teks yang sama dibaca orang Eropa atau Amerika Serikat. Jadi pemahaman atas teks tak pernah lepas dari konteks, termasuk konteks budaya lokal.
Hal ini jelas terlihat dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa. Sejarah mengenal wali sanga atau wali sembilan yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa sejak abad ke-15. Mereka menggunakan metode dakwah yang lembut dengan akulturasi budaya lokal. Wayang yang merupakan budaya Hindu menjadi sarana dakwah Islam. Begitu juga dengan musik, tari-tarian, sampai nyanyian anak-anak.
Pola pendidikan dan dakwah yang dikembangkan di dalam pesantren NU sangat mengakomodasi seni budaya dan kearifan lokal masyarakat sekitar, sebagaimana diwariskan wali sanga. Santri lulusan pesantren NU tidak anti budaya dan karena itu relatif toleran. Sebab, mereka dibekali pemahaman bahwa budaya yang berbeda-beda adalah kenyataan sekaligus bagian dari keunikan Tanah Air yang harus dijaga.
Namun, Islam Nusantara tidak semata-mata mengakomodasi budaya lokal. Islam Nusantara juga merupakan hasil dialog antarbudaya. Teks utama Islam yang berasal dari kultur Arab dipertemukan dengan realitas Nusantara yang multikultur. Ada Persia, Cina, Arab, Jawa, Melayu, Madura, Aceh, dan sebagainya.
Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Said Aqil Siroj pernah menyatakan, Islam Nusantara adalah Islam yang sudah paripurna, karena terbentuk dari dialog antarbudaya di berbagai peradaban besar dunia, seperti Persia, Turki, India, Cina, Siam, dan peradaban lainnya. Pandangan itu tertuang dalam biografinya, “Meneguhkan Islam Nusantara.”
NU tidak bermaksud memaksakan konsep Islam Nusantara ke negara Islam lain. Namun, NU menawarkan Islam Nusantara ini sebagai wawasan dan perspektif baru, yang bisa diteladani negara Islam untuk mewujudkan Islam yang damai. Islam Nusantara yang mengakomodasi budaya, serta ramah dan terbuka pada pandangan yang lain, adalah obat bagi penyakit radikalisme dan terorisme, yang kini sering dikait-kaitkan dengan Islam.
Lebih dari itu, dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan, negara-negara Islam di dunia perlu mulai memikirkan untuk membangun harmoni antara Islam dan kebangsaan, sebagaimana dilakukan NU di Indonesia. Negara Islam akan hancur jika mereka terus mempertentangkan antara agama dan kebangsaan. Maka konsep Islam Nusantara, dengan ciri cinta Tanah Air dan kebangsaan, diharapkan bisa menjadi kontribusi Indonesia bagi perdamaian dunia. ***
Artikel ini ditulis oleh: