Jakarta, Aktual.com – Kejaksaan Agung diharapkan bisa menyampaikan kepada publik terkait penggeledahan yang dilakukan korps baju coklat itu ke Pertamina (Persero) Holding dan Subholding anak perusahaannya terkait dugaan penyimpangan impor minyak mentah dan BBM.
Pasalnya sudah lebih dari dua bulan sejak penggeledahan di Kantor Pertamina itu diberitakan oleh media, setelah itu juga terjadi penggeledahan lanjutan sampai pemanggilan klarifikasi, sampai saat ini Kejagung nampaknya masih bungkam terkait perkembangan kasus tersebut.
Demikian disampaikan Praktisi Hukum SHP Law Firm, Syaefullah Hamid saat dihubungi wartawan di Jakarta, Jumat (3/1) malam menanggapi dugaan agar kasus ini segera bisa dituntaskan.
“Publik tentu menantikan perkembangan kasus ini, mengingat minyak mentah sebagai bahan BBM adalah barang yang diadakan untuk mencukupi kebutuhan hajat hidup orang banyak, jika dugaan mark up terbukti maka semua rakyat ikut menanggung beban kemahalan sebagai konsumen BBM, apalagi saat ini pemerintah terus menggembar-gemborkan swasembada energi,” ujar Pengamat Hukum Energi ini.
Menurut Syaefullah, memang aparat penegak hukum biasanya berhati-hati dalam menetapkan sebagai tersangka. Tetapi biasanya kalau sudah dilakukan berkali-kali penggeledahan, menunjukkan Pidsus Kejagung benar sangat serius.
“Kalau sudah ada penggeledahan biasanya sudah masuk tahap penyidikan, kalau sudah ada masuk penyidikan berarti sudah ada tersangka,” jelas Syaefullah.
Sebagai informasi, berhembus kabar sejumlah petinggi Direksi Pertamina dari holding dan subholding telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Menteri BUMN Erick Thohir dikabarkan akan segera mengganti Direksi Pertamina holding dan subholding yang terlibat dalam kasus tersebut.
Awak media telah mencoba melakukan konfirmasi kepada Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar sejak Kamis kemarin. Namun sampai berita ini dimuat belum ada jawaban.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman ikut menanggapi desas-desus tersebut.
“Belakangan ini, beberapa nama pejabat Pertamina, ternyata nomor telepon seluler mereka sudah pada tidak aktif, jika dikirim pesan WA hanya tercontreng satu,” ungkap Yusri saat dihubungi wartawan, Kamis (2/1).
Yusri pun menduga, jangan-jangan benar sudah ada tersangka dari kasus itu. Karena menurut Yusri penggeledahan harus mendapatkan izin dari pengadilan, kecuali untuk kasus operasi tangkap tangan (OTT) untuk menghindari penghilangan barang bukti.
Menurut sumber yang diterima CERI, sekitar USD1,2 miliar kerugian negara setiap tahun akibat kemahalan proses impor sejak tahun 2018 hingga 2023.
Totalnya bisa mencapai sekitar USD6 miliar atau setara Rp96 triliun, jika dikembangkan hingga akhir tahun 2024 maka bisa mencapai USD7,2 miliar atau setara Rp115,2 triliun (nilai tukar USD = Rp16.000). Bahkan informasinya Tim BPK RI sedang melakukan perhitungannya.
“Oleh sebab itu, demi kepastian hukum dan tidak menjadi sumber fitnah, kami berharap jika cukup alat bukti sebaiknya proses penyelidikan ini bisa segera dinaikan statusnya ke tahap penyidikan untuk menyelamatkan keuangan negara, jika tidak segera tutup buku,” pungkas Yusri.
Artikel ini ditulis oleh:
Sandi Setyawan