Ilustarasi SPBU/tribun

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah saat ini tengah dihadapkan oleh situasi sulit terkait harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Di satu sisi ingin mempertahankan harga jual BBM saat ini, mengingat kondisi perekonomian masyarakat baru saja mulai pulih pasca-pandemi Covid-19, namun di sisi lainnya jika tetap mempertahankan harga jual eceran BBM saat ini yang harganya jauh lebih rendah dari harga ekonomi sebenarnya, maka akan membuat anggaran subsidi yang sudah direncanakan dalam APBNP 2022 menjadi jebol.

Bagaimana tidak? Sepanjang tahun 2022 ini harga minyak mentah dunia terus bertahan di kisaran harga US$100-an per barel. Jika dikonversikan dengan harga BBM jadi jenis Pertalite saat ini harga ekonomis semestinya adalah Rp17.200 per liter. Jika mengacu harga jual Pertalite yang ada di SPBU Pertamina yang sampai saat ini masih di harga Rp7.650 per liter, maka sesungguhnya pemerintah telah mengeluarkan subsidi Rp9.550 untuk tiap liter. Bagaimana dengan jenis BBM yang lain seperti Pertamax, Solar, yang kalua kata Menteri ESDM, Arifin Tasrif bahwa harga ekonomis untuk Solar CN48 Rp17.600 per liter, Pertamax Ron 92 sebesar Rp19.900 per liter.

Maka pemerintah pun sudah mulai mewacanakan untuk menaikan harga. Selain untuk mengurangi beban subsidi, menaikan harga juga untuk mengurangi disparitas harga yang terlalu mencolok antara SPBU Pertamina dengan SPBU Shell, Vivo, BP, dan lain-lain. Namun rencana ini sudah mendapatkan penolakan dari Organisasi, Pergerakan, maupun Partai Politik yang konsen membela kepentingan rakyat jelata.

Sejak tahun 2002, atau sudah 20 tahun Indonesia telah menjadi negara net importir. Saat ini kebutuhan BBM dalam negeri sekitar 1,5 juta barel per hari, sedangkan produksi dalam negeri hanya di kisaran 600 barel per hari. Nampaknya sudah tidak ada pilihan lain yang akan dilakukan oleh pemerintah selain menaikkan harga BBM, atau menyiapkan sumber energi alternatif dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat.

Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro menyarankan pemerintah agar menerapkan konsep The Golden Mid-Way untuk menyiasati potensi kenaikan harga BBM bersubsidi. Menurutnya, penggunakan The Golden Mid-Way bisa menjadi solusi krisis energi yang saat ini. Konsep The Golden Mid-Way merupakan langkah menaikkan harga BBM bersubsidi sekitar 30-40 persen sehingga aktivitas perekonomian seperti pariwisata dan UMKM tetap berjalan dengan baik. Selain itu, dia menyarankan agar pemerintah dapat mengontrol volume penyaluran BBM bersubsidi sehingga benar-benar dapat dinikmati oleh masyarakat yang tepat dan berhak.

Kondisi Geopolitik Masih Memanas

Jika melihat kondisi Geopolitik saat ini, dimana Rusia masih mempertahankan invasinya ke Ukraina, ditambah lagi sedang memanasnya Kawasan Asia-Pasifik akibat konfrontasi dua arah yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan China, maka sulit harga minyak dunia akan turun dalam waktu dekat menuju ke harga stabilnya US$60 per barel.

Namun pilihan kedua menjadi pilihan yang tidak mungkin, mengingat infrastruktur energi yang dimiliki Indonesia masih sangat terbatas. Apalagi Indonesia masih sangat bergantung terhadap energi minyak. Semoga saja ada keajaiaban yang membuat tingginya harga minyak dunia tidak berlangsung lama. Karena harga yang terus bertahan tinggi seperti ini akan menguras devisa negara, dan membuat APBN menjadi jebol. Selain itu saat ini juga Indonesia tengah membutuhkan penerimaan.

Artikel ini ditulis oleh: