Jakarta, Aktual.com – Di kalangan santri pesantren salaf Nusantara, khususnya Banten, siapa yang tak kenal KH. Muhammad Dimyathi bin Muhammad Amin atau lebih dikenal dengan sapaan Abuya Dimyathi. Beliau adalah sosok yang masyhur dengan kealiman dan kebijaksanaannya dalam membimbing umat. Berikut ini lima hal yang patut kita ambil hikmah dan teladan dari sosok beliau.

 

1. Thariqah Mengaji dan Jamaah

Mengaji dan salat berjamaah merupakan kebiasaan kiai dan para santrinya di pesantren. Jika ingin pandai, maka rajinlah mengaji. Pandai saja tidak cukup. Buat apa pandai bila kepandaiannya tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, para kiai selalu menganjurkan para santrinya untuk salat berjamaah agar menjadi santri pandai yang baik. Bukan santri pandai yang menyalahgunakan ilmunya. Dalam bahasa Sunda, Abuya Dimyati sering berpesan, “Thariqah aing mah ngaji” ‘tarekat saya mah mengaji’.

Menurut Abuya, kemiskinan dan usia tidak menjadi alasan untuk menuntut ilmu sampai meninggal. Perkataan beliau itu dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari bersama santrinya. Hidup beliau hanya diabdikan untuk mengajar santri, melayani tamu yang berkunjung, dan mendidik anak. Sebelum wafat, Abuya Dimyati pernah membuka pengajian kitab tafsir at-Thabari yang tebal berjilid-jilid hingga khatam. Waktu pengajiannya pun dilaksanakan pada malam hari, dari pukul 22.00 hingga 02.30 tanpa istirahat.

2. Mendidik Putra-putrinya Sendiri

Tidak seperti kebanyakan kiai pada umumnya yang menitipkan anaknya di pesantren kiai lain. Abuya Dimyati justru mendidik anaknya dengan didikannya sendiri. Bahkan kesembilan anaknya semuanya hafal Alquran. Selain itu, Abuya juga memperlakukan anaknya seperti santri pada umumnya. Mewajibkan mereka salat jamaah, dan mengaji bareng bersama santri.

Jika anak-anaknya belum datang menuju musala untuk berjamaah, Abuya sabar untuk menunggu mereka agar berjamaah bersama beliau. Kedisiplinan yang diterapkan Abuya Dimyati semata-mata mengamalkan firman Allah Swt., “Orang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga dari api neraka,” (QS at-Tahrim [66]: 6). Jadi beliau benar-benar menerapkan ayat ini untuk diri pribadi dan keluarga beliau.

3. Memilih Dipenjara

Pada masa orde baru, kira-kira tahun 70-an, Abuya Dimyati pernah difitnah dan dijebloskan dalam penjara. Pengadilan memutuskan bahwa Abuya Dimyati dikenai hukuman penjara selama tujuh bulan. Hal ini tentu menuai amarah para jawara-jawara Banten yang siap melawan orang-orang yang telah menzalimi beliau. Karena kesabaran dan ketawakalan, Abuya tetap memilih dalam penjara sesuai putusan hakim selama tujuh bulan.

Keadaannya dalam penjara tidak membuatnya meninggalkan istikamah ibadah-ibadahnya yang biasa dilakukan. Konon, karena karamah yang beliau miliki, pengajian rutinitas yang biasa dilaksanaka di pesantren tetap berjalan seperti biasanya. Wallahu’alam.

4. Hapal Alquran dalam Waktu Singkat

Abuya Dimyati menghapal Alquran pada Mbah Dalhar Watucongol, Magelang, Jawa Tengah hanya dalam waktu enam bulan. Namun perlu diketahui bahwa sebelum menghapal Alquran yang dalam waktu singkat itu, Abuya menerapkan membaca Alquran satu hari satu kali khataman, dan ini diulang-ulang sampai kurang lebih 4 bulan. Jadi sebelum menghapal, Mbah Dalhar menganjurkan Abuya muda untuk membaca Alquran sesering mungkin terlebih dulu, sehingga bacaan Alquran melekat kuat di hati dan lisan.

5. Berguru ke Banyak Ulama

Memperbanyak guru berarti sama saja kita memperbanyak jalur keilmuan yang dalam tradisi Ilmu Hadis dilakukan oleh para perawi-perawi Hadis. Hal ini pula dilakukan oleh para ulama Nusantara waktu itu. Abuya Dimyati pun demikian. Beliau berguru pada puluhan ulama di Jawa, dan bahkan di luar Jawa.

Beberapa ulama yang pernah disinggahi Abuya Dimyati di antaranya Kiai Abdul Halim Kalahan Banten, Mama Sempur Purwakarta, Kiai Ru’yat Kaliwungu, Kiai Ma’shum dan Kiai Baidhawi Lasem, dan lain sebagainya. Semakin banyak memiliki guru berkualitas, wawasan pun akan semakin luas. Tentu hal ini dapat membantu menjawab dan menghadapi problematika sosial-kemasyarakatan yang akan dihadapi oleh setiap penuntut ilmu.

 

Sumber: Manaqib Abuya Dimyathi

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin