Dalam esai ini, saya hanya menekankan apa kekuatan dan kelemahan tiga tokoh itu dari sisi elektabilitas dan public interest di Indonesia. Saya mulai dulu dari tokoh yang paling anyar: Gatot Nurmantyo. Indonesia akan diambang bahaya jika terbelah menjadi kekuatan pro Pancasila vesus pro Islam. Dua sentimen itu sama kuatnya. Jika dua sentimen itu berhadapan, pecahlah Indonesia.
Gatot adalah tokoh yang merepresentasikan keduanya. Sentimen Pancasilanya tak diragukan. Ia panglima TNI yang tumbuh dengan doktrin NKRI, Pancasila dan UUD 45. Namun ini fenomena yang jarang. Panglima TNI tak hanya dihormati oleh hijau tentara, tapi juga hijaunya Islam. Bahkan untuk segmen pemilih Muslim yang konservatif sudah terbentuk persepsi: panglima TNI juga panglima di hati kaum muslimin. Sangat jarang tokoh yang memperoleh nilai tinggi untuk dua sentimen itu: Pancasila dan Islam.
Kelemahan Gatot, ia bukan atau belum menjadi ketua umum partai politik. Tanpa mengontrol satu partai politik besar, sulit baginya untuk mengendalikan Indonesia. Bahkan sulit pula untuk secara resmi berhasil menjadi capres 2019 jika tak ada upaya sangat ekstra.
Kekuatan Prabowo adalah kesan strong leadership yang menumbuhkan ekonomi dan pengusaha nasional. Sentimen pro Pancasila dan pro Islam juga nyaman padanya. Pada level intelektual, ia capres yang paling fasih bicara soal ideologi, discource wacana. Ia satu satunya capres di antara 3 capres di atas yang mengendalikan penuh satu partai besar, yang kini dari hasil survei sudah menjadi partai terbesar nomor dua: Gerindra.
Komitmennya pada ekonomi dan pengusaha nasional sudah menjadi berita luas. Ia juga hanya kalah sedikit saja dibanding Jokowi dalam pilpres 2014. Kelemahan Prabowo mungkin dari sisi peristiwa masa silam yang tak sepenuhnya terang benderang. Komunitas “Prabowo Haters” juga masih bertahan di sana yang sudah terbentuk sejak pilpres 2014, bahkan pilpres 2009. Logistik Prabowo juga mungkin masih menjadi kendala.