Kekuatan Jokowi terletak pada persepsi tentang personalitinya. Publik meyakini ia tokoh yang relatif bersih, punya perhatian lebih pada kepentingan publik. Iapun masih menjabat presiden dan mengontrol pemerintahan. Kelemahannya adalah persepsi. Politik itu masalah persepsi. Data survei menunjukkan elektabilitas Jokowi dalam pertanyaan 10 capres, selalu di bawah 50 persen. Itu adalah lampu kuning.
Jika seorang incumbent punya elektabilitas kurang dari 50 persen ada yang salah. Itu bisa ditafsir lebih dari separuh pemilih sedang menimbang tokoh baru. Ahok saja yang elektabilitasnya 60 persen bisa dikalahkan. Apalagi incumbent yang dukungannya sudah di bawah 50 persen.
SBY H-1,5 tahun sebelum 2009, elektabilitasnya di atas 55 persen, bahkan di atas 60 persen. Itu sebabnya mengapa saya berani berbulan sebelum pilres 2009 saya umumkan ke publik: SBY akan menang satu putaran saja. Saya dikecam. Tapi apa yang saya prediksi kemudian terbukti. Apa mau dikata?
Kelemahan Jokowi justru pada citra “strong leadership.” Ia bukan ketua umum partai. Mudah saja partai tak mematuhinya. Di publik, ia menyatakan mendukung KPK. Namun partai yang mendukung Jokowi, juga enteng saja justru berbeda dengan Jokowi dan mulai mempersoalkan KPK.
Tiga sentimen dan persepsi sudah terbentuk yang tak menguntungkan Jokowi. Sentimen Islam konservatif yang dulu berperan besar mengalahkan Ahok juga tak nyaman dengan Jokowi. Isu PKI yang entah dari mana asal usulnya juga tak positif bagi Jokowi. Kondisi ekonomi yang menambah jumlah orang miskin juga bukan berita bagus untuk incumbent.