Sebut saja namanya, Budi.
Budi (30) adalah suami dengan seorang istri dan empat anak. Dia adalah PNS muda di Dinas Pendidikan sebuah kabupaten kecil di pulau Sulawesi. Dengan gaji sekitar Rp 3 juta per bulan, dia menafkahi keluarganya.
Setahun terakhir, setiap bulan, dia selalu mengeluh. Gajinya tidak cukup lagi untuk menafkahi kebutuhan rumah tangganya. Sebagian sembako naik di pasar. Biaya pendidikan anak terus meningkat. Itu belum biaya kredit rumah, kesehatan kalau istri atau anaknya sakit. Intinya, pendapatannya tidak cukup lagi menyukupi kebutuhan rumah tangganya.
Ada keinginan untuk pinjam uang ke bank, kerabat atau sejawatnya untuk modal buat istrinya menambal kebutuhan keluarga. Namun dia kesulitan untuk mendapatkan karena dia sudah berutang (tak banyak) ke bank, hampir semua kerabat dan sejawatnya.
Lalu, apa lagi yang bisa dia lakukan untuk menafkahi keluarganya? Sudah banyak usaha sampingan dia lakukan mulai dari jadi makelar tanah atau rumah sampai ikut jadi agen sebuah bisnis MLM. Tapi itu belum cukup.
Sebenarnya, banyak peluang yang bisa dilakukan di kantornya. Beberapa rekannya punya tambahan yang cukup besar (bahkan melampaui gajinya) hanya dengan cara menekan bahkan dengan sedikit mengancam beberapa sekolah yang kedapatan melanggar atau belum memenuhi peraturan dan UU yang ada. Bahkan ada yang cukup berani dengan bermain proyek-proyek pembangunan sekolah dan pengadaan buku.
“Jangan ikutan mereka ayah. Panas uangnya. Kasihan kalau dimakan anak-anak,” kata istrinya ketika dia menceritakan apa yang terjadi di kantornya.
Kisah seperti ini terjadi di sebagian besar rakyat di negeri ini. Bukan hanya seorang pegawai negeri Budi.
Budi hanya satu dari jutaan orang yang harus perang terbuka dengan kenaikan harga setiap harinya. Bukan negara.
Budi hanya satu dari jutaan orang yang harus perang terbuka dengan naiknya harga BBM, naiknya harga bahan pokok, naiknya tarif angkutan kota, besarnya ongkos pengobatan, tingginya bunga pinjaman bank, tingginya biaya kesehatan sampai besarnya biaya sekolah anaknya. Bukan negara.
Budi hanya satu dari jutaan orang yang harus perang terbuka dengan hasrat dan nafsunya untuk korupsi dan memanfatkan jabatannya untuk korupsi agar kesejahteraan keluarganya tercukupi. Bukan negara.
Budi hanya satu dari jutaan orang yang harus perang terbuka melawan kerasnya hukum pasar: “Siapa kuat, dia menang. Hanya yang bisa survive (meski harus korupsi) dia lah pemenangnya”. Bukan negara.
Budi hanya satu dari jutaan orang yang “dilepas” negara untuk perang terbuka dengan mekanisme pasar. Bukan perang antara negara dengan pasar.
Lalu, dimana lagi peran negara untuk Budi dan jutaan orang lain seperti Budi?
Budi adalah cermin sampai sejauh apa makna dan implementasi kedaulatan rakyat saat ini. Tampaknya negara ini diam-diam, tanpa disadari, sudah menjadikan kedaulatan pasar sebagai pedoman dan sistem pemerintahannya…