Ilustrasi- Mengenal Ilmu Tasawuf

Jakarta, Aktual.com– Al-anwar bentuk jamak (plural) dari An-Nur yang dalam bahasa arab diartikan sebagai cahaya dan disebut dalam al-Quran sebanyak 43 kali. Bahkan terdapat surat khusus yang diberi nama surat An-Nur.

Di dalam ilmu tasawuf, Al-Anwar memiliki definisi khusus sebagian ulama mendefinisikan sebagai hakikat sesuatu yang membukakan perkara yang tertutup (gelap). Sebagian lagi menyebutkan bahwa al-anwar merupakan semua inspirasi ilahi yang dapat mengusir alam semesta dari hati.

Kemudian Dr. Ashim Ibrahim dalam kitab al-Lathaif al-Ilhaiyyah menyebutkan bahwa al-Anwar sendiri terbagi menjadi dua bagian:

Pertama, Anwar al-Tawajjuh

Anwar al-Tawajjuh adalah cahaya-cahaya maqam islam dan maqam iman. Ia merupakan cahaya-cahaya yang dihasilkan dari syariat dan tarekat. Atau bisa juga dikatakan sebagai cahaya-cahaya ketaatan, baik yang Nampak maupun yang tidak.

Kedua, Anwar al-Muwajahah

Anwar al-Muwajahah yaitu cahaya-cahaya yang dihasilkan dari maqam ihsan. Ada pula yang berpendapat, ia merupakan cahaya-cahaya berpikir dan cahaya penglihatan. Ada lagi yang menyatakan sebagai cahaya-cahaya musyahadah dan mukalamah.

Syekh Ibnu Ajibah menjelaskan perkara cahaya-cahaya ini bahwa ketika Allah SWT berkehendak untuk menghubungkan diri-Nya dengan seorang hamba, maka pertama-tama, Dia menghadaptkan hamba tersebut kepada-Nya dengan cahaya pertama atau cahaya dari amalan zahir yakni maqam islam.

Selanjutnya, Allah memberikan petunjuk kepadanya, mem-fana-kannya, memberikan rasa manis dan pengawasan kepadanya. Cahaya ini lebih besar dan lebih sempurna dari cahaya yang pertama.

Kemudian, hamba itu menghadap Allah dengan cahaya Musyahadah atau anwar al-Muwajahah. Cahaya Musyahadah merupakan cahaya tingkat pertama dari anwar al-Muwajahah. Saat itu ia dilanda kekagumanan, kebingungan, dan mabuk.

Setelah tersadar dari mabuknya dan reda dari kekagumannya, dia mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan dan mengetahui Allah SWT yang disembah. Dia kembali kepada kekekalan. Sehingga dia merasa bahwa dirinya adalah milik Allah dan apa pun karena Allah.

Tak hanya itu, dia juga tidak membutuhkan cahaya musyahadah karena ia telah menyaksikan cahaya di atas cahaya. Bahkan, dia pun menjadi wujud cahaya dan raja bagi cahaya-cahaya yang lain setelah sebelumnya cahaya-cahaya itu menjadi raja untuknya.

Setelah sampai, dia menjadi seorang hamba Allah yang bebas dari segala sesuatu selain-Nya, sehingga penampilan zahirnya adalah penghambaan dan penampilan batinnnya adalah kebebasan dari selain Allah.

Waallahu a’lam

(Rizky Zulkarnain)

Artikel ini ditulis oleh:

Arie Saputra