Jakarta, Aktual.com – Islam memperbolehkan bagi laki-laki maupun perempuan untuk memiliki pasangan hidup sesuai dengan keinginan melalui pernikahan. Namun bukan berarti dalam pemberian hak memilih itu seseorang bisa melakukan sebebas-bebasnya.Salah satu yang diatur dalam syariat adalah mengenai larangan bagi laki-laki untuk menikahi perempuan-perempuan dalam kondisi tertentu yang disebut dengan mahram.
Selain alasan syariat, secara fitrahnya, tabiat manusia secara umum juga belum tentu mudah menerima andai pun perilaku tersebut dilegalkan. Apabila dicerna baik-baik, hal itulah yang bisa juga menjadi pembeda antara perilaku manusia dengan perilaku hewan, yang mungkin saja mengawini ibu atau saudaranya sendiri.
Di samping itu, mengetahui jenis mahram ini juga bermanfaat untuk menentukan batasan aurat dan juga batas pergaulan antara laki-laki dan perempuan.
Istilah mahram (Arab: محرم) berasal dari makna haram, lawan kata halal. Artinya adalah sesuatu yang terlarang dan tidak boleh dilakukan. Di dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith disebutkan bahwa al-mahram itu adalah dzulhurmah (ذو الحرمة) yaitu wanita yang haram dinikahi.
Sedangkan secara istilah di kalangan ulama fiqih, kata mahram di definisikan sebagai:
Para wanita yang diharamkan untuk dinikahi secara permanen, baik karena faktor kerabat, penyusuan ataupun berbesanan.
Perlu kita cermati kembali perbedaan kalimat mahram dan muhrim. Dalam keseharian banyak orang sering menyebut kata mahram ini sama makna nya dengan muhrim. Padahal, muhrim dalam bahasa Arab dibentuk dari kata (أحَرم – يحرم – إحراما) berarti orang yang sedang mengerjakan ibadah ihram (haji atau umrah).
Adapun mahram, Al-Qur’anul Kariem telah menyebutkan sebagian dari wanita yang haram dinikahi dalam surat An-Nisa: 23, Allah ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan seper susuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua permpuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 23)
Mengutip NU Online, Dr. Mustafa al-Khin Dalam al-Fiqh al-Manhaji membagi mahram menjadi dua kategori: muabbad dan muaqqat. Yang dimaksud dengan mahram muabbad (permanen) adalah wanita yang haram dinikahi selama-lamanya, bagaimana pun situasi dan keadaannya. Mahram muabbad sendiri disebabkan oleh tiga hal: kekerabatan, perkawinan, dan persusuan.
Mahram muabbad karena kekerabatan atau nasab ada tujuh:
1. Ibu, ibunya ibu (nenek), ibunya ayah (nenek), ibunya nenek (buyut), hingga terus ke atas.
2. Anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki (cucu), anak perempuan dari anak perempuan (cucu), anak perempuan dari cucu (cicit), hingga terus ke bawah.
3. Saudara perempuan, baik seayah-seibu, seayah, maupun seibu.
4. Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan), baik saudara seayah-seibu, seayah, atau seibu.
5. Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan), baik saudara seayah-seibu, seayah, atau seibu.
6. Saudara perempuan ayah (bibi), bibinya ayah, bibinya kakek, hingga terus ke samping.
7. Saudara perempuan ibu (bibi), bibinya ibu, bibinya nenek, hingga terus ke samping.
Mahram muabbad karena sebab perkawinan ada empat:
1. Istri ayah (ibu tiri), istri kakek (nenek tiri), dan terus ke atas, dengan catatan sang ayah atau sang kakek telah bergaul suami-istri dengannya.
2. Istri anak (menantu), istri cucu, hingga terus ke bawah, walaupun sang anak atau cucu baru sekadar akad dan belum bergaul suami-istri. Berbeda jika status “anak” atau “cucu” tersebut adalah anak angkat. Sehingga boleh hukumnya menikah dengan mantan istri anak angkat.
3. Ibu istri (mertua), nenek istri, hingga terus ke atas, walaupun baru sekadar akad nikah dengan anaknya belum bergaul suami-istri.
4. Anak perempuan istri (anak tiri), anak perempuan dari anak tiri (cucu tiri), dengan catatan ibu si anak tersebut telah dicampuri.
Kaitan dengan marhram muabbad yang disebabkan oleh perkawinan ini, Syekh Ibnu Qasim al-‘Izzi dalam Hâsyiyah al-Bâjûrî telah menyatakan:
فالعقد على البنات يحرم الأمهات وأما البنات فلا تحرم إلا بالدخول على الأمهات
Artinya: Akad nikah dengan anak perempuan mengharamkan ibunya. Sedangkan anak perempuan tidak haram kecuali setelah bergaul suami-istri dengan ibunya.
Mahram muabbad karena persusuan jumlahnya ada tujuh, seperti mahram nasab. Namun yang disebutkan ayat Al-Qur’an hanya dua, sehingga sisanya dapat dianalogikan dengan mahram nasab lainnya.
Adapun ketujuh mahram persusuan dimaksud adalah:
1. Ibu persusuan, seorang perempuan yang menyusui Anda, termasuk nenek persusuan, hingga ke atas.
2. Saudara perempuan persusuan, yaitu perempuan yang disusui oleh perempuan yang menyusui Anda. Dikecualikan jika saudara perempuan persusuan Anda itu ingin menikah dengan saudara laki-laki Anda. Maka itu dihalalkan.
3. Anak perempuan dari saudara laki-laki persusuan (keponakan).
4. Anak perempuan dari saudara perempuan persusuan (keponakan).
5. Bibi persusuan, yakni perempuan yang menyusu bersama ayah Anda.
6. Bibi persusuan, yakni perempuan yang menyusu bersama ibu Anda.
7. Anak perempuan persusuan, yakni anak perempuan yang menyusu kepada istri Anda, sehingga Anda menjadi ayah persusuannya.
Tentang mereka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Persusuan itu mengharamkan apa yang haram karena kelahiran,” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hal ini juga berlaku bagi seorang perempuan. Artinya, ia haram menikah dengan ayah persusuannya, anak persusuannya, saudara laki-laki persusuannya, keponakan persusuannya, dan paman persusuannya. Maksud ayah persusuannya adalah suami dari ibu yang menyusui dirinya.
Bahkan, hubungan marham persusuan ini juga berlaku setelah perkawinan. Mereka adalah: (1) mertua persusuan, yakni perempuan yang menyusui istri Anda, (2) anak tiri perempuan persusuan, yakni anak perempuan yang menyusu kepada istri Anda, namun sebelum menikah dengan Anda, (3) ibu tiri persusuan, yakni ibu tiri dari ayah persusuan, dan (4) menantu persusuan, yakni istri dari anak laki-laki yang menyusu kepada istri Anda.
Terkait hal ini, al-Mawardi dalam al-Hâwi al-Kabîr fî Fiqh Madzhab al-Imam al-Syafi‘i mengutip pendapat Al-Imam As-Syafi‘i yang mempersyaratkan, seorang anak menjadi mahram manakala anak tersebut telah menyusu sebanyak lima kali secara terpisah dan dalam usia kurang dari dua tahun.
Adapun mahram muaqqat atau sementara adalah perempuan-perempuan yang haram dinikah karena sebab tertentu. Bila sebabnya hilang, maka hilang pula keharamannya. Mereka adalah:
1. Adik/kakak ipar. Artinya, tidak boleh menikah dengan seorang perempuan sekaligus menikahi saudaranya dalam waktu bersamaan, baik bersaudara karena nasab maupun bersaudara karena persusuan, baik dalam satu akad maupun dalam akad yang berbeda. Jika pernikahannya dilakukan dalam satu waktu, maka batallah pernikahan keduanya. Namun, jika pernikahannya dilakukan dalam waktu yang kedua, maka batallah pernikahan yang kedua. Kecuali jika perempuan yang pertama meninggal atau setelah dicerai lalu habis masa iddahnya, maka saudara perempuanya boleh dinikah.
2. Bibi istri. Alasannya, tidak boleh menikahi seorang perempuan sekaligus dengan bibinya atau dengan keponakannya.
3. Perempuan yang kelima. Artinya, tidak boleh seorang laki-laki menikahi perempuan yang kelima sebab ia sudah menikahi empat perempuan. Kecuali jika salah seorang dari yang empat meninggal dunia atau dicerai. Perempuan musyrik penyembah berhala, yaitu perempuan yang tidak memiliki kitab samawi (Taurat dan Injil). Namun, bila perempuan itu memiliki kitab samawi atau perempuan itu sudah memeluk Islam, maka ia boleh dinikah. Perempuan bersuami. Tidak boleh seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang bersuami dan masih dalam ikatan perkawinannya. Namun, bila suaminya meninggal dunia atau menceraikannya dan masa iddahnya sudah habis, maka boleh dinikah.
4. Perempuan yang masih menjalani masa iddah, baik dari iddah wafat maupun iddah cerai. Setelah masa iddahnya habis, maka ia boleh dinikah. Perempuan yang telah ditalak tiga. Tidak halal bagi seorang suami merujuk atau menikahi kembali istrinya yang telah ditalak tiga, sampai istrinya itu dinikah oleh laki-laki lain (muhallil) dengan pernikahan yang sah dan sesuai syariat. Kemudian, suami kedua atau muhallil itu menceraikannya dan masa iddah si istri darinya telah habis. Jika itu sudah terpenuhi, maka suami pertama boleh menikahinya kembali dengan akad yang baru.
Dalam kitab-kitab yang lain, mahram muaqqat ditambah dengan perempuan yang sedang ihram hingga selesai ihramnya, dan perempuan pezina hingga bertobat dari zinanya.
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin