Maulana Syekh Yusri Rusydi Jabr Al Hasani dalam acara pembacaan kitab amin al-I'lam bi anna attasawwuf min syariat al-islam karangan syekh Abdullah Siddiq al-Ghumari di Majelis Zawiyah Arraudah, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (28/1/2017). AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Pendiri tarekat Syadziliyah yakni Qutb Jami ’Maqom wa Ghouts‘ Adhom Sulthonul Aulia Arifin Sayyidi Syeikh Abu al-Hasan Ali as-Syadzili memiliki nama lengkap nama pendirinya adalah ‘Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin Hurmuz bin Qushay bin Yusuf bin Yusya’ bin Ward bin Baththal bin Ahmad bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib (suami dari Fathimah bin Rasulullah) seperti yang dikutip dari kitab Abu Hafsh, siraj al-Din, Thobaqat al-aulia.

Beliau dilahirkan di Ghumara, sebuah desa dekat Ceuta saat ini, yaitu di utara Maroko pada tahun 573 H, pada saat Dinasti Muwahhidun mencapai titik nadirnya seperti yang dikutip dalam buku Aboebakar, Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf.

Maulana Syekh Yusri Rusydi menceritakan tentang asal mula mengapa Syekh Abu Hasan dinamakan al-Syadzili padahal ia bukan lahir di Syadzili.

Dikisahkan bahwa dalam fananya, Tuhan berbicara kepadanya dan mengilhamkan sesuatu, “Wahai Ali! Aku menamakan engkau al-Syadz, yang artinya seseorang yang jarang keistimewaannya dalam berkhidmat kepada-Ku.”

Ketika masih berusia muda, Imam Syadzili meninggalkan kota kelahirannya menuju Tunisia. Beberapa waktu kemudian, dia menjadi seorang teolog beraliran Sunni yang sangat menentang Mu’tazilah. Sedangkan dalam fiqih, Imam Syadzili mengikuti Madzhab Maliki, karena madzhab ini sangat dominan di daerah Maghrib (Spanyol, Maroko dan Tunisia).

Di antara guru-guru Imam Syadzili, Ibn Masyisy-lah yang sangat mempengaruhi perjalanan spiritual dan kehidupannya. Atas nasihatnya pula Imam Syadzili meninggalkan Fez menuju Tunisia dan tinggal di sebuah daerah bernama Syadzili.

Di daerah yang baru ini, ia banyak bertemu dan bertukar pikiran dengan para ulama dan para sufi. Dan tanpa diduga, masyarakat menyambutnya dengan sambutan yang luar biasa. Namun kemudian Imam Syadzili pergi ke pegunungan Zaghwan dengan ditemani oleh ‘Abdullah ibn Salamah al-Habibi dan berkhalwat di sana.

Setelah melakukan khalwat di Jabal Zaghwan itu, ia mendapat perintah dalam sebuah penglihatan spiritual untuk mengajarkan tasawuf. Ia kemudian kembali lagi ke masyarakat dan menyampaikan dakwahnya.

Ia membangun sebuah Zawiyah di Tunisia pada 625 H, bersamaan dengan tibanya Abu Zakaria di tempat itu sebagai gubernur baru dan kelak sebagai pendiri Dinasti Hafsiyyah. Secara periodik dia memberikan ceramah ke desa-desa di daerah Tunisia. Di sini ia mendapat sambutan yang cukup hangat sampai menimbulkan kebencian seorang hakim Tunisia; Abu al-Barra.

Akibat konflik yang berkepanjangan dengannya, Imam syadzili memutuskan untuk meninggalkan Tunisia menuju Mesir. Di Mesir inilah Tarekat syadziliyah mulai berkembang pesat hingga ke berbagai penjuru bumi. Dan di Mesir pulalah Imam syadzili dimakamkan, yaitu di daerah Humaitsara dekat pantai Laut Merah dalam perjalanannya untuk ibadah haji yang terakhir kalinya.

Laporan: Mabda Dzikara

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid