Maulana Syekh Yusri Rusydi Jabr Al Hasani dalam acara pembacaan kitab amin al-I'lam bi anna attasawwuf min syariat al-islam karangan syekh Abdullah Siddiq al-Ghumari di Majelis Zawiyah Arraudah, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (28/1/2017). AKTUAL/Tino Oktaviano
Maulana Syekh Yusri Rusydi Jabr Al Hasani dalam acara pembacaan kitab amin al-I'lam bi anna attasawwuf min syariat al-islam karangan syekh Abdullah Siddiq al-Ghumari di Majelis Zawiyah Arraudah, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (28/1/2017). AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Berdasarkan ajaran yang diturunkan oleh Imam Syadzili kepada para muridnya, terbentuklah tarekat yang dinisbatkan kepadanya, yaitu tarekat As-syadziliyah. Tarekat ini berkembang pesat antara lain di Tunisia, Mesir, Aljazair, Sudan, suriah hingga ke wilayah Asia termasuk Indonesia.

Tarekat As-syadziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti Muwahhidun yakni Hafsiyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur di Mesir dan Timur Dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk.

Dalam hal ini yang menarik, sebagaimana dicatat oleh Victor Danner (seorang peneliti tarekat Syadziliyah) adalah bahwa meskipun tarekat ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia).

Tarekat ini pada umumnya tumbuh dan berkembang di wilayah perkotaan (Tunisia dan Alexanderia) tetapi kemudian juga mempunyai pengikut yang luas sampai daerah pedesaan.

Bergabungnya tokoh terkenal daerah Maghrib pada abad ke-10 Hijriyah seperti Ali al-Shanaji dan muridnya Abdu Rahman al-Majdzub adalah bukti dari pernyataan tersebut. Sejak dahulu tarekat ini juga diikuti oleh sejumlah intelektual terkenal, misalnya ulama terkenal abad ke-9 H yaitu Imam Jalaluddin al-suyuthi.

Sepeninggal Imam syadzili, kepemimpinan tarekat ini diteruskan oleh Abu al-Abbas al-Mursi yang ditunjuk langsung oleh Imam Syadzili. Al-Mursi termasuk murid yang memiliki kualitas spiritual paling tinggi dibandingkan murid Imam Syadzili lainnya.

Suatu ketika Imam Syadzili pernah berkata, “Wahai Abbas! Pandangan luarku telah menyatu dengan batinku, aku merasa bersatu dengan Tuhan. Selama saya hidup saya tidak akan meninggalkan orang-orang kepercayaan dan para pengikutku dan demi Allah, engkaulah yang paling utama di antara mereka”.

Seperti gurunya, al-Mursi di samping mempunyai kualitas spiritual yang tinggi ia juga seorang humanis. Dia sangat concern terhadap kehidupan masyarakat, terhadap orang-orang miskin dan kelaparan.

Seperti juga gurunya, al-Mursi tidak meninggalkan buku atau risalah tasawuf karena beranggapan bahwa karya-karya semacam itu hanyalah buih yang terdampar di tepian samudera kesadaran spiritual yang tanpa batas. Namun sebagaimana gurunya, al-Mursi mewariskan bacaan-bacaan hizib .

Di antara murid-murid al-Mursi adalah al-Busyiri, penyair Mesir terkenal yang berasal dari Berber, yang amat terkenal dengan dua syairnya berupa puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW, yakni al-Burdah dan Hamziyah, yang keduanya sering dilantunkan pada peringatan Maulid Nabi.

Murid yang lainnya adalah Syeikh Najm al-Din al-Ishfahani, murid al-Mursi berkebangsaan Persia yang lama menetap di Mekkah dan menyebarkan ajaran Syadziliyah kepada para jamaah haji. Dan yang termasuk murid al-Mursi adalah Ibn Athoillah Guru Ketiga yang terkemuka dari rantai silsilah tarekat ini.

Melalui tangannyalah dituliskan ajaran, pesan-pesan serta doa-doa Imam Syadzili dan al-Mursi. Ia pula yang menyusun berbagai aturan tarekat ini dalam bentuk buku-buku dan karya-karya yang tak ternilai untuk memahami perspektif Syadziliyah bagi angkatan sesudahnya.

Syeikh Ibn Athoillah mewariskan sebuah katalog yang berisi tema-tema penting yang diajarkan oleh sang guru, syaikh Abu Abbas al-Mursi. Ia menulis beberapa buku antara lain: Kitab al-Hikam; al-Tanwir fi Isqoth at-Tadbir; Lathaif al-Minan; al-Qashd al-Mujarrod fi Ma’rifat al-Ism al-Mufrod; Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah; dan sejumlah karya yang banyak lagi jumlahnya.

Seluruh karyanya ini akhirnya mendominasi karya-karya tarekat As-syadziliyah, sebab dialah Syeikh pertama yang menorehkan pena demi menuliskan ajaran-ajaran tarekat As-Syadziliyah itu.

Dalam perkembangan selanjutnya, muncul cabang-cabang dalam Tarekat As-Syadziliyah. Pada abad ke-8 H di Mesir muncul sebuah cabang yang akhirnya dinamakan Wafaiyyah, yang didirikan oleh Syamsyuddin Muhammad bin Ahmad Wafa yang juga dikenal dengan Bahr al-Shafa, ayah dari tokoh terkenal Ali bin Wafa.

Wafaiyah berkembang dengan jalannya sendiri seiring dengan pergantian generasi, tersebar di sebagian wilayah Timur Dekat di luar Mesir. Setelah abad ke-9 H mereka menggunakan model pakaian sufi mereka sendiri, seakan gaya Syadziliyah yang umumnya tidak menonjolkan diri tidak diperhatikan lagi dan tidak dapat ditetapkan dengan sejumlah alasan.

Di samping cabang itu, muncul cabang-cabang lainnya yaitu Hanafiyyah, Jazuliyyah, Nashriyyah, ‘Isawiyyah, Tihamiyyah, Darqawiyyah dan sebagainya.

Laporan: Mabda Dzikara

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid