Jakarta, Aktual.com — Buku biografi mengenai seseorang, kerap membuka suatu temuan sejarah baru yang tak disangka-sangka.
Karena begitu eratnya temali antara kiprah seseorang dengan peristiwa pada kurun waktu tertentu. Menurut saya, di sinilah pentingnya sebuah biografi yang ditulis oleh Hadijoyo Nitimiharjo: “Ayahku Maroeto Nitimihardjo”. Karena melalui riwayat hidup Maroeto Nitimihardjo, rentang peristiwa sejarah antara era Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 hingga awal proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, bisa ditelisik kembali melalui sudut pandang sejarah Maroeto Nitimihardjo.
Sebelum berselancar lebih jauh, ada baiknya cerita sedikit ihwal tokoh kita yang kelak merupakan salah seorang motor penggerak Partai Murba yang didirikan oleh Datuk Ibrahim Tan Malaka, salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang lama melanglang buana ke mancanegara.
Maroeto lahir di Cilimus, kecamatan di tepi jalan antara Cirebon dan Kuningan pada 26 Desember 1906. Ayahnya, Sukirman, merupakan seorang mantri pengairan, yang bertugas mengatur pengairan untuk persawahan tingkat kecamatan. Jadi kalau ditilik asal-usul geneologi keluarganya, termasuk keluarga Pamongpraja. Kakeknya dari pihak ibu, Nitisastro, pernah jadi asisten wedana di Kepetakan.
Maroeto bersekolah di Cirebon hingga HIS(setingkat SD sekarang) di Kebon Baru, Setelah itu meneruskan ke MULO (setingkat SMP) di Purwokerto, Jawa Tengah. Kenapa ke Purwokerto padahal mukim di Cirebon? Rupanya karena di Cirebon belum ada MULO. Sehingga anak-anak Cirebon yang ingin melanjutkan sekolah ke MULO harus pindah ke Bandung, Purwokerto atau kota-kota besar lainnya. Setelah lulus MULO, Maroeto melaneruskan ke AMS-A di Yogykarta. Begitu lulus, langsung masuk Sekolah Tinggi Hukum (RHS) di Jakarta.
Kiprah pertama-kali Maroeto ke dunia pergerakan politik di tanah air, nampaknya bermula ketika bergabung bersama Jong Java, sejak di HIS Cirebon. Menurut penuturan Maroeto, walaupun Jong Java awalnya hanya sebatas buat kalangan ningrat Jawa saja yang aktif, namum pada perjalanannya pemuda Jawa yang mayoritas bisa memandang kepentingan yang lebih luas, sehingga ikatan kesukuan kemudian dikembangluaskan jadi ikatan kebangsaan.
Di sinilah bakat Maroeto sebagai pemimpin dan organisator secara alami mulai terasah. Ketika aktif di Jong Java ketika sekolah di MULO Purwokerto, Maroeto menyadari bahwa aktivitas Jong Java ternyata lebih luas dan lebih beragam daripada ketika dia di Cirebon.
Ketika lulus dari MULO, Maroeto kemudian melanjutkan studi ke AMS-A di Yogyakarta, dan di sinilah Maroeto bertemu dengan salah seorang yang kelak tercatat sebagai salah seorang motor penggerak Kongres Pemuda I dan II, yang bermuara pada lahirnya Sumpah Pemuda. Dialah Sugondo Joyopuspito. Sugondo sangat kagum pada kecekatan Maroeto dalam mengerjakan pekerjaan sekretariat Jong Java-Yogyakarta. Maka Sugondo dan kawan-kawannya mendaulat dirinya sebagai sekretaris Jong Java-Yogykarta selama 3 tahun. Dengan demikian, Maroeto menjabat sekretaris pada tiga periode kepemimpinan Jong Java yang berbeda-beda. Di era kepemimpinan Jusupadi Danudiningrat, Sukamso dan Sarmidi Mangunsarkoro.
Ketika jadi mahasiswa di RHS Jakarta, bahkan Maroeto dipercaya menjadi bendahara di tiga perioe kepemimpinan yang berbeda. Yaitu di era Wongsonegoro, RM Jeksodipuro, Sarwono Prawiharjo dan Kuncoro Purbodiningrat. Sejak saat itu, Maroeto menyadari bahwa melalui sekretariat organisasi itulah, motor suatu organisasi berjalan. Ketua boleh datang dan pergi, tapi sekretariat harus hidup dan berjalan terus. Dengan begitu, sekretariat harus dipimpin oleh seorang yang mampu dan berpandangan luas sehingga dia dapat bekerja mandiri. Begitu pandangan Maroeto.
Begitupun, lambat-laun, seiring meluasnya lingkup pergaulan Maroeto, dirinya memandang Jong Java hanya sekadar organisasi yang bersifat sosial. Sehingga dia berpandangan bahwa tujuan organisasi harus ditingkatkan. Ujung dari pandangan itu, Maroeto dan kawan-kawannya berkesimpulan bahwa anak negeri harus berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.
Nampaknya, pria yang mulai kuliah di RHS Jakarta antara 1926-1927 itu, mulai menggagas bagaimana agar Jong Java tidak terlalu feudal dan bersifat lebih nasional. Inilah yang membawa Maroeto mendirikan Indonesia Muda(IM), sebagai kelanjutan dari Jong Java. Di sinilah Maroeto bertemu dengan teman-temannya yang lebih senior dari luar Jawa seperti Muhammad Yamin, tokoh sentral Jong Sumatra Bond.
Meski secara taktis IM bergerak di bidang sosial-budaya dan olahraga, namun pada embrio IM telah ditanamkan jiwa nasionalisme, jiwa semangat mengangkat harkat bangsa Hindia Belanda (di periode itu istilah Indonesia belum dikenal luas), dan jiwa bangsa merdeka dalam arti menuntut memiliki pemerintahan sendiri, yang diatur dan diperintah oleh bangsa sendiri.
Sejak itulah, IM merupakan gerakan nasional yang tidak lagi terkotak-kotak oleh perbedaan etnis dan jelas mulai mempopulerkan kata Indonesia. Maka, pada 1927-1928, gagasan IM semakin mengkristal, dan kemudian sepakat membentuk Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Sekadar informasi, pelajar pada waktu itu pengertiannya merupakan mahasiswa. Dan Maroeto tercatat menjadi salah seorang pendirinya.Kemudian, Sugondo Joyopuspito sebagai ketua, sedangkan Maroeto sebagai wakilnya.
PPPI oleh para pendirinya kemudian dijadikan organisasi inti yang mengarahkan pemikiran strategis, yang kemudian dikerjakan oleh organisasi-organisasi lainnya atas dasar tujuan kemerdekaan di tanah Hindia Belanda.
Adapun ketua-ketua PPPI setelah era Sugondo adalah: Sunarko (1929-1930), Sumitro Reksodipuro (1930-1931), Sutomo (1933), Toyib Dalimunte (1935) dam Samiyono (1937). Tercatat ketua terakhir pada 1940 hingga masuknya Jepang adalah Chairul Saleh.
Melalui PPPI inilah, jaringan kepemudaan-kemahasiswaan mulai terajut secara alamiah, dan terus berlanjut semakin solid baik pada masa sebelum dan pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Misalnya Maroeto kemudian memprakarsai penerbitan majalah bulanan “Indonesia Raya” di mana Maroeto selama bertahun-tahun aktif menjalankan majalah bulalan tersebu besama dengan Amir Syarifudin(kelak perdana menteri RI), Johan Syahruzah, Supangkat, Saubari, dan lain-lain.
Peran dari Maroeto dan kawan-kawan dalam merajut jaringan yang semakin meluas di tingkat nasional melalui majalah Indonesia Raya, akhirnya bermuara pada desakan dari berbagai daerah untuk menyelenggarakan Kongres Pemuda di Jakarta. Kongres Pemuda I pada 1927 diselenggarakan di Gang Kenari Jakarta.
Menurut penuturan Maroeto dalam biografinya ini, keberhasilan Kongres Pemuda berkat peranan dari Indoesiie Studieclub, yang mana kebetulan Maroeto dipercaya sebagai ketuanya. Hampir semua peserta Kongres menyatakan bahwa keberhasilan Kongres karena telah menyatunya pemikiran mereka sebelumnya melalui klub debat di Jakarta.
Singkat cerita, keputusan penting kongres Pemuda Indonesia 1927 adalah mendesak diadakannya Kongres Pemuda II pada 1928, dengan mengikutserakan peserta yang lebih banyak lagi. Maroeto kemudian diangkat sebagai Ketua Panitia Penyelenggara dan Sugondo sebagai Ketua Panitia Pengarah. Di Kongres Pemuda II inilah, kemudian menghasilkan Sumpah Pemuda. Sebagai pengikat persatuan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia, yang mencapai momentumnya pada 17 Agustus 1945. Namun sebelum ke fase proklamasi 17 Agustus 1945, penting untuk menelisik kiprah pergerakan nasional di era penjajahan Jepang.
Bagaimana dengan kiprah Maroeto dan pergerakan nasional ketika Jepang bercokol di Indonesia pada 1942-1945? Nampaknya hampir semua elemen pergerakan nasional saat itu, meyakini bahwa Jepang tak akan lama bercokol di Indonesia, karena diyakini tak akan mampu bertahan menghadapi gempuran tentara sekutu di Asia Pasifik.
Maka itu, fase 1942-1945 Maroeto dan teman-temannya dari berbagai elemen pergerakan nasional, lebih fokus mempersiapkan diri untuk kemerdekaan manakala Jepang kalah perang. Pada saat itu, setidaknya ada 5 kelompok pegerakan yaitu: Kelompok Sukarnoi, Kelompok Sjahrir, Kelompok Mahasiswa, Kelompok Kaigun(Angkatan Laut) dan Kelompok Amir Syarifudin.
Sebetulnya sejak era 1930-an akhir ketika Belanda masih bercokol sebelum Jepang datang, Maroeto dan kawan-kawan sempat membentuk suatu kelompok tertutup yang terdiri dari Yahya Malik Nasution, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Johan Syahruzah, Kusnaeni Padmadikusuma, dan Maroeto Nitimihardjo. Namun pada perkembangannya Yahya Malik Nasution ditangkap Belanda, dan dibuang ke Digul.
Nah dalam situasi inilah, Maroeto mengungkap sebuah informasi penting. Sebelum ditangkap, Yahya Nasution sebagai seorang pengusaha sukses, ia memiliki beberapa truk dan kantor di jalan Pinangsia, bergerak dalam usaha angkutan barang ekspedisi. Yahya menguasakan seluruh hartanya kepada Adam Malik untuk membentuk suatu kantor berita. Dan Yahya kala itu, merupakan salah seorang pimpinan inti Partai Republik Indonesia(PARI) yang dibentuk Tan Malaka di Bangkok, Thailand.
Inilah yang melandasi berdirinya Kantor Berita Antara, yang diprakarsai oleh kelompok tertutup itu. Menariknya, meski Yahya Nasution berasal dari PARI, Adam Malik sendiri merupakan anggota Partindo dan Gerindo yang lebih sehaluan dengan garis politik Bung Karno. Adapun Pandu Kartawiguna merupakan aktivis IM, masuk kelompoknya Sukarni. Adapun Johan, Kusnaeni dan Maroeto merupakan anggota PNI-Pendidikan Baru yang lebih sehaluan dengan Bung Hatta dan Sutan Sjahrir. PNI-Pendidikan sejatinya merupakan pecahan dari PNI, yang dipimpin Bung Karno. Ketika Bung Karno dan Bung Hatta pecah kongsi, Bung Karno bentuk Partindo, Bung Hatta bentuk Pendidikan Nasional Indonesia(PNI Pendidikan).
Jadi kembali ke cerita soal Kantor Berita Antara, menurut Maroeto, pemilik kantor berita Antara yang sebenarnya maupun yang resmi adalah kelompok tertutup itu dan diaktekan dengan nama-nama Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Johan Syahruzah dan Maroeto Nitimihardjo. Ketika kantor berita Antara terbentuk, Adam Malik oleh kelompok tertutup itu dipasang di depan. Maroeto dan Johan tidak boleh tampil karena sejak 1930-1932 keduanya langganan masuk penjara. Kelompok PNI-Pendidikan mendudukkan Sumanang untuk menemani Adam Malik, sementara kelompok PARI memasang AM Sipahutar. Bentuk kerjasama 50:50 baik dana maupun orangnya.
Jadi ketika Adam Malik dan Pandu Kartawiguna ditangkap Belanda saat Jepang akan masuk dan siap dibuang ke Australia, Kantor Berita Antara diserahkan kepada Johan Syahruzah dan Maroeto Nitimihardjo.
Cerita semakin menarik, ketika pada Juli 1946, Adam Malik dan Pandu Kartawiguna ditangkap gara-gara dituduh terlibat gerakan Tan Malaka, pimpinan Antara diserahkan kepada Maroeto. Maka saat itu diputuskan Johan Sjahruzah, yang belakangan semakin merapat ke kubu Sjahrir, tidak boleh lagi memimpin Antara. Karena menurut Adam Malik, Johan sudah mau merdeka kurang dari 100 persen. Mengikuti arah politik Sutan Sjahrir yang cenderung bersikap lunak kepada Belanda.
Dari cerita Maroeto ini, mencuat dua temuan menarik. Pertama, Kantor Berita Antara yang kita kenal sekarang, dalam sejarahnya, ternyata dibentuk di tengah-tengah gencarnya pergerakan nasional di era kolonial Belanda. Kedua, sejak mundurnya Johan dari kepemimpinan Antara, praktis kantor berita ini dikuasai oleh kelompoknya Adam Malik. Dan menariknya lagi, Maroeto yang sejatinya berasal dari PNI-Pendidikan yang berhaluan Hatta-Sjahrir, pada perkembangannya Maroeto lebih mendukung garis politik Adam Malik.
Ketika jelang Jepang masuk, Sukarni muncul memperkuat kelompok tertutup ini, sementara PNI-Pendidikan menjelang Jepang datang, memasukkan Chairul Saleh yang ketika itu masih menjabat Ketua PPPI. Di sini mencuat juga satu fakta penting, bahwa dalam geneologi politiknya, Chairul Saleh sebenarnya termasuk kadernya Hatta dan Sjahrir. Namun, mengapa pada perkembangannya Chairul Saleh lebih dipandang sebagai bagian dari kelompok pro Tan Malaka dan Murba?
Bisa jadi nasionalisme lah yang menyatukan mereka semua. Apalagi PNI-Pendidikan yang sebelum pembentukannya dinamakan Golongan Merdeka, punya arti. Pertama, sampai kapanpun mereka akan menuntut kemerdekaan tanpa bekerjasama dengan Belanda. Kedua, mereka orang bebas, jadi bilamana terjadi pertentangan di antara para pemimpin utama kemerdekaan Indonesia, mereka tidak akan memihak. Mereka justru mengupayakan agar para pemimpin itu bersatu.
Selain seorang organisator dan berbakat memimpin, Maroeto juga seorang mentor yang baik dalam pendidikan dan kursus pengkaderan calon-calon pemimpin muda. Melalui kursus-kursus politik yang diselenggarakan di Menteng 31, Maroeto banyak mendidik kader-kader muda yang kelak cukup terkenal dan berkiprah di pentas politik nasional. Seperti DN Aidit, dan bahkan Pramudya Ananta Toer, yang kelak kita kenal sebagai salah satu sastrawan Indonesia yang sebenarnya sudah layak dapat hadiah nobel.
Menurut pengakuan Pram, ia menulis bahwa gurunya ada dua orang, Bung Hatta untuk masalah-masalah ekonomi dan politik, serta Maroeto Nitimihardjo untuk sosiologi dan masalah-masalah kemasyarakatan.
Ketika jelang proklamasi kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta dibawa ke Rengasdenglok, yang menurut Maroeto bukan merupakan penculikan. Melalui percakapan antara Bung Karno dan Sukarno, terungkap bahwa sebenarnya Bung Karno sudah setuju untuk segera menandatangani proklamasi, tetapi Bung Hatta masih ragu-ragu.
Melalui penuturan Maroeto ini pula, terungkap bahwa di balik proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, semua tindakan untuk melaksanakan proklamasi itu harus disetujui oleh seluruh kelompok illegal yaitu Kelompok Sukarni, Kelompok Sjahrir, Kelompok Mahasiswa, dan Kelompok Kaigun. Dan tentu saja membahasnya juga dengan para pemain kunci di Pembela Tanah Air(PETA) yang kelak merupakan cikal bakal terbentuknya Tentara Nasional Indonesia(TNI).
Artikel ini ditulis oleh:
Hendrajit