“Pintu kemerdekaan telah terbuka, dan kami harap apabila anda kembali ke tempat masing-masing, saudara-saudara akan membisikkan hal ini kepada saudara-saudara seagama dan sebangsa. Tujuan kita semua satu; membuka jalan untuk meraih hak kita, yaitu Indonesia Merdeka yang bebas dari kekuasaan bangsa asing.
Jakarta, Aktual.Com-Kalau pembaca cukup familiar dengan kawasan Kuningan, di bilangan Jakarta Selatan, pasti tak asing dengan jalan utama kawasan itu, jalan Rasuna Said. Namun untuk sebagian besar warga Jakarta, jangankan tahu dan mengenal sosok ini. Bahkan apakah tokoh nasional kita ini pria atau perempuan pun, ternyata banyak yang masih belum tahu.
Hajjah Rangkayo Rasuna Said, begitulah nama lengkap beliau. Putri kelahiran Maninjau, Sumatera Barat ini, selain tokoh pendidikan dan pejuang wanita Indonesia terkemuka dari Sumatera Barat, juga merupakan salah seorang Pahlawan Nasional. Lahir pada 14 September 1910 dan wafat di Jakarta pada 2 November 1965.
Sebagai putri Minang yang dibesarkan dalam tradisi keluarga yang taat dan mendalami agama, Rasuna Said berguru pada Haji Abdul Karim Amrullah, ayah Buya Hamka. Alhasil, dengan berguru pada Haji Abdul Karim Amrullah, selain mendapat kedalaman ilmu agama, Rasuna Said juga memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai Pergerakan Islam modern.
Apalagi di tempat sekolah Rasuna Said belajar dan kemudian mengajar di kelas bawahnya, kegiatan politik di kalangan guru-giuru Islam di Minangkabau, sangat intensif, sehingga Rasuna Said terkondisi untuk berani mengemukakan pendapat mengenai pentingnya politik dan perlunya partisipasi pelajar di dalamnya. Untuk siswi semuda itu, kesadaran politik Rasuna Said cukup mengejutkan.
Betapa tidap. Adalah Rasuna Said pula yang menganjurkan agar pelajar diperlengkapi dengan berbagai macam ketrampilan yang harus dimiliki seorang yang akan bergulat dalam pergerakan. Bahkan jika perlu, lanjut Rasuna, pelajaran agama dan kegiatan-kegiatan agama hendaknya memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi latihan berpolitik. Yang berarti pula, politik sebagai arena untuk menggembleng lahirnya para pemimpin dari lapisan generasi muda.
Passion(gairah sejati) Rasuna Said di ranah politik semakin terasah ketika pada 1926 melanjutkan sekolah ke Sumtra Thawalib, yang memang dikenal melahirkan banyak tokoh pergerakan nasional kemerdekaan Indonesia. Maka setelah lulus dari Sumatra Thawalib, Rasuna dipercaya sebagai sekretaris pada perkumpulan Sarekat Rakyat, suatu organisasi yang menghimpun kekuatan untuk menentang penjajahan Belanda. Inilah tonggak-tonggak awal keterlibatan Rasuna Said sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia.
Belakangan, Sarekat Rakyat berubah nama jadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) yang di tingkat nasional dipimpin oleh HOS Cokroaminoto, Abdul Muis dan Haji Agus Salim. Ketika semakin terlihat bakat khususnya sebagai organisator, Rasuna Said pada 1932 diangkat sebagai salah seorang pengurus Partai Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Sebelumnya PERMI merupakan sebuah ormas dengan nama Persatuan Muslimin Indonesia (PMI) yang didirikan pada 1930.
Melalui Permi inilah, reputasi Rasuna Said sebagai politisi pejuang semakin berkibar dan dikenal luas di seantero Sumatra Barat. Pidato-pidatonya secara gencar mengecam penjajahan Belanda di bumi nusantara. Rasuna tanpa tedeng aling-aling menuding Belanda telah mengeruk kekayaan alam Indonesia dan memeras keringat rakyat Indonesia dengan mengeksploitasinya sebagai buruh dengan upah sangat murah dan tidak manusiawi.
Dalam salah satu pidatonya yang cukup menggemparkan dalam sebuah rapat umum untuk menentang Ordonansi Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonantie) yang diselenggarakan PERMI, Rasuna secara terbuka menuntut kemerdekaan Indonesia:
“Pintu kemerdekaan telah terbuka, dan kami harap apabila anda kembali ke tempat masing-masing saudara-saudara akan membisikkan hal ini kepada saudara-saudara seagama dan sebangsa. Tujuan kita semua satu; membuka jalan untuk meraih hak kita, yaitu Indonesia Merdeka yang bebas dari kekuasaan bangsa asing.”
Tak heran jika popularitas sosok Rasuna Said maupun PERMI semakin meluas dan berkibar di masyarakat, sehingga pemerintah kolonial Belanda pada 1932 itu pula merasa perlu untuk menghentikan perjuangan Rasuna Said. Dengan dalih telah mengganggu ketentraman umum, Rasuna dijatuhi hukuman pembuangan ke Jawa dan dimasukkan ke penjara wanita Bulu di Semarang selama 13 bulan.
Ketika pada 1934 Rasuna Said kembali menghirup udara bebas, ternyata PERMI sudah dibubarkan Belanda, tokoh-tokoh puncak yang dikenal sebagai “Trio Macam” yaitu Mochtar Luthfi, Ilyas Yakob, dan Jalaluddin Thaib, telah ditankgpa dan dibuang ke Boven Digul, Papua. Di tempat mana dua tokoh nasional Kemerdekaan Indonesia Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, juga diasingkan.
Menyadari kenyataan bahwa berjuang di ranah politik menemui kebuntuan dan membentur tembos, Rasuna Said mengubah strategi. Kali ini, Rasuna menempuh jalur pendidikan dan persuratkabaran atau jurnalistik. Pertama, Rasuna bergabung dengan Islamic College, salah satu lembaga perguruan Islam yang didirikan reformasi Islam Padang. Di perguruan ini, Rasuna dipercaya untuk memimpin majalah sekolah yang bernama Raya.
Setelah berkiprah sekian lama di Padang, Rasuna memutuskan pindak ke Medan, Sumatra Utara. Di Medan, Rasuna memimpin dan mengelola sebuah mingguan bernama Menara Poetri yang dikenal dengan semboyan “Ini dadaku, mana dadamu.” Suatu slogan yang cukup menohok sanubari masyarakat dalam menumbuhkan semangat juang. Meskipun aktif berkecimpung di dunia persuratkabaran dan jurnalistik, Rasuna tetap konsisten berkiprah di bidang pendidikan. Dengan membina perguruan putrid di Medan.
Ketika tentara Jepang pada 1942 menduduki Indonesia, dan mengambil-alih kekuasaan kolonial Belanda, perjuangan Rasuna dan kawan-kawan tidak surut, hanya sekadar mengubah siasat, dengan tetap pada satu tujuan: Mencapai Indonesia merdeka. Begitu kembali lagi ke Padang, Rasuna besama rekan-rekan seperjuangannya seperti Chatib Sulaeman, mendirikan organisasi pemuda Sumatra Barat dengan nama Pemuda Nippon Raya, yang bertujuan membina bibit-bibit pejuang kemerdekaan.
Gara-gara hal ini, Pemerintah Jepang memandang hal ini tidak sesuai agenda strategis Jepang yang sejatinya memang berniat menjajah Indonesia dan bukannya memerdekakan Indonesia. Alhasil, Rasuna dan Chatib Sulaeman ditangkap. Namun kemudian dibebaskan lagi. Besar kemungkinan, hal ini bisa terjadi berkat campur-tangan Bung Karno dan Bung Hatta, yang sangat berpengaruh di mata Jepang di Jakarta.
Apalagi ketika bebas, Rasuna Said dan Chatib Sulaeman kemudian aktif memperjuangkan dibentuknya Barisan Pembela Tanah Air (PETA). Desakan Rasuna dan Chatib agaknya berhasil, ketika Jepang akhirnya membentuk Gyu Gun, tentara sukarela di Sumatra Barat. Laskar rakyat inilah yang kelak menjadi cikal-bakal berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dharma bakti Rasuna Said di bidang politik setelah Indonesia merdeka, juga amat penting untuk jadi catatan sejarah kita. Segera setelah proklamasi, Rasuna terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Sumatra mewakili Sumatra Barat. Kemudian aktif juga bergabung di Komite Nasional Indonesia Pusat KNIP) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Indonesia Serikat setelah penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda pada 1949. Rasuna juga pernah menjadi anggota DPRS. Pada 1959, Bung Karno selaku Presiden RI mengangkat Rasuna Said sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Sayang sekali, perhatian dan energinya yang dicurahkan begitu total untuk pergerakan, tidak diimbangi dengan perhatian untuk menjaga kesehatan fisiknya. Belakangan diketahui kalau Rasuna Said mengidap penyakit kanker darah, sehingga akhirnya tidak tertolong lagi. Pada 2 November 1965 Rasuna Said wafat dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Pada 1974, dengan Keputusan Presiden Nomor 084/TK/1974, Rasuna Said ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Namanya diabadikan menjadi nama salah satu ruas jalan utama di Jakarta dan juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia, termasuk tentunya di Kota Padang.
Hendrajit, Redaktur Senior Aktual
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs