Pertemuan informal dua jenderal, SBY dan Prabowo, yang sama-sama dari korps angkatan darat, menggugah kembali minat lama saya buat menelaah salah satu komponen ideologis TNI yaitu etos ksatria. Pada 1996, saya sempat menulis pengantar buku karya Peter Britton, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia.
Prabowo dan SBY, yang sama-sama alumni AMN 1973-1974, beruntung masih mendapat didikan dan gemblengan dari para perwira militer angkatan 1945 yang pada umumnya merupakan eks tentara didikan PETA di zaman Jepang, sehingga masih menghayati nilai-nilai satria yang selaras dengan konsepsi Samurai yang tertanam di jiwa dan raga tentara Jepang yang menjadi instruktur PETA kala itu. Sehingga para lulusan AMN 1973 dan 1974 SBY dan Prabowo kiranya masih menghayati betul nilai seperti -nilai ksatria yang ditanamkan ke dalam jiwa dan pikiran para tarunanya sebagaimana didikan dan pembinaan para seniornya dari angkatan 1945.
Ketika kita diingatkan pada semangat Satria dalam profesi kemiliteran, maka sesungguhnya ada semacam penegasan bahwa ada tema-tema kebudayaan dalam kehidupan kemiliteran di Indonesia. Ini satu poin menarik yang digarisbawahi oleh Rudolf Mrazek, salah seorang pakar militer AS yang kemudian mendorong Britton mengkaji lebih dalam melalui buku yang singgung di awal tadi.
Britton tergugah menulis buku tersendiri mengenai etika Satria dalam kemiliteran Indonesia, karena konsep Satria didalam pandangan Mrazek seakan hanya digunakan TNI sebagai reaksi defensif dihadapan superioritas Amerika yang mana sejak 1965 semakin mempengaruhi kebijakan strategis politik-keamanan melalui para jenderal TNI yang berkuasa.
Bagi Britton, konsepsi Satria bukan sekadar reaksi defensif terhadap keunggulan militer asing utamanya AS dan Eropa. Ksatria lebih dari itu, konsepsi Satria telah menjadi nilai-nilai yang tertanam di alam bawah sadar para perwira TNI. Telah menjadikannya sebagai dasar pemikiran para perwira TNI agar teknologi, pengetahuan dan profesionalisme Barat dapat diakomodasi dan diselaraskan ke dalam kepribadian Timur Indonesia.
Satria, lebih lanjut Britton menulis, etos Satria dalam kemiliteran pada perkembangannya amat mempengaruhi rasa keperwiraan para prajurit TNI. Sejak berpangkat rendah sampai jadi jenderal.
Dengan dasar pemikiran ini, Britton telah memasuki aspek yang hampir tidak disentuh para pakar militer baik dari Indonesia maupun asing. Yaitu mengamati dan mengeksplorasi akar-akar ideologis militer di Indonesia, yang sudah tertanam jauh di masa pra Indoesia.
Jadi, bagaimana menjelaskan konsepsi Satria di kemiliteran kita:? Mau tidak mau, ini terkait Tradisi Jawa dan jatidiri raja-raja nusantara. Umumnya, raja-raja agung Jawa maupun luar Jawa, sebelum bertahta merupakan para panglima perang yang perkasa dan kompeten. Tidak berlebihan kalau dikatakan keahlian di bidang militer lah yang menghantarkan takdir politik mereka jadi seorang raja.
Dengan makna lain, tanpa kecakapan militer, banyak bakat raja tidak dapat diwujudkan. Berarti Kemampuan dan kecakapan militer menjadi titik awal keberhasilannya kelak sebagai pemimpin dan raja. Kalau kita telisik kesejarahan kerajaan nusantara khususnya Jawa, raja-raja yang berhasil seringkali berkat peranan pribadinya dalam kegiatan-kegiatan kemiliteran di Kraton.
Inti yang terkandung dalam nilai-nilai ksatria merupakan paduan antara keyakinan kua pada kehendak dan ridho Tuhan Yang Maha Esa, Kepatuhan pada Raja atau pemimpin sebagai otoritas politik, namun tetap menjaga disiplin dan hirarki korps yang melekat pada lembaga kemiliteran.
Meskipun pada saat yang sama, jiwa ksatria di dalam dada prajurit militer, harus peka terhadap panggilan Ilahi manakala ada situasi yang mengharuskan dirinya tampil ke depan sebagai seorang pemimpin. Bukan karena dorongan hawa nafsu, ambisi dan ketamakan.
Begitulah hakikinya nilai-nilai seorang ksatria militer. Seorang satria dituntut punya disiplin diri yang kuat untuk mencapai sikap tak terpengaruh apapun manakala peranannya dibutuhkan.
Meski terkesan sederhana, namun kenyataannya sangat sulit, karena terkandung di dalamnya kemampuan menguasai Ilmu Spiritual yang mendalam dan menghayatinya secara lahir dan batin. Inilah yang sering disebut Ilmu Esoterik.
Intinya berkemampuan untuk sementara mengundurkan diri dari urusan duniawi, untuk meningkatkan kekuatan spiritualnya, agar bisa lebih mampu beroperasi secara lebih efektif di alam duniawi.
Agaknya, inilah jatidiri kepemimpinan di Nusantara, yang menurut saya bukan khas Jawa saja. Melainkan dihayati dan diamalkan juga di kerajaan lain luar Jawa, untuk mengasah dan mengolah lahirnya para pemimpin berbasis etos ksatria.
Bersenyawanya sesuatu yang bersifat mistik dan keduniawian, sehingga seorang pemimpin wajib melakukan pengolahan pengetahuan diri Ngelmu Sejati mengenai rahasia dan hakekat hdup.
Dalam konteks seperti itulah, pertemuan SBY-Prabowo sontak mengingatkan saya kembali pada khazanah itu. Betapa konsepsi ksatria yang sesungguhnya tidak hanya diproyeksikan bagi para pemimpin di lingkup TNI melainkan di sipil, namun dengan segala keterbatasan di internal TNI saat ini, sistem pendidikannya masih mengondisikan etos ksatria ke dalam benak pikiran para tarunanya, di semua tingkatan pendidikan. Terlepas menurunnya kualitas penghayatan dan wawasan antara generasi terdahulu dan generasi angkatan 2000-an dewasa ini.
Ksatria berarti siap, berani dan “ikhlas” menerima kehendak Ilahi. Ibarat tombak, “dia” adalah mata ujung tombak. siap “berhadapan”, siap “perang”, siap “membangun”, siap “berargumentasi”. dan barang tentu, “berani mati”..! Motonya : hidup (mulia) atau mati (syahid)…!
Maka dorongan ilmu alim ulama, spiritualis, dan ruhaniawan, sangat diperlukan untuk pertemukan dan “masukkan” nilai tersebut ke dalam “jiwa” dan “raga” para “pejuang” dan pemimpin bangsa baik dari ketentaraan maupun sipil.
Pertemuan informal SBY-Prabowo Kamis malam lalu, justru menyadarkan berbagai kalangan bukan pada apa yang dibicarakan mereka berdua saat itu dan nantinya. Namun malah menyadarkan berbagai kalangan, atau setidaknya saya pribadi, betapa kekusaan itu mempunyai suatu energi spiritual yang meliputi kosmos dari yang hidup maupun dari yang sudah mati.
Hendrajit