Pondok Pesantren (Ponpes) tahfidzul qur'an, Zawiyah Arraudhah Ihsan Foundation menggelar "Majelis Subuh" bersama Syekh Dr. Usamah Sayyid Al Azhari dari Kairo - Mesir, yang diikuti oleh sejumlah ikhwah thariqah dan seluruh santri putra dan putri yang digelar di Ma'had ar Raudhatu Ihsan wa Zawiyah Qodiriyah Syadziliyah, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu 21 September 2019. AKTUAL/WARNOTO

Jakarta, aktual.com – Di tengah derasnya arus informasi dan kebebasan berekspresi di media sosial, kita sering menyaksikan fenomena yang memprihatinkan: sebagian masyarakat, bahkan yang mengaku beragama, dengan mudah merendahkan, mencaci, dan memfitnah para ulama. Padahal, ulama adalah pewaris para nabi (waratsatul anbiya’) yang memikul tanggung jawab besar dalam menjaga agama, akhlak, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Sikap merendahkan ulama bukan sekadar persoalan etika sosial, melainkan bentuk kemunduran moral dan spiritual yang dapat menggerogoti keberkahan ilmu dan kehidupan beragama. Sebaliknya, menghormati ulama adalah bagian dari menghormati ilmu dan menghormati Allah serta Rasul-Nya.

Al-Qur’an menegaskan kedudukan tinggi bagi ulama karena pengetahuan dan ketakwaan mereka:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (QS. Fathir [35]: 28)

Ayat ini menunjukkan bahwa kemuliaan ulama bukan karena gelar atau status sosial, melainkan karena kedalaman ilmunya yang melahirkan rasa takut kepada Allah. Rasa takut inilah yang menjadikan ulama berbeda dari sekadar orang pandai atau berpengetahuan tinggi; mereka memahami hakikat kehidupan dan mengarahkan umat menuju kebenaran.

Rasulullah ﷺ bersabda:

العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم يورثوا دينارًا ولا درهمًا، إنما ورّثوا العلم، فمن أخذه أخذ بحظ وافر.

“Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang besar.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Imam al-Nawawi menegaskan dalam Syarh Shahih Muslim, bahwa menghormati ulama adalah bagian dari adab terhadap ilmu dan agama. Sebaliknya, merendahkan mereka berarti melemahkan sendi agama itu sendiri.

Para ulama salaf sangat menjunjung tinggi adab terhadap guru dan ulama. Imam Malik rahimahullah, misalnya, tidak akan mengajarkan hadis sebelum mandi dan mengenakan pakaian terbaiknya, sebagai bentuk penghormatan terhadap ilmu dan Rasulullah ﷺ.

Imam al-Syafi‘i berkata:

“Aku membuka lembaran kitab di hadapan guruku dengan sangat pelan, karena aku tidak ingin suara lembaran itu mengganggu beliau.”

Kini, di zaman media sosial, penghinaan terhadap ulama sering dilakukan dengan mudah, tanpa tabayun dan tanpa adab. Padahal, Islam melarang keras sikap tergesa-gesa dalam menilai seseorang. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. al-Hujurat [49]: 6)

Menghormati ulama bukan berarti menutup ruang kritik, tetapi menempatkan kritik dalam bingkai adab dan ilmu. Kritik boleh, tapi tidak boleh menghina. Diskusi boleh, tapi dengan akhlak. Karena Islam tidak pernah mengajarkan kebebasan tanpa batas, tetapi kebebasan yang disertai tanggung jawab moral dan spiritual.

Ulama adalah lentera yang menuntun umat di tengah kegelapan zaman. Menghormati mereka berarti menjaga cahaya ilmu agar tetap menyala. Sementara mencaci dan memfitnah mereka hanya akan membawa umat pada kebodohan dan kehancuran moral.

Mari kita kembalikan adab dalam beragama, terutama dalam bermedia sosial. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali:

“Agama akan baik bila ulama baik, dan agama akan rusak bila ulama rusak.”

Dan yang lebih berbahaya dari ulama yang rusak adalah masyarakat yang kehilangan rasa hormat terhadap ulama.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain