Ketegangan yang semakin memanas di Semenanjung Korea menyusul reaksi keras Amerika Serikat terkait program senjata nuklir dan beberapa kali uji coba rudal balistik antarbenua oleh Korea Utara, kekuatan angkatan laut Cina dalam skenario terburuk percah perang terbuka AS versus Korut yang tentunya akan menyeret Cina dan Rusia ke kancah perang, nampaknya tidak bisa dianggap enteng. Meski masih kalah unggul dibandingkan AS dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam NAATO. Dalam Skenario Perang Dunia terbatas, selain Semenanjung Korea, Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur tetap merupakan the theatre of war antara AS versus Cina di kawasan Asia Pasifik.
Hingga saat ini, Cina memandang Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur sebagai bagian dari wilayah kedaulatan nasionalnya. Sehingga untuk mengamankan klaim wilayah maritimnya, mereka harus mendayagunakan dan menyiagakan kekuatan angkatan lautnya.
Maka itu Cina kemudian merancang kekuatan angkatan lautnya sebagai blue warter navy, yaitu kekuatan laut yuang diproyeksikan ke laut kepas (high seas) untuk merealisasikan tujuan strategisnya. Tujuan strategis Cina adalah melindungi kepentingan ekonominya dan jalur-jalur perdagangannya.
Dalam pengembangan strategi maritimnya, Cina kemudian membuat beberapa kesepakatan membangun fasilitas-fasilitas logisitik militer dnegan beberapa negara lain. Antara lain dengan Djibouti, salah satu negara Afrika kecil yang ada di Teluk Aden. Namun bagi Cina, kerjasama maritime dengan Djouboti punya nilai strategis atas dasar dua pertimbangan:
(1). Sebagai basis angkatan laut punya nilai strategis karena terletak di bibir Bab-el-Mandeb, merupakan chockpoint tersibuk di dunia yang menghubungkan Laut Merah dan Samudra Hindia.
(2). Bersanding dengan kekuatan laut besar lainnya seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Prancis, yang telah lebih dulu menempatkan kekuatan lautnya Djibouti.
(3). Bukti ekspansi armada laut Cina sebagai kekuatan blue water navy.
Melalui format kerjasama maritim Cina-Djibouti ini, secara jelas menggambarkan bahwa dalam upaya mewujudkan keunggulan maritimnya di Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur, kemudian menerapkan modus kerjasama ekonomi dengan negara-negara lain dengan berkedok sebagai kerjasama ekonomi. Padahal tujuan strategisnya adalah penguasaan geopolitik maupun pemanfaatan geosrratragisnya.
Untuk mencermati sepak-terjang angkatan laut Cina, kekuatan angkatan lautnya memang harus kita kenali secara seksama. Salah satu yang layak sorot adalah akuisisi kapal induk CV-16 Liaoning eks Rusia yang dibeli dengan harga murah (USD 20 juta). Meskipun Liaoning merupakan kapal induk bekas dengan ukuran relative kecil sehingga kurang ideal sebagai penopang gugus tempur laut di garis depan, namun kapal induk ini sangat berguna untuk meningkatkan kemampuan operasional angkatan laut Cina.
Setelah mengalami perbaikan menyeluruh, CV-16 Liaoning kini digunakan untuk pelatihan pendaratan dan lepas landas pesawat tempur angkatan laut Cina. Seperti Shenyang J-15 flying shark (tiruan Sukhoi Su-33 yang dirancang khusus untuk mendarat dan tinggal landas di dan dari kapal induk).
Sebagai kapal induk, Liaoning mampung mengangkat 24 pesawat tempur J-15, 6 helikopter antikapal selam Changhe Z-18 F, 4 helokopter peringatan dini, Changhe Z-18m dan 2 helikopter SAR Harbin Z-9 C. Namun dibandingkan kemampuan kapal induk AS, Cina masih jauh ketinggalan. Misal, Liaoning belum mampu menampung pesawat peringatan dini jarak jauh sekelas F-2 D dan pesawat angkut logisitik sekelas Grumman C-2 Greyhound.
Meskipun masih ketinggalan jauh dari kekuatan laut AS, namun kehadiran Liaoning diiringi dengan armada laut Cina yang lebih modern, tetap merupakan ancaman serius bagi AS dan sekutu-sekutunya. Krisis Korea yang semakin memanas dengan penempatan dan pergelaran sistem partahanan rudal-rudal anti rudal THAAD AS di Korea Selatan, maka kehadiran kapal induk Liaoning maupun pesawat tempur model J-15 Shenyang tetap masuk kategori ancaman nasional bagi Pentagon. Apalagi kapal selam dengan peluru kendali berhulu ledak nuklir tetap berbahaya bagi AS dan negara-negara yang memandang Cina sebagai musuh atau pesaing.
Salah satu kapal selam nuklir angkatan laut Cina adalah adalah SSBN kelas Jin tipe 094 berpeluru kendali balistik (SLBM)JI-2 dengan jarak jangkau 8000 km.
Menariknya, kapal selam Cina jenis ini, bersifat senyap dan sulit dideteksi, terlebih bertenaga nuklir dan berpeluru kendali balistik, sehingga mengurangi kerentanan Cina tehadap kemungkinan serangan pertama (preemptivefirst strike) dari negara-negara musuh. Cina juga punya 12 kapal selam kelas kilo yang sangat senyap, serta 25 kapal selam kleas Song dan Yuan yang merupakan buatan Cina sendiri.
Bukan itu saja. Saat ini Cina 8 kapal perusak berpeluru kendali darat-udara dengan jarak jangkau 100 km, yang saat ini kut memperkuat armada laut Cina. Kapal jenis ini meliputi kelas Luyang II tipe 52 C dan Luyang III tipe 52D yang keduanya dilengkapi peoluru kendali HQ-9 SAM, serta kelas Luzhou ti[e 51C yang dilengkapi peluru kendali S-300 SAM.
Adapun 5 kapal perang kelas Luyang II juga dilengkapi peluru kendali antikapal YJ-62 dengan jarak jangkau 280 km. Sedangkan kapal perang kelas Luyang III dilengkapi peluru kendali antikapal ssupersonik YJ-18 dengan jarak jangkau 178.25 km. Kapal perusak kelas Luyang III menggunakan sistem peluncur vertikal yang mampu meluncurkan peluru kendali permukaan udara, permukaan-permukaan, dan peluru anti-kapal selam.
Cina juga bahkan punya 4 kapal perusak Sovrenemy yang dibeli dari Rusia pada 1999-2006. Yang sudah dilengkapi dengan peluru kendali supersonic jarak jauh, dengan jarak jangkau 160-240 km.
Dalam membangun sistem pertahanan pantai, Indonesia agaknya harus belajar banyak dari Cina. Sistem pertahanan pantai Cina telah dilengkapi dengan peluru kendali antirudal YJ-62 dengan jarak jangkau 280 km, dan peluru kendali balistik antikapal jarak menengah DF-21 D dengan jarak jangkau 1500 km.
Dengan kemampuan peluru kendali seperti ini, rasa-rasanya Cina sudah cukup percaya diri dalam menangkal serangan yang dilancarkan AS maupun sekutu-sekutnya, ketika pecah perang bersenjata di Laut Cina Selatan,, Laut Cina Timur maupun perairan Filipina.
Hendrajit, redaktur senior.