Dalam proses penyerahan aset itu, beberapa pengusaha pemilik bank yang jujur, menyerahkan aset yang bagus dengan nilai sepadan dengan BLBI yang diberikan itu. Tapi celakanya, ada juga pemilik bank yang nakal dan bandel justru memasukkan saham-saham dan perusahaan yang nilai sebetulnya jauh lebih rendah.

Sehingga dengan indikasi tersebut, menurut dia, dalam prakteknya jelas terjadi penyelewengan. Apalagi Indonesia dipaksa oleh IMF untuk segera menjual aset yang diserahkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tersebut.

“Pada waktu kami masuk jadi Menko, setelah krisis, strategi kami adalah tidak menjual aset-aset itu, kecuali sangat diperlukan untuk menambal APBN. Akan tetapi restructure asset tersebut untuk 5-7 tujuh tahun kemudian,” paparnya.

Dengan perkiraan, kata Rizal, kalau dijual sesuai saran IMF itu, maka harganya akan jatuh, Republik Indonesia pasti akan sangat dirugikan. Namun kalau mengikuti kebijakannya, proses restructure 5-7 tahun baru dijual, maka pada tahun 2005/2007, dimana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah naik dari tadinya 700-an ke atas 1500, justru pemerintah Indonesia akan bisa mendapat lebih banyak lagi, karena ecovery rate-nya lebih tinggi.

“Tapi kebanyakan menteri ekonomi Indonesia manut dengan IMF yang konyol itu. Sehingga akhirnya dipaksa menjual dengan harga sangat murah, dan merugikan, termasuk kasus penjualan BCA, yang oleh Pak Kwik Kian Gie (Menko Prekonomian sebelum Rizal) juga sudah jelaskan berkali-kali, itu sangat merugikan negara,” jelas Rizal.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid