Menurut Noam Chomsky, selain teror yang dilakukan oleh individu atau kelompok, ada pula terorisme negara (state terrorism), namun juga ada terorisme pemerintah (government terrorism) yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya sendiri. Itulah klasifikasi dan/atau jenis-jenis teror menurut kerangka teoritis Chomsky.
Kalau yang berlangsung di level global –di Timur Tengah misalnya— Ini termasuk jenis terorisme negara atas negara. Jadi, kata “teroris” itu hanya isu semata. Artinya, cuma babakan awal. Entah itu isu al Qaeda yang kini telah “bubar,” entah Jabhal al Nusra di Suriah, ataupun ISIS, dan lain-lain. Sekali lagi, ia (teroris) cuma isu belaka. Kenapa? Karena pasca isu muncul di publik akan ditindak-lanjuti dengan tema atau agenda yang sudah dipersiapkan secara sistematis dan terorganisir.
Sekadar ilustrasi nyata adalam pemboman di gedung WTC dan gedung Pentagon pada 11 September 2001. Silahkan dicermati, usai peristiwa 9-11 — isu teroris al Qaeda pun ditebar ke publik global oleh George W Bush, dan kemudian ditindak-lanjuti dengan agenda berikutnya yakni serbuan koalisi militer Barat pimpinan Amerika Serikat (AS) ke Afghanistan.
un demikian pula kasus Irak di zaman Saddam Husein. Isunya senjata pemusnah massal, agendanya ternyata penyerbuan koalisi militer pimpinan AS. Jadi, setelah ada isu pasti muncul tema sebagai lanjutan dari isu tersebut. Itulah sekilas pola state terrorism. Teror sebuah negara terhadap negara lain.
Kedua kasus itu, kasus Afghanistan dan Irak— Barat ternyata memiliki hidden agenda atau agenda tersembunyi yang merupakan skema kolonialisme yakni mencaplok sumber daya alam (energi) negara dimaksud. Retorikanya, Mungkinkah akan muncul isu al Qaeda ataupun isu senjata pemusnah massal apabila Irak dan Afghanistan hanya penghasil korma saja?
Geopolitik menyiratkan, bahwa tahapan kedua modus tadi —isu dan agenda— hanyalah sebuah geostrategi guna meraih apa yang disebut geoekonomi (dalam hal ini adalah energi). Singkat kata, dari perspektif geopolitik, isu teroris cuma modus belaka. Tak lebih. Ia hanya sarana untuk meraih tujuan yang lebih besar.
Dalam kasus Indonesia, sejak pemboman di rumah duta besar Filipina di Jakarta, bom Bali I, hingga Ritz Carlton dan Marriott, hakekatnya bukan terorisme berbasis agama atau ideologi. Melainkan operasi intelijen bermodus teror. Sehingga paralel dengan kerangka teori Chomsky dan terorisme sebagai modus operandi belaka.
Dalam perspektif analisis intelijen, pengaruh belum tentu menyebabkan. Yang punya motif belum tentu sang pelaku. Pengaruh seperti ilmu dan ajaran, sosok imam atau kiai, ataupun ideologi, belum tentu secara langsung jadi sang penyebab terjadinya peristiwa atau kejadian.
Maka, dalam mengungkap akar penyebab terorisme di Indonesia, kita perlu merenungkan ungkapan pakar sosialogi Peter L Berger. Mencari kebenaran di balik kenyataan yang terlihat.
Hendrajit, redaktur senior.