Cadangan minyak bumi Indonesia atau Reserve Replacement Ratio (RRR) terus menurun akibat produksi tidak diimbangi dengan temuan baru. (ilustrasi/aktual.com)

Indonesia pernah menjadi raja minyak di kawasan Asia Tenggara, dengan produksi minyak yang melimpah dan peran dominan di panggung energi regional. Pada era Orde Baru, terutama pada dekade 1970-an hingga 1990-an, Indonesia mencapai puncak kejayaannya sebagai produsen minyak terbesar di ASEAN.

Cadangan minyak yang melimpah dan eksplorasi yang agresif membuat negara ini menjadi pemain utama dalam industri minyak global, memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional dan internasional. Namun, seiring berjalannya waktu, Indonesia mulai kehilangan momentum. Produksi minyak terus menurun, sementara konsumsi domestik semakin meningkat, mengakibatkan ketergantungan yang semakin besar pada impor minyak dan gas (migas).

Dalam upaya mengatasi tantangan ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan pihaknya tengah menyiapkan tiga strategi untuk mengurangi porsi belanja impor migas nasional. Langkah ini diharapkan dapat menekan ketergantungan pada impor dan kembali mengoptimalkan potensi sumber daya mineral yang dimiliki Indonesia, yang sejatinya masih sangat besar.

Tiga strategi yang diusulkan Bahlil meliputi optimalisasi produksi minyak bumi dengan teknologi, reaktivasi sumur-sumur yang menganggur (idle), serta eksplorasi migas, khususnya di wilayah Indonesia Timur.

Strategi pertama, yakni optimalisasi produksi minyak dengan teknologi, merupakan langkah yang sangat penting untuk meningkatkan efisiensi dan output produksi. Bahlil mencontohkan proyek di Banyu Urip, Surabaya, yang dikerjakan oleh ExxonMobil. Proyek ini terbukti mampu meningkatkan lifting minyak dari yang awalnya 90-100 ribu Barrel Oil per Day (BOPD) menjadi 140-160 ribu BOPD. Peningkatan ini menunjukkan bahwa dengan penerapan teknologi yang tepat, kapasitas produksi minyak nasional masih dapat dimaksimalkan. Jika strategi ini dapat diimplementasikan secara luas di berbagai lapangan minyak di Indonesia, bukan tidak mungkin kita dapat menutup sebagian besar defisit minyak yang saat ini masih harus diimpor.

Selain itu, reaktivasi sumur-sumur idle menjadi perhatian utama dalam strategi kedua. Saat ini, terdapat 44.985 sumur migas di Indonesia, dan 16.990 di antaranya masuk kategori idle well. Namun, Bahlil juga mengakui bahwa tidak semua sumur ini dapat direaktivasi karena berbagai kendala, seperti tidak adanya potensi subsurface, keekonomian yang tidak terpenuhi karena tingginya biaya reaktivasi, fluktuasi harga minyak mentah dunia, serta faktor kesehatan, keselamatan, dan lingkungan (HSE) serta masalah non-teknikal lainnya. Meskipun demikian, identifikasi dan reaktivasi sumur yang potensial dapat memberikan tambahan produksi yang signifikan, sehingga mampu mengurangi ketergantungan pada impor migas.

Strategi ketiga, eksplorasi migas di wilayah Indonesia Timur, merupakan langkah penting lainnya. Wilayah ini memiliki potensi yang belum tergali secara maksimal, seperti di blok Seram, Buton, Laut Aru-Arafura, Warim, dan Timor. Eksplorasi di wilayah-wilayah ini dapat membuka cadangan minyak baru yang akan menjadi sumber energi masa depan bagi Indonesia. Jika strategi ini berhasil, Indonesia tidak hanya akan mampu mengurangi impor minyak, tetapi juga berpotensi meningkatkan kembali posisinya sebagai salah satu pemain utama di industri minyak dan gas global.

Produksi minyak Indonesia saat ini berada pada angka 221 juta barel per tahun, sementara kebutuhan domestik mencapai 297 juta barel per tahun, yang terdiri atas 129 juta barel minyak mentah dan 168 juta barel bahan bakar minyak (BBM). Kesenjangan ini jelas menunjukkan betapa besar ketergantungan Indonesia pada impor migas. Situasi ini jauh berbeda dari masa kejayaan produksi minyak di era Orde Baru, ketika Indonesia tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga mengekspor minyak dalam jumlah besar, menjadi sumber devisa yang sangat penting bagi negara.

Namun, era kejayaan tersebut perlahan-lahan mulai pudar seiring dengan menurunnya produksi minyak dan peningkatan konsumsi domestik yang tak terbendung. Selain itu, faktor-faktor seperti cadangan minyak yang semakin menipis, kurangnya investasi dalam eksplorasi dan teknologi, serta birokrasi yang menghambat sektor energi, juga berkontribusi pada penurunan produksi minyak Indonesia.

Meskipun masa kejayaan minyak Indonesia tampak sulit untuk diulang, bukan berarti upaya untuk kembali bangkit tidak mungkin dilakukan. Tiga strategi yang diusulkan oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia merupakan langkah yang tepat untuk menjemput kembali kejayaan tersebut. Dengan penerapan teknologi canggih, reaktivasi sumur-sumur idle, dan eksplorasi di wilayah-wilayah yang belum tergali, Indonesia memiliki peluang untuk mengurangi ketergantungan pada impor migas dan kembali menjadi pemain penting di industri minyak global.

Tentu saja, upaya ini memerlukan dukungan yang kuat dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, investor, dan masyarakat. Jika semua pihak dapat bekerja sama dan berkomitmen untuk menjalankan strategi ini, bukan tidak mungkin Indonesia dapat kembali menikmati kejayaan seperti yang pernah dirasakan pada era Orde Baru. Ini bukan sekadar nostalgia, tetapi sebuah visi masa depan yang harus diwujudkan demi kemandirian energi nasional.

Redaksi Aktual