Pelan tapi pasti apa yang dilakukan oleh pemerintah untuk meliberalisasikan ketersedian energi di dalam negeri. Jika pada rezim sebelumnya setiap ada wacana kebijakan kenaikan BBM selalu diiringi dengan aksi demonstrasi, namun rezim saat ini menaikan harga BBM sudah dianggap hal yang biasa.
Tak ada lagi aksi mahasiswa seperti peristiwa 1998 yang berhasil membuat Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Tak ada lagi aksi heroik mahasiswa, buruh, menolak rencana kenaikan BBM. Pemerintahan Jokowi nampaknya tahu betul bagaimana cara untuk mengurangi beban subsidi energi di APBN namun tidak membuat polemik dan menimbulkan inflasi yang tinggi.
Beruntunglah pemerintah saat menghapuskan subsidi harga untuk Premium pada tahun 2015 saat harga minyak tengah hancur-hancurnya, sehingga meskipun subsidi dicabut namun harga jual Premium tetap tidak dinaikan, bahkan relatif diturunkan. Premium menjadi BBM PSO yang harga jualnya tetap dikendalikan oleh Pemerintah.
Seiring dicabutnya subsidi Premium oleh pemerintah, Pertamina selaku BUMN yang mengurusi ketersedian BBM di dalam negeri juga menghadirkan merek dagang baru yakni Pertalite dengan kualitas RON di atas Premium namun masih di bawah Pertamax dengan harga yang mengikuti fluktuasi harga miyak dunia, yang harganya juga tidak begitu jauh dari harga Premium pada awalnya.
Seiring mulai pulihnya harga minyak dunia, pada 2018 keberadaan Premium pun lama-lama mulai ditiadakan di wilayah Luar Pulau Jawa. Dengan dalih masyarakat mulai sadar beralih menggunakan BBM dengan kualitas lebih baik, padahal sebenarnya terpaksa beralih karena sulitnya mencari BBM Premium, apalagi tidak ada tekanan dari para aktivis yang menolak dihapusnya Premium, seolah memuluskan langkah tersebut menjadi modal untuk kebijakan berikutnya.
Mulai tahun 2020, keberadaan Premium di Pulau Jawa mulai ditiadakan. Dengan strategi memberikan harga diskon untuk Pertalite sehingga harganya sama dengan harga BBM Premium makin membuat masyarakat tidak sadar proses liberalisasi energi semakin gencar. Diskon harga Pertalite setiap 4 bulan dikurangi, hingga sampailah September 2021 harga Pertalite tak ada lagi diskon.
Dalam proses liberalisasi energi ini Pertamina nampaknya rela rugi triliunan rupiah, sampai akhirnya menjelang pergantian tahun ke 2022 mulai digulirkan agenda menghapus Premium dan Pertalite. Awalnya liberalisasi energi tak berasa menuju liberalisasi energi yang berasa. Berasa apanya? Yakni berasa mulai mencekik leher orang-orang miskin dikarenakan harga energi yang tidak terjangkau.
Meskipun Pertamina mencoba menghadirkan ketersedian energi yang ramah bagi lingkungan, namun perlu diingat menyediakan energi dengan harga terjangkau itu juga bagian dari pada Energy Security. Jika Pemerintah hanya mementingkan faktor lingkungan namun lupa bahwa Pemerintah belum mampu memberikan alternatif pilihan, maka sama saja pemerintah sedang mengorbankan rakyatnya. Sehingga nyatalah pemerintah telah mengangkangi Pancasila sila ke-5 dan UUD 1945 pasal 33.
Artikel ini ditulis oleh: