Jakarta, aktual.com – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyampaikan, proyek kereta sepanjang 142,3 km ini memang sedari awal sudah penuh masalah dan sarat korupsi. Ia pun mempertanyakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bila masih mempertanyakan adanya masalah itu.
“Aneh KPK kok malah mempertanyakan, bahkan mengimbau masyarakat melaporkan dugaan korupsi yang sudah terbentang jelas di depan mata. Hal ini mencerminkan komisioner KPK saat ini tidak kompeten,” kata Anthony.
Anthony pun membeberkan indikasi korupsi di proyek Kereta Cepat (Whoosh). Pertama, indikasi markup. Biaya proyek KCJB disebutnya sangat ketinggian. Awalnya, pihak China menawarkan 5,5 miliar dolar AS, yang kemudian naik menjadi 6,02 miliar dolar AS, atau setara 41,96 juta dolar AS per km.
“Nilai proyek ini jauh lebih tinggi dari proyek sejenis di China, yang hanya menelan biaya 17-30 juta dolar AS per km. Sebagai contoh, kereta cepat Shanghai–Hangzhou sepanjang 154 km, dengan batas kecepatan 350 km per jam, hanya menelan biaya 22,93 juta per km dolar AS,” ucapnya.
Baca juga:
Adu Cepat Menjinakan Utang Whoosh
Artinya, kata Anthony, biaya proyek Whoosh lebih mahal sekitar 19 juta dolar AS per km dibandingkan Proyek Shanghai-Hangzhou tersebut, atau kemahalan sekitar 2,7 miliar dolar AS. Karena itu, patut diduga nilai Proyek KCJB yang sangat tinggi tersebut akibat penggelembungan biaya.
“Dugaan mark-up sangat kuat juga dilihat dari proses evaluasi proyek sangat tidak profesional dan cenderung berpihak kepada pihak tertentu sehingga terindikasi melanggar proses pengadaan barang public,” paparnya.
Kedua, komponen bunga pinjaman. Menurutnya, baik Jepang maupun China menawarkan skema pembiayaan utang sebesar 75 persen dari nilai proyek, dengan tenor 50 tahun dan masa tenggang (grace period) 10 tahun. Jepang menawarkan bunga 0,1 persen per tahun, sedangkan China menawarkan bunga 2 persen per tahun, atau 20 kali lipat lebih tinggi dari bunga Jepang.
Baca juga:
Usai Disentil Mahfud, KPK Buka Pintu Kerja Sama dengan BPK dan PPATK Ungkap Dugaan Korupsi Whoosh
Dengan nilai itu, bunga pinjaman proyek Jepang hanya 4,5 juta dolar per tahun (atau sekitar Rp73,35 miliar pada kurs Rp16.300). Sedangkan bunga pinjaman proyek China mencapai 90 juta dolar per tahun, 20 kali lipat lebih tinggi, atau sekitar Rp1,47 triliun.
“Kalau beban bunga pinjaman ini masuk faktor biaya dalam evaluasi finansial proyek, maka penawaran China akan lebih mahal dari penawaran Jepang. Hampir dapat dipastikan ada manipulasi dalam evaluasi pemilihan proyek untuk memenangkan penawaran dari China,” ucapnya.
Ketiga, pembengkakan biaya (cost overrun). Anthony menjelaskan, biaya proyek Whoosh membengkak 1,2 miliar dolar AS, sehingga total nilai proyek menjadi 7,22 miliar dolar AS, atau sekitar 50,5 juta dolar per km.
“Pembengkakan biaya sekitar 20 persen ini jelas tidak normal. Dalam proyek infrastruktur, pengerjaan proyek seharusnya bersifat turnkey (fixed price). Artinya, cost overrun wajib ditanggung oleh kontraktor proyek. Tetapi, anehnya kenapa harus dibebankan kepada proyek? Ada apa?” tanya Anthony.
Baca juga:
Menkeu Purbaya Tolak APBN Digunakan untuk Menanggung Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh
Lebih parah lagi, katanya, 75 persen pembiayaan utang dari cost overrun tersebut, atau sekitar 900 juta dolar AS, dikenakan bunga pinjaman sebesar 3,4 persen per tahun, atau 34 kali lipat dari bunga yang ditawarkan Jepang. Sehingga, total bunga pinjaman proyek kereta cepat saat ini mencapai 120,6 juta dolar AS, atau sekitar Rp1,97 triliun per tahun.
“Bayangkan, penawaran bunga pinjaman dari Jepang hanya sekitar Rp75 miliar saja. KPK harus segera menyelidiki dugaan markup dan korupsi proyek KCJB ini. KPK jangan berkelit lagi. Rakyat mengawasi,” tegas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi

















