Jakarta, Aktual.com – Bayi di bawah usia lima tahun (Balita) Raya, asal Kampung Padangenyang, Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, meninggal dunia Rabu (20/8/2025), akibat infeksi cacing gelang. Di tubuhnya ditemukan cacing gelang seberat 1 kilogram (kg).

Desa Cianaga hanya berjarak 104 kilometer (km) dari Istana Merdeka, Jakarta. 55 km dari Istana Bogor, dan 89 km dari Istana Cipanas. Dan kampung yang menjadi tempat tinggal Raya itu hanya sejauh 67 km dari kediaman pribadi Presiden Prabowo Subianto di Hambalang, Bogor.

Raya sejak kecil dikenal sebagai anak dengan status (Bawah Garis Merah), istilah medis untuk menandai anak yang mengalami gizi buruk. Meski sebelumnya kondisinya parah sudah ditangani oleh Tim Posyandu, kedua orang tua Raya menolak untuk membawanya ke Puskesmas.

Penolakan ini bisa jadi karena kedua orang tua Raya, selain memiliki keterbelakangan mental, juga tak memiliki kartu keluarga (KK), kartu tanda penduduk (KTP), dan kartu peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Di lokasi yang tak jauh dari pusat kekuasaan, kondisi satu keluarga yang penuh keterbatasan tersebut pun masih terjadi.

Baca Juga:

Raya Tidak Mati karena Cacing, Tapi Karena Politik

Di sisi lain, masyarakat di daerah mengeluhkan kenaikan tarif Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Ribuan warga Pati, Jawa Tengah, melakukan aksi protes, 13 Agustus 2025, karena tarif PBB-P2 naik hingga 250 persen. Tak sampai satu minggu, giliran masyarakat Bone, Sulawesi Selatan, bergejolak karena kebijakan tarif PBB-P2 yang mencapai 300 persen, 19 Agustus 2025.

Kenaikan tarif PBB-P2 secara drastis juga terjadi di daerah lainnya. Kota Cirebon, Jawa Barat, misalnya, tarif PBB-P2 hingga 1.000 persen. Di Jeneponto, Sulawesi Selatan, sebesar 400 persen, di Jombang, Jawa Timur, 1.200 persen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, 400 persen, dan Parepare, Sulawesi Selatan, 800 persen.

Kebijakan di Pati, Bone, dan Kota Cirebon memang dibatalkan atau setidaknya ditunda. Namun, sudah banyak warga di daerah tersebut yang kadung membayar PBB-P2 sesuai kenaikan tarifnya.
PAD Rendah

Ada keterkaitan masalah pada dua kejadian di atas. Yakni, pemerintah pusat lalai akan kewajibannya untuk menjamin warga negara mendapat layanan publik yang layak sesuai amanat Konstitusi. Pemerintah pusat juga gagal melindungi dan memajukan kesejahteraan warganya sesuai bunyi Pembukaan UUD 1945.

Baca Juga:

Bupati Pati Sudewo Diserbu Aksi Demo, Lemparan Botol dan Sandal Warnai Ricuhnya Protes

Analis Ekonomi Politik Kusfiardi menyampaikan, dua kejadian di atas ada hubungannya dengan rendahnya dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) yang dianggarkan pemerintah pusat melalui dana transfer ke daerah (TKD).

Menurutnya, menurunnya anggaran DAU dan DAK menyebabkan pelayanan publik dasar di daerah terganggu. Mengingat, kedua sumber dana inilah yang menjadi andalan pemerintah daerah untuk mendanai layanan dasar umum warganya, seperti di kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur jalan, irigasi, maupun jembatan.

“Berkurangnya alokasi TKD, yang didalamnya ada untuk DAU dan DAK jelas akan menganggu layanan publik, layanan dasar di daerah. Ini ironis di era otonomi daerah (otda), di mana daerah dituntut untuk membiayai layanan dasar, layanan publik untuk pendidikan, kesehatan, jalan dan lainnya,” kata Kusfiardi.

Kusfiardi menyampaikan, belakangan ini ada persoalan tentang kemampuan keuangan daerah. Fiskal di daerah semakin berat setelah pemberlakukan otda yang tidak serta merta diikuti dukungan keuangan dari Pusat melalui alokasi TKD secara ideal.

“Konstruksinya ada yang aneh, kita NKRI dalam Otda ada pelimpahan kewajiban atau kewenangan ke daerah. Misalnya, pelayanan umum dasar seperti pendidikan SD itu menjadi kewajiban kabupaten kota, lalu kesehatan dasar seperti Posyandu dan Puskesmas, ada juga jalan kabupaten,” paparnya.

Baca Juga:

Kenaikan PBB Tak Hanya Terjadi di Pati, Peringatan Keras bagi Pemerintahan Prabowo

Daerah yang pendapatan asli daerahnya (PAD) kecil, ujarnya, terlepas dari kemalasan kepala daerahnya, akan kesulitan untuk memenuhi kewajiban pemenuhan layanan dasar tersebut. Akibatnya, tentu bisa menganggu pelayanan dasar yang seharusnya menjadi hak bagi tiap warga negara tanpa memperhatikan keuangan daerah di mana mereka berdomisili.

“Ada yang perlu dikoreksi dari pembiayaan pelayanan dasar dan layanan umum yang harusnya menjadi hak semua warga negara tanpa memperhatikan keuangan daerah. Seharusnya persoalan layanan dasar, layanan publik itu menjadi kewenangan dan kewajiban pusat supaya ada standarisasinya juga yang jelas,” paparnya.

Hal ini, ucap Kusfiardi, yang menjadi akar masalah dan menyebabkan kasus Balita Raya dan naiknya tarif PBB-P2 berbagai daerah.

“Bayangin, daerah yang tidak jauh dari pusat kekuasaan, dan pusat pemerintahan, di Sukabumi sana, ada balita yang meninggal karena cacing. Lalu, warga di beberapa daerah protes dengan tingginya tarif PBB-P2 yang drastis,” tutur Kusfiardi.

Sayangnya, ucap Kusfiardi, ketika ada kasus-kasus seperti itu, pemerintah saling lempar tanggung jawab. Pemerintah Pusat menyalahkan pemerintah daerah, sementara pemda beralasan tidak ada anggaran karena rendahnya TKD dari Pusat.

Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Media Wahyu Askar menyampaikan, negara sebetulnya tidak kekurangan uang jika pajak kekayaan diterapkan secara tegas terhadap 50 orang terkaya di Indonesia dengan asumsi tarif 2 persen dari total kekayaan. Berdasarkan hasil studi CELIOS, kelompok 50 orang terkaya tersebut memiliki kekayaan terendah sebesar Rp15 triliun dan rata-rata kekayaannya mencapai Rp159 triliun.

“Dengan hanya memajaki 50 orang saja, jumlahnya sudah mencapai sekitar Rp81 triliun. Dan kalau kita lihat ada sekitar 22 ribu orang super kaya di Indonesia. Potensi ini jauh lebih besar dari yang kami estimasi saat ini,” ungkapnya.

Bahkan, kata Wahyu, termasuk pajak penghasilan (Pph 21) terhadap pejabat negara, aparatur sipil (ASN), TNI, dan Polri yang gajinya di atas Rp5 juta. Mengingat, selama ini penghasilan mereka pajaknya ditanggung negara.

Baca Juga:

Respon Dokter RSUD Sukabumi Soal Raya Balita Meninggal Akibat Infeksi Cacing Gelang

“Jangan 50 orang itu saja, termasuk Pak Prabowo sendiri harusnya dipajakin, karena Pak Prabowo sendiri sebagai presiden, termasuk Bupati Sadewo, PNS, anggota DPR, DPRD, TNI-POlri, mereka tidak bayar pajak dari penghasilan dari gaji yang mereka terima,” ungkap Wahyu.

Menurutnya, hal itu tidak tidak adil karena karyawan swasta bayar pajak ditanggung sendiri, sedangkan mereka ditanggung negara.

“Misal kita dapat gaji 5 juta, kita bayar pajak sendiri, dipotong dari gaji. Mereka, pejabat negara, ASN, TNI dan Polri, tidak bayar pajak, karena yang bayar negara. Belum lagi fasilitas negara lainnya buat para pejabat itu yang dalam bentuk uang cash, tunjangan-tunjangan mereka, itu semua tidak kena pajak. Kita karyawan dari gaji sampai tunjangan ditotal kena pajak, mereka malah negara yang bayar,” papar Wahyu.

Karena itu, Wahyu melihat, serakahnomics yang disampaikan Presiden Prabowo sebetulnya juga terjadi di lingkungan pemerintah.

“Serakahnomics-nya bukan hanya 50 orang terkaya itu saja, serakahnomic-nya juga terjadi di negara, pemerintah, ya mereka pejabat negara, ASN, TNI dan Polri,” ucapnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi