Jakarta, Aktual.com – Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Rinto Setiyawan menyampaikan, kenaikan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang terjadi di beberapa daerah merupakan efek domino dari kegagalan sistem perpajakan nasional.

“Kegagalan sistem perpajakan nasional ini juga dipengaruhi banyak utang luar negeri Indonesia. Tahun ini kita jatuh tempo bayar utang luar negeri Rp800 triliun,” papar Rinto menyikapi aksi protes masyarakat terhadap kenaikan tarif pajak PBB-P2 di beberapa daerah, kepada Aktual.com, Jakarta, Minggu (24/8/2025).

Menurut Rinto, akibat jatuh tempo bayar utang tersebut, pemerintah pusat memotong dana Transfer ke Daerah (TKD) hingga 50 persen bagi setiap daerah di 2025. “Kepala daerah bingung TKD berkurang, akhirnya PBB-P2 yang dinaikkan,” ucapnya.

Rinto menyampaikan, sebetulnya dalam UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) Nomor 1 Tahun 2022 Pasal 41 menyebutkan, tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5 persen setelah sebelumnya hanya dipatok antara 0,1 persen hingga maksimal 0,3 persen.

“Naiknya sedikit kalau dari UU HKPD, tapi NJOP-nya yang bergerak, naik drastis. Permainannya di NJOP ini. NJOP dinaikkan, maka PBB-P2 pun ikut naik. Karena salah satu dasar penentuan PBB-P2 adalah NJOP,” papar Rinto.

Baca Juga:

Menunggu Raya Yang lain Saat Pemerintah Kalah Oleh Oligarki dan Serakahnomics

Menurut UU HKPD, NJOP menjadi dasar pengenaan PBB-P2. NJOP tidak kena pajak ditetapkan minimal Rp 10 juta untuk setiap wajib pajak. NJOP tidak kena pajak hanya akan dibebankan kepada satu objek PBB-P2 per tahun pajak. NJOP yang digunakan untuk menghitung PBB-P2 akan ditetapkan dari minimal 20 persen hingga maksimal 100 persen dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.

“Dimainkan NJOP-nya dari zona nilai tanah, itu oleh Badan Pertanahan Nasional. Ada perhitungan tersendiri zona nilai tanah itu, BPN yang menetapkan zonanya,” ucap Rinto.

Menurut Rinto, cara yang paling gampang untuk mendatangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah dengan menaikkan PBB-P2.

“Menaikkan PBB ini cara paling instan. Karena PBB-P2 jenisnya official assessment (penilain resmi melalui yang dipungut melalui penetapan oleh kepala daerah). Kalau naikkan pajak yang lain, harus ada effort karena jenisnya self assessment, pemda repot. Paling gampang, ya lewat kenaikkan PBB,” paparnya.

Tax State

Dari kenaikan PBB-P2 ini, Rinto menyampaikan, Indonesia sebetulnya sudah mengarah ke negara pajak (tax state). Karena, terjadi otoritarianisme dalam perpajakan. Setidaknya, ucap Rinto, dalam ketentuan pajak, ada 48 frasa yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Hal ini, menyebabkan, Menteri Keuangan bisa menerbitkan PMK tanpa konsultasi ke DPR.

“Pelaksanaan aturan PMK adalah dirjen pajak, sengketa ke pengadilan pajak itu juga di kemenkeu. Itu Otoritarianisme di perpajakan, yang Namanya tax state ya sudah terjadi. Kemenkeu, DJP, kerja sama dengan jaksa agung, kepolisian, dan ombudsman, jadi tidak ada jalur kalau kita gugat soal pajak,” papar Rinto.

Baca Juga:

Raya Tidak mati Karena Cacing, Tapi karena Politik

Selain itu, menurut Rinto, wajib pajak dibuat rumit oleh ketentuan pajak. Wajib pajak, katanya, harus menguasai 6 ribu aturan, dan ratusan ribu pasal untuk memahami aturan pajak yang berlaku.

“Pajak dibuat rumit aturannya, supaya kita fokus pada administrasi pajak yang ribet. Sekarang kita paham, tahun depan ganti aturan. Di sini celah mafia pajak. Karena tidak mungkin baca aturan, sekian ribu aturan, tidak ada waktu,” ungkap Rinto.

Badan Penerimaan Negara

Rinto mengusulkan, sebagai solusi jangka pendek dari persoalan tersebut adalah dengan membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN). Badan ini terpisah dari Kementerian Keuangan, didalamnya nanti berasal dari Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai.

“Jadi dipisah, dibedakan ada kasir ada bendahara. BPN ini kasir, Kemenkeu bendahara. Yang terjadi sekarang adalah kasir dan bendahara jadi satu, makanya Kemenkeu tidak pernah salah,” ucapnya.

Baca Juga:

Pejabat Negara dan ASN Harus Bayar Pajak Secara mandiri Bukan Ditanggung Pemerintah

Menurut Rinto, Sri Mulyani sebagai menteri keuangan tidak memiliki kemampuan mencatat keuangan negara. Sri Mulyani disebutnya spesialis kasir, karena itu solusi yang ditawarkan Sri Mulyani kepada Presiden ketika negara tidak memiliki uang selalu jangka pendek, yakni melalui utang luar negeri.

“Menkeu ini tidak punya kemampuan mencatat, hanya spesialis kasir karena itu solusinya selalu jangka pendek, utang. Meskinya sebagai bendahara, menkeu itu kasih saran ke presiden industri-industri yang perlu digalakkan untuk penerimaan negara,” papar Rinto.

Namun, kata Rinto, adanya Badan Penerimaan Negara ini hanya solusi jangan pendek. Jangka panjangnya, menurutnya, harus ada perbaikan system tata negara dibenahi. Membedakan antara lembaga negara dan lembaga pemerintahan.

Artikel ini ditulis oleh:

Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi