Buat generasi angkatan tua, setidaknya kelahiran tahun 1960-an dan 1970-an, yang mempelajari sejarah nasional Indonesia, tentunya sangat tidak asing dengan yang namanya Perjanjian Giyanti. Sebuah sejarah kelam dan pahit buat masyarakat di tanah Jawa, terbelahnya kerajaan Jawa menjadi dua: Surakarta dan Yogyakarta.
Belanda, yang kala itu sedang gencar-gencarnya mengonsolidasikan kekuasaannya untuk menjajah tanah Jawa, memang sangat berperan besar dalam memecah-belah kekompakan para elit penguasa Jawa kala itu. Namun sisi lain dari Perjanjian Giyanti tersebut, juga sama pentingnya untuk kita sorot saat ini, ketika situasi dan kondisi nasional saat ini sedang memanas jelang putara kedua Pilgub DKI Jakarta.
Terbelahnya Surakarta dan Yogyakarta menyusul terjadinya Perjanjian Giyanti yang tragisnya justru dimediasi oleh pemerintah kolonial Belanda, bermula dari timbulnya Perang Suksesi dan benturan kepentingan kekuasaan antartrah yang melibatkan tiga pihak yang semula di bawah naungan Kesunanan Surakarta di bawah kepemimpinan Sunan Amangkurat IV. Yaitu perang suksesi dan benturan kepentingan antara Sunan Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi, dan Pangeran Mangkunegara.
Perseteruan tingkat tinggi antartrah di bawah naungan Sunan Amangkurat IV di Kasunanan Surakarta Inilah yang secara jeli disadari betul oleh Kumpeni Belanda, sehingga kemudian menerapkan politik devide et impera, yang tujuannya adalah pecah-belah, lalu kuasai. Dengan kata lain, Perang Suksesi yang semula murni perseteruan bersifat lokal, kemudian malah menjadi pintu masuk campur-tangan asing yang dalam hal ini adalah pemerintah kumpeni Belanda yang sedang mengonsolidasikan kekuasaan dan pengaruhnya di kalangan simpul-simpul politik di tanah Jawa.
Ada banyak versi mengapa kemudian Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Mangkunegara(Juga dikenal sebagai Raden Mas Said alias Pengeran Samber Nyawa), kemudian bersekutu melawan Sunan Pakubuwono III Surakarta. Namun inti penyebabnya jelas, keduanya bersepakat bersekutu melawan kebijakan Sunan Pakubuwono III yang pro Belanda sehingga mendapat dukungan baik secara ekonomi maupun kemiliteran dari kumpeni Belanda.
Ketika kekuatan militer Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Mangkunegara semakin solid dan menguat, maka pemberontakan terhadap Sunan Pakubuwono III pun tak terhindarkan lagi. Maka pecahlah Perang Suksesi Jawa antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Mangkunegara versus Sunan Pakubuwono III yang mendapatkan dukungan kumpeni Belanda. Seperti terdokumentasi dalam sejarah nasional Indonesia, perang tersebut meletus sejak 1747 dan berakhir pada 1757.
Namun di sela-sela perang suksesi itu, Sunan Pakubuwono III tiba-tiba jatuh sakit pada 11 Desember 1749. Ketika sakitnya semakin parah, Sunan justru menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Baron van Hohendorf (petinggi kumpena Belanda di Semarang) sebagai saksi atas pergantian raja. Bukan itu saja. Sunan Pakubuwono III juga menandatangani surat perjanjian atas penyerahan kedaulatan kerajaan secara utuh kepada kumpeni Belanda. Maka sejak saat itulah awal mula hilangnya kedaulatan Kasunanan Surakarta ke tangan kumpeni Belanda.
Maka sejak saat itu, semua pelantikan raja-raja Mataram, sepenuhnya menjadi wewenang pemerintahan kolonial Belanda. Barang tentu itu berarti Belanda punya kuasa penuh mendudukkan seorang raja yang dipandang pro Belanda atau mau jadi boneka Belanda. Maka ketika Sunan Pakubuwono III akhirnya meninggal dunia, Belanda memilih Raden Mas Suryadi sebagai pengganti raja di Kasunanan Surakarta, bergelar Sri Susuhunan Pakubuwono III.
Dengan begitu, Raden Mas Suryadi sebagai ahli waris Sunan Pakubuwono III, meneruskan perang suksesi menghadapi persekutuan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Mangkunegara.
Di tengah-tengah pertarungan harga mati antartrah tersebut, di sinilah kelicikan Belanda nampak jelas, dalam menerapkan politik devide et impera-nya. Pertama, Belanda melakukan pendekatan kepada Pangeran Mangkubumi. Yang kemudian berujung pada Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.
Pada intinya isi perjanjian Giyanti adalah: Pengakuan Kumpeni Belanda atas kedaulatan Pengaran Mangkubumi sebagai raja keturunan Mataram, yang menguasai separuh wilayah kekuasaan Sunan Pakubuwono III. Atas dasar perjanjian Giyanti tersebut, Pangeran Mangkubumi mendirikan kerajaan baru di Hutan Pabringan yang kemudian dikenal dengan nama kesultanan Yogyakarta pada 1755. Selama menjabat sebagai raja, Pangeran Mangkubumi menyandang gelar Sultan Hamengkubuwono Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah, atau Sultan Hamengkubuwono I.
Belakangan baru disadari bahwa selain bermaksud memecah-belah Surakarta dan Yogyakarta, Belanda juga bermaksud memecah persekutuan yang sangat solid antara Pangeran Mangkubumi dan Pengeran Mangkunegara. Gara-gara Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkunegara otomatis menjadi musuh bersama antara Belanda, Sunan Pakubuwono III dan Sultan Hamengkubuwono I.
Karena dikepung dari tiga penjuru dan bahkan jadi musuh bersama tiga kekuatan yang semula saling berperang, maka Pangeran Mangkunegara terpaksa bersedia berunding dengan Belanda. Hasil dari perundingan tersebut maka lahirlah Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757.
Isi perjanjian, Pangeran Mangkunegara menyatakan kesetiaannya kepada Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta dan kumpeni Belanda. Sebagai imbalannya, Pangeran Mangkunegara mendapatkan daerah kekuasaan yang meliputi Kaduwang, Matesih, Hanggabayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Sebagai adipati di Praja Mangkunegaran, Pangeran Mangkunegara mendapatkan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkunegara I.
Inilah saripati kisah yang dipetik dari Babad Giyanti gubahan pujangga sohor dari Kasunanan Surakarta, Raden Ngabehi Yasadipura.
Jika kita petik hikmah dari jalinan cerita tadi, maka penjajahan asing begitu mudah menaklukkan bumi nusantara, dikarenakan adanya pelemahan internal kenegaraan, proses penghancuran diri sendiri dari dalam, yang celakanya melibatkan pemain-pemain kunci dari kekuasaan dan kedaulatan Kasunanan Surakarta di bawah naungan Sunan Pakubuwono III. Yaitu Pakubuwono III itu sendiri, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said alias Pangeran Mangkunegara.
Ketiganya, oleh sebab didorong ambisi politik dan rasa kecewa akibat pembagian kekuasaan yang dirasa tidak adil, maupun bujuk rayu kumpeni Belanda sehingga Sunan Pakubowono III berani untuk ingkar janji atas kesepakatan di awal, akhirnya jadi sumbu pemicu ledakan yang bermuara pada Perang Suksesi Jawa.
Kalau menelisik kesejarahan dan riwayat yang melahirkan Perjanjian Giyanti maupun Perjanjian Salatiga, maka sudah semestinya generasi sekarang memandang Kisah Babad Giyanti dengan makna baru. Bahwa apapun penyebab dan pemicu timbulnya Perang Suksesi Jawa, maka ketiga raja Jawa tersebut, telah menjadi sarana untuk memudahkan pemerintah kolonial Belanda untuk menguasai tanah Jawa. Dan siasat Belanda melakukan politik pecah-belah tersebut berhasil.
Itulah sebabnya seruan Bung Karno agar kita Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah, kiranya masih tetap relevan hingga sekarang.
Hendrajit.