Jakarta, Aktual.co — Membaca dua buku menarik.  Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908-1918, dan buku-buku terkait kiprah Sarikat Islam dan peran HOS Tjokroaminoto, khususnya karya Aji Dedi Mulawarman, Jang Oetama, Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto.

Sebuah gagasan muncul di benak saya. Jangan-jangan basis nyata dukungan partai-partai di Indonesia sejak era demokrasi parlementer 1950-an hingga era reformasi sejak 1999, seharusnya bertumpu pada geneologi Budi Utomo dan Sarikat Islam. Basis konstituen Budi Utomo adalah kaum bangsawan Jawa sekaligus aparat birokrasi pemerintahan kolonial Belanda, priyayi rendah, dan kaum profesional lintas keahlian. Sedangkan Sarikat Islam, bertumpu pada basis konstituen kaum pedagang menengah dan kecil, para profesional berbagai keahlian, serta kaum tani yang berbasis di pedesaan.

Budi Utomo yang berdiri pada 1908, dan Sarikat Islam pada 1912 yang kemudian lingkupnya meluas menjadi Central Sarikat Islam pada 1916 di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto, berada pada alur sejarah ketika konstituen nasionalis Jawa versus nasionalis religius, hanya dihadapkan pada dua pilihan yaitu gabung dengan Budi Utomo atau Sarikat Islam sebagai kontra skema menghadapi dominasi pemerintahan kolonial Belanda di bumi nusantara. Kala itu, belum ada bayangan terbentuknya Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa.

Meskipun ketika Budi Utomo bermetamorfosa menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) dan Sarikat Islam menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia, keduanya justru meredup peran dan kiprahnya sebagai organ pergerakan, namun saya yakin geneologi pendukung kedua organisasi ini tetap mewarnai dan menjadi basis kultural dan sosial perpolitikan Indonesia, melalui keturunan-keturunan mereka di lapis generasi ketiga dan keempat. Geneologi yang saya maksud di sini bisa dalam arti tarikan hubungan darah atas dasar ikatan keluarga, perkawanan maupun garis hubungan antara guru dan murid yan dibangun melalui berbagai sarana pendidikan informal yang khas nusantara.

Mungkin ini agak menyederhanakan masalah. Tapi jadi menarik ketika Bung Karno pada 1927 membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI). Siapa yang jadi basis pendukung PNI? Kenyataan bahwa sejak sekolah di Surabaya, beliau gabung dalam Jong Java, yang sebagian besar mahasiswa yang gabung dengan Jong Java seaspirasi dengan para seniornya di Budi Utomo. Apa berarti Budi Utomo secara otomatis kemudian berafiliasi ke PNI? Ternyata tidak juga. Karena fakta lain membuktikan, Bung Karno pada saat yang sama juga berguru pada Hos Tjokroaminoto yang notabene merupakan motor penggerak Sarikat Islam.

Meski pada perkembangannnya kemudian, Bung Karno terlibat polemik yang seru dengan tokoh Persis yang kelak jadi Ketua Masyumi, M Natsir, tentang bentuk negara Indonesia jika nantinya merdeka, dan kemudian antara PNI dan Masyumi terlibat dalam perseteruan abadi sepanjang masa demokrasi parlementer hingga demokrasi terpimpin, saya tetap menangkap kesan bahwa geneologi Sarikat Islam yang notabene berhaluan nasionalis religius, masih tetap utuh sebagai the silent voice of Islam, yang sejatinya tidak bertentangan dengan garis politik PNI yang juga nasionalis. Marhaenisme yang menjadi basis ideologis untuk merajut seluruh kekuatan-kekuatan nasional yang menjadi korban penjajahan Belanda, sejatinya merupakan elemen-elemen yang menjadi basis pendukung Budi Utomo maupun Sarikat Islam sebagaimana yang saya gambarkan tadi.

Karena salah satu yang mengikat konstituen Sarikat Islam yang digariskan oleh Pak Tjokro, bertumpu pada ikatan batin antar sesama Muslim yang bersifat lintas kedaerahan dan kesukuan, dan bukan ikatan Islam berbasis ideologi. Seperti halnya yang menjadi basis yang mengikat Partai Masyumi. Lebih daripada itu, dalam menggambarkan kondisi obyektif kolonialisme Belanda kala itu, Sarikat Islam yang merujuk pada garis politik HOS Tjokroaminoto, jauh lebih tepat sasaran dalam menjelaskan akar kolonialisme di bumi nusantara, meski belum terlalu lengkap, dibandingkan Budi Utomo yang dalam moralitas politiknya, tetap memperjuangkan kemajuan dalam bidang pendidikan dan kebudayaan dalam kerangka kerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda.

Sementara kalau menilik secara biografis tokoh-tokoh sentral Sarikat Islam, pada umumnya merupakan kalangan yang asalnya dari kaum birokrasi namun pada perkembangannya kemudian berpaling dari birokrasi pribumi, menjadi “Kaum Intelektual Merdeka.” Alhasil, penyikapan dasar para motor penggerak Sarikat Islam cenderung menentang birokrasi kolonial yang tidak adil, dan tentunya memandang rendah pejabat pribumi yang menghambakan diri mereka kepada pemerintah kolonial. Dasar penyikapan ini kelak oleh Bung Karno ketika mendirikan PNI pada 1927, dikembangkan menjadi POLITIK NON KOOPERASI.

Apalagi ketika pada kenyataannya, sebagaimana diakui sendiri oleh Bung Karno, Pak Tjokro adalah gurunya, karena sosok ini dinilai penuh daya cipta. Seorang kreator, bukan sekadar pimpinan organisasi. Kalaupun belakangan hari, Bung Karno mengeritik konsepsi politik Pak Tjokro yang lingkupnya terlalu sempit karena hanya menjadikan Islam sebagai ikatan para kader dan anggota Sarikat Islam, namun perbedaan antar keduanya lebih pada aspek taktis politik, dan bukan hal yang prinsipil.

Sehingga ketika konsepsi Marhaenisme dan kaum Marhaen menjadi basis ideologis dan kaum Marhaen sebagai tulang punggung kekuatan PNI, praktis mengakomodiasi dan merajut geneologi pendukung Sarikat Islam maupun Budi Utomo sekaligus.

Karena rumusan kaum Marhaen yang dirumuskan Bung Karno, bahwa mereka bukan merupakan buruh produksi atau alat produksi, melainkan mereka merupakan elemen-elemen masyarakat yang sejatinya punya alat produksi, namun karena adanya hambatan dari sistem kolonial, mereka tidak mampu mengembangkan dan memperluas lingkup usahanya secara berdikari. Sehingga komponen-komponen sosial yang dirajut oleh Sarikat Islam seperti para pedagang batik di Jawa Tengah, kaum profesional yang berasal dari kalangan priyayi rendah, hingga kaum tani dan nelayan, maupun kaum priyayi kecil berbasis profesional yang merupakan salah satu elemen pendukung Budi Utomo, oleh Bung Karno dirajut dalam satu kesatupaduan sebagai Kaum Marhaen.

Sehingga ketika kemudian Bung Karno mengembangkan konsepsi nasionalismenya yang berbasis Marhaenisme, saya menangkap kesan bahwa Bung Karno tetap lebih sejiwa dengan watak progresif Pak Tjokro dan Sarikat Islam ketimbang dengan Konservatisme Budi Utomo. Dengan kata lain, meski tetap berpotensi untuk merangkul geneologi pendukung Budi Utomo dari semua tingkatan, namun Bung Karno tidak berharap banyak atas peran kepeloporan elemen-elemen pendukung Budi Utomo untuk mendukung skema pergerakan.

Andaikan proklamasi yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 yang kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk pemerintahan pada 18 Agustus 1945, tetap berlangsung dan berkesinambungan hingga berakhirnya revolusi fisik 1949 menyusul pengakuan Belanda atas kedaulatan RI berdasarkan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, mungkin skisma politik antara geneologi pendukung Budi Utomo dan Sarikat Islam tak akan terjadi. Yang mungkin bakal tejradi adalah, bersenyawanya geneologi pendukung Budi Utomo dan Sarikat Islam sebagai basis pendukung terbentuknya Partai Pelopor sebagaimana konsepsi politik Bung Karno yang dituangkan dalam salah satu bukunya, Mencapai Indonesia Merdeka.asional Bung Karno yang lebih dijiwai oleh etos pergerakan Pak Tjokro.

Dalam konsepsi partai pelopor menurut Bung Karno, partai pelopor bukan berarti otomatis partai tunggal. Jadi meski ada dua atau tiga partai, sejatinya ada satu partai dominan yang merupakan kekuatan utama yang mengakar kokoh sebagai basis kekuatan seluruh elemen strategis masyarakat Indonesia. Sedangkan dua partai lainnya, hanya sekadar pelengkap pendukung belaka.

Sayangnya skenario memunculkan partai pelopor buyar, gara-gara  keluarnya maklumat X pada November 1945, yang membuka pintu sebebas-bebasnya untuk membentuk partai politik menurut skema politik liberal dan sistem parlementer. Sehingga gagasan untuk merajut geneologi pendukung Budi Utomo dan Sarikat Islam dalam kesatupaduan yang diikat oleh Marhaenisme dan kaum Marhaen melalui terbentuknya Partai Pelopor menurut konsepsi Bung Karno, gagal total.
Sebaliknya, justru memicu skisma politik antara geneologi Budi Utomo versus Sarikat Islam yang sejatinya rentan untuk disulut untuk berhadapan secara ideologis melalui perhadapan ideologis antara PNI versus Masyumi. Seakan-akan, PNI mewakili geneologi Budi Utomo sedangkan Masyumi mewakili geneologi Sarikat Islam. Padahal tidak seperti itu, dan kalaupun pada perkembangannya seperti itu, karena kedua geneologi ini seakan dipaksa keadaan untuk berhadapan secara ideologis.

Padahal skema pergerakan Pak Tjokro dan Sarikat Islam sama sekali berbeda dengan skema politisasi Islam M Natsir dari Masyumi. Yang terjadi kemudian, baik partai-partai berbasis nasionalisme maupun berbasis Islam, sama-sama tidak mempunyai akar dukungan yang nyata dan mengakar dalam masyarakat. Tidak saja di era demokrasi parlementer yang berakhir pada 1959, di era Orde Baru, dan bahkan di era reformasi sejak Pemilu 1999.

Skisma politik geneologi pendukung Budi Utomo dan Sarikat Islam inilah, yang kiranya membuat partai-partai yang sekarang begitu menjamur di pentas politik pasca reformasi, baik yang berhaluan nasionalis maupun keislaman, tidak punya basis dukungan yang nyata dan mengakar. Sehingga setting politik semacam ini, pada perkembangannnya justru dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan tirani bisnis/swasta untuk menyusun koalisi para investor dengan menunggangi koalisi kepentingan antar elit-elit politik partai.

Oleh: Hendradjit, Redaktur Senior Aktual