Jakarta, Aktual.com – Pusat Bantuan Hukum (Pusbakum) Advokat Indonesia cabang Surabaya, Jawa Timur mengadukan nasib kliennya seorang petani cilik bernama Mulyadi Hadi ke Komisi III DPR RI, lantaran tanahnya diserobot oleh konglomerat berinisial WH.
Sekitar empat orang dari Pusbakum Advokat Indonesia Surabaya menyambangi ruang kantor sekretariat Komisi III DPR dan diterima para staf sekitar pukul 11.30 WIB di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/5).
Johanes Dipa Widjaja selaku pengacara Mulyadi mengatakan kedatangan mereka untuk meminta perlindungan hukum ke wakil rakyat bagi kliennya Mulyadi Hadi selaku ahli waris dari Randim P. Warsiah.
Pasalnya ada tindakan oknum Polri yang dianggap sewenang-wenang diatas tanah Mulyadi Hadi ketika melakukan pengamanan atas segerombolan preman yang menduduki tanah kliennya tersebut.
“Jadi tanah milik klien kami ada terbit Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) No 4157 di Kelurahan Pradah Kali Kendal atas nama WH, tapi anehnya menunjuk tanah di Kelurahan Lontar. Saat klien kami ajukan gugatan di persidangan, klien kami di serang dan diusir dari tanahnya tersebut dengan cara melibatkan ratusan diduga preman,” ujar Jonanes Dipa Widjaja saat menyambangi Komisi III DPR RI di Jakarta.
Dikatakan dia anehnya saat tanah itu diduduki oknum preman, banyak aparat kepolisian menjaga keamanan, namun hanya aparat oknum Polri setempat hanya diam, dan terkesan ada pembiaran, padahal situasi sudah ramai.
“Akibatnya salah satu penasehat hukum selaku kuasa ahli waris meninggal dunia, diduga karena pukulan aksi premanisme itu. Namun, saat di bawa ke rumah sakit penasehat hukum bernama Lim Tji Tjong didiaknosa terpapar Covid 19. Kejadian terjadi pada 9 Juli 2021 silam,” ujarnya.
Padahal lanjut Johanes pemerintah saat itu telah menetapkan. PPKM Darurat, sehingga non sense atau tidak masuk akal apabila pengerahan masa itu tidak diketahui aparat kepolisian.
“Bahkan tidak diantisipasi oleh aparat keamanan, sehingga kami menilai cukup beralasan apabila kami merasa ada pembiaran dari oknum polisi saat kejadian tersebut,” tuturnya.
Tak pelak, kliennya pun membuat laporan ke Polisi terkait kasus itu, namun terkesan dipersulit dengan berbagai alasan dan baru bisa diterima setelah berjuang sedemikian rupa.
“Sekalipun sudah diterima tapi prosesnya terkesan dihentikan dengan berbagai alasan. Berbeda halnya dengan laporan yang dilakukan oleh pihak WH, terkesan diperlakukan istimewa,” tutur dia.
Pihaknya pun menduga kasus ini ada rekayasa karena semuanya sudah diperiksa dan diputus oleh PTUN dan sudah berkekuatan hukum tetap, sebab dari Laporan Polisi No: LP-B/481/VI/RES.1.9/2021/RESKRIM/SPKT POLRESTABES SURABAYA tanggal 7 Juni 2021, berdasarkan hasil gelar perkara harus ditangguhkan sampai dengan adanya putusan perdata yang berkekuatan hukum tetap.
“Ini sebagaimana termuat di dalam SP2HP No.B/1848/SP2HP/IV/RES.1.9/2022/Satreskrim tanggal 27 April 2022, namun anehnya yang bersangkutan dapat membuat laporan polisi kembali yang kedua dan diterima oleh Mabes Polri meskipun dengan Pasal 263 KUHP dan/atau Pasal 266 KUHP dan uraian peristiwa yang sama sebagaimana tertuang di dalam LP/B/0146/III/2022/SPKT/BARESKRIM POLRI tanggal 25 Maret 2022,” papar Johanes.
Dia menegaskan terkesan laporan dari pihak WH, pemeriksaan dilakukan cepat secara marathon selama 2 Minggu di
Surabaya, dan berdasarkan informasi yang diperolehnya dari terperiksa, dalam melakukan pemeriksaan, oknum penyidik dalam pemeriksaan kasus itu terkesan sangat berpihak kepada pelapor yakni WH.
“Padahal berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 374/Pdt.G/2021/PN.Sby Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No.196/PDT/2022/PT.SBY Klien kami dinyatakan sebagai pemilik yang sah dan justru SHGB pelapor lah yang dinyatakan cacat hukum,” tegasnya.
Adapun, lanjut Johanes terkesan Laporan Polisi tersebut diduga sebagai upaya untuk mengintervensi proses hukum keperdataan yang sedang berjalan.
“Maka kami berharap agar Polri dapat bersikap profesional dan tidak berpihak sebagaimana program yang dicanangkan oleh Kapolri yaitu Presisi, demi terwujudnya kepastian hukum yang berkeadilan dan bermartabat,” tegasnya.
Dia pun berharap agar anggota DPR khususnya Komisi III membuka ruang untuk dilakukan Rapat Dengar Pendapat Umum.
“Jangan sampai Polri dijadikan alat untuk menindas dan mengintervensi proses hukum yang ada oleh mafia tanah, karena mafia tanah sungguh menyengsarakan masyarakat khususnya rakyat kecil seperti yang dialami oleh Klien kami,” tandas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin