Di era tersebut, para pemilik tanah di bekas perusahaan-perusahaan Belanda diambil haknya secara sepihak oleh pemerintah, dan hari ini disaat ada masyarakat pemilik lahan memperjuangkan hak mereka atas tanah justru ditentang habis-habisan dimana menurut pemerintah sudah dimiliki BUMN.
“Padahal dulu Belanda tidak pernah melakukan perjanjian sama sekali dengan masyarakat pemilik lahan. Ini bukti bahwa masyarakat selalu yang jadi korban,” ucap Edo.
Berkaca dari pengalaman masa lalu, ia tak ingin kembali dijanjikan hal yang sama oleh kedua pihak, sebab masyarakat adat Papua selalu dipakai namanya untuk keuntungan yang sesungguhnya tak pernah dirasakan masyarakat di sana.
Sejarah hadirnya PTFI tidak lepas dari sejarah status politik Papua, inilah salah satu akar masalahnya. Kehadiran PTFI memuluskan terjadinya pelanggaran hak hidup orang Papua.
Alasannya, sekian persen hasil yang diperoleh dari PTFI diberikan kepada pemerintah, termasuk militer. Industri tambang ini pun menjadi objek vital negara didasarkan pada Keppres sehingga keamanannya wajib dilindungi.
Ketika masyarakat adat yang punya hak menuntut, namun karena itu merupakan objek vital negara maka bisa saja kata Edo hak hidupnya dicabut, dengan senjata dan peluru yang dibeli dari hasil eksplorasi PTFI.
“Ini yang saya sebut ‘mesin pembunuh’, sudah diambil SDA-nya, hasilnya malah digunakan untuk membeli senjata dan amunisi untuk mencabut hak hidup para pemilik tanah adat,” kecam Edo.
Pihak-pihak yang kerap menggaungkan wacana nasionalisasi PTFI diminta tidak abai pada hal-hal penting yang fundamental dari persoalan rakyat itu sendiri. Ia pun mewaspadai apakah isu nasionalisasi ini memang isu pokok atau sekedar isu titipan.
Jangan-jangan hanya memanfaatkan penderitaan rakyat untuk kepentingan segelintir orang, perusahaan-perusahaan besar. Orang-orang yang hari ini hidup menurutnya tidak pernah merasakan betapa sulit dan hancurnya lingkungan yang masyarakat Papua tinggali selama ini.
“Nasionalisasi tidak akan membebaskan buruh yang selama ini dikuras habis tenaganya, tidak akan menetapkan masyarakat adat sebagai subjek hukum, karena sepanjang sejarah negara ini belum pernah ada perusahaan yang mengakui masyarakat adat sebagai subjek hukum pemilik lahan,” demikian Edo.
(Nelson Nafis)
Artikel ini ditulis oleh: