Jakarta, Aktual.com – Mahkamah Konstitusi diminta menggunakan Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun tentang Pilkada dalam mengadili sengketa hasil Pilkada serentak 2017.
Pasalnya, pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan serentak di 101 daerah di seluruh Indonesia pada tahun 2017 dan khusus untuk Aceh dilaksanakan di 20 Kabupaten-kota serta Pemilihan Gubernur Aceh yang sudah dilaksanakan pada Februari 2017 haruslah mengacu pada UU Pemerintah Aceh.
“Kami meminta MK mempertimbangkan kekhususan Aceh dalam pelaksanaan dan penyelesaian sengketa Pilkada Aceh kedua yang sedang di adili saat ini, dan menghimbau MK untuk selalu berpegang pada kekhususan Aceh dalam mengadili perkara-perkara Pengujian terhadap UUPA dikemudian hari,” ujar Wakil Ketua Komisi I DPR Aceh Azhari Cage di Jakarta, Jumat (17/3).
Sementara, Wali Kota Lhoekseumawe Suaidi Yahya meminta agar pemerintah pusat dan MK tidak mengabaikan perjanjian damai yang telah disepaati bersama dengan Gerakan Aceh Merdeka pada 15 Agustus 2005
Suaidi Yahya menjelaskan, partai Aceh yang merupakan salah satu partai lokal menjadi amanat dari MoU Helsinki dan tertuang secara khusus dalam UUPA dan partai yang memiliki suara mayoritas di parlemen baik DPRA maupun DPRK, dan secara mayoritas Partai Aceh juga menguasai 12 bupati-wali kota dari 23 kab-kota dalam Provinsi Aceh.
“Apabila hal ini tidak diindahkan maka pemerintah pusat dan MK benar telah menidakan keberadaan peran dan fungsi Kami dan menganggap kami ilegal maka dengan demikian kami menyatakan mengundurkan diri dari jabatan kami di Parlemen dan Pemerintahan.”
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Wisnu