Kalau ditanya, siapa tokoh jurnalis investigatif yang pernah dipenjara di zaman Orde Lama dan Orde Baru, akan muncul nama Mochtar Lubis. Mochtar, yang juga seorang penulis dan sastrawan, adalah sosok jurnalis idealis yang teguh memegang prinsip, berani, dan tanpa kompromi, walau ia harus masuk bui.
Mochtar Lubis lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922, dan meninggal di Jakarta, 2 Juli 2004 pada umur 82 tahun. Mochtar adalah putera Pandapotan Lubis, pegawai Pangreh Praja atau binnenlands bestuur (BB) pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang ketika pensiun pertengahan 1930-an menjabat sebagai Demang atau Kepala Daerah Kerinci.
Setelah tamat sekolah dasar berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh, Mochtar melanjutkan pelajaran di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam. Pendidikan formalnya tidak sampai pada taraf AMS atau HBS. Mochtar sempat menjadi guru sekolah di Pulau Nias, sebelum datang ke Jakarta. Ia memang seorang otodidak tulen.
Pada zaman Jepang, ia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio Sekutu di luar negeri. Berita yang didengar lalu dituliskan dalam laporan, untuk disampaikan kepada Gunseikanbu, kantor pemerintah bala tentara Dai Nippon. Demi sekuriti dan agar berita radio itu tidak tersebar ke masyarakat, tim monitor tinggal terpisah dalam kompleks perumahan di Jalan Timor, di belakang hotel milik Jepang, di Jalan Thamrin sekarang.
Dalam tim itu terdapat: Dr. Janssen, mantan pegawai Algemene Secretarie di Bogor yang paham bahasa Jepang; J.H. Ritman, mantan Pemred Harian Bataviaasche Nieuwsblad; Thambu, mantan wartawan Sri Lanka yang melarikan diri dari Singapura, setelah kota itu jatuh ke tangan Jepang; dan Mochtar Lubis.
Pada masa itulah, akhir 1944, Lubis menikah dengan gadis Sunda, Halimah, yang bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja. Setelah proklamasi kemerdekaan, kantor berita “Antara” yang didirikan tahun 1937 oleh Adam Malik dan kawan-kawan muncul kembali. Mochtar pun bergabung dengan “Antara.”
Karena paham bahasa Inggris secara aktif, ia menjadi penghubung dengan para koresponden asing, yang mulai berdatangan ke Jawa untuk meliput kisah Revolusi Indonesia. Sosoknya yang tinggi 1,85 meter merupakan pemandangan akrab di tengah para koresponden perang yang bule-bule.
Menjelang penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), 27 Desember 1949, ia bersama Hasjim Mahdan mendapat ide untuk memulai surat kabar baru. Maka, lahirlah harian Indonesia Raya. Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksinya.
Ketika pertengahan 1950 pecah Perang Korea, ia pergi meliput pertempuran di Korea Selatan. Lalu ia pun terkenal sebagai koresponden perang. Pada paruh pertama dasawarsa 1950, ketika di zaman liberal, demokrasi parlementer, sangat dominan adanya personal journalism.
Maka, Mochtar Lubis identik dengan Indonesia Raya, begitu pula sebaliknya. Surat kabar dikenal oleh yang memimpinnya: B.M. Diah di “Merdeka,” Suardi Tasrif di “Abadi,” dan Rosihan Anwar di “Pedoman.”
Sebelum dikenai tahanan rumah pada 1957 dan tahanan penjara selama sembilan tahun sampai 1966, menurut penuturan H. Rosihan Anwar, Mochtar Lubis membikin masyarakat gempar dengan beberapa berita. Salah satunya, kasus korupsi yang diduga melibatkan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani.
Seorang pengusaha mengaku memberikan uang Rp 1,5 juta kepada Roeslan. Uang itu berasal dari ongkos mencetak kartu suara pemilu. Akibatnya, Roeslan hendak ditahan oleh CPM sebelum keberangkatannya ke London, untuk menghadiri konferensi internasional tentang Terusan Suez. Presiden Mesir Nasser baru saja menasionalisasi Suez.
Presiden Soekarno yang tengah mewujudkan konsep politiknya –kelak menjelma sebagai demokrasi terpimpin Orde Lama– marah-marah terhadap Mochtar dan Indonesia Raya. Mochtar sempat dikenai tahanan rumah. Ia mencoba memimpin Indonesia Raya dari rumah, tapi makin hari makin sulit.
Pada 1961, ia dipindahkan ke penjara Madiun dan di sana ditahan bersama mantan PM Sjahrir, Mohammad Roem, dan lain-lain. Keadaan di Tanah Air kacau. Peristiwa PRRI-Permesta menggoyahkan stabilitas. Kebebasan pers sirna. Indonesia Raya, Pedoman, Abadi dilarang terbit oleh Soekarno-Nasution. Mochtar baru dibebaskan pada 1966. Pemikirannya selama di penjara, ia tuangkan dalam buku Catatan Subversif (1980).
Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan. Ia pandai melukis dan membuat patung dari keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan menampilkan tokoh karikatural si Djamal. Kemudian dia bergerak di bidang penulisan novel. Di antara novelnya dapat disebut: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba. Dia memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan.
Setelah 1968, Indonesia Raya diizinkan terbit kembali. Lubis menyerang korupsi di Pertamina. Bos perusahaan negara itu, Letnan Jenderal Ibnu Soetowo, disorot dengan tajam, namun sia-sia belaka. Ibnu mundur sebagai Direktur Utama Pertamina, tetapi posisinya tetap kokoh dan harta yang dikumpulkannya tidak terjamah.
Mochtar lubis memang menjadi pahlawan di pentas jurnalistik. Apakah soalnya menyangkut pencemaran lingkungan hidup atau pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), bisa dijamin ia ada di sana sebagai pembela perjuangan untuk yang benar dan adil.
Ketika terjadi peristiwa Malari, Januari 1974, dan para mahasiswa beraksi mendemo PM Tanaka dari Jepang, kebakaran terjadi di Pasar Senen. Presiden Soeharto menginstruksikan pembreidelan sejumlah surat kabar, di antaranya Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi. Mochtar sendiri ditahan selama dua bulan.
Setelah bebas lagi, Mochtar banyak aktif di pelbagai organisasi jurnalistik luar negeri, seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri, dia mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia. Yayasan ini menerbitkan buku-buku bermutu, yang berasal dari luar maupun dalam negeri.
Usaha penerbitan itu lancar karena dana dari luar, seperti Ivan Kats dari Asia Foundation. Salah satu ciri khas Mochtar Lubis ialah PR (public relations) yang kuat, keluwesan bergaul, antusiasme terhadap sesuatu cause, seperti: ekologi, demokrasi, keadilan, dan hukum. Pintu yang diketuknya menjadi terbuka dan soal pendanaan tak jadi masalah.
Mochtar dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan, 3 Juli 2004. Dia meninggalkan tiga anak, yakni Indrawan Lubis, Arman Lubis, dan Yana Zamin Lubis, serta delapan cucu. Istrinya, Halimah, sudah lebih dulu tutup usia pada 27 Agustus 2001.***
Artikel ini ditulis oleh: