Jakarta, Aktual.com – Waktu diundang bicara di Gema MKGR Selasa kemarin, muncul satu pertanyaan dari peserta soal kenapa Jepang pengen jalin kerjasama di Morotai. Urusannya apa Jepang begitu berhasrat ingin dapat akses kerjasama dengan Indonesia.
Karena keterbatasan waktu, waktu itu saya tidak sempat paparkan secara rinci. Saya cuma mengisyaratkan kemungkinan Jepang sedang bersiap memasang pancangan kaki di beberapa choke point yang dipandang strategis di Indonesia, untuk mengantisipasi kalau-kalau ketegangan militer AS versus Cina semakin menajam di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara.
Sebab menurut prediksi Samuel Huntington pada 1994, Jepang akan bersikap netral dan berada di luar orbit kedua kutub tersebut, jika perang kedua adidaya tersebut tak terbendung lagi.
Maka Indonesia dalam pandangan Jepang, merupakan sekutu potensial untuk bersama-sama membangun kemitraan sebagai negara yang diproyeksikan akan sama-sama bersikap Non Blok dalam perang tersebut.
Sebab seperti prediksi Samuel Huntington dalam bukunya the Clash of Civilization, Indonesia dan India sama sekali tidak disinggung sebagai bagian yang ikut dalam perang militer kedua negara adikuasa tersebut. Berarti dalam estimasi Huntington, Indonesia dan India akan sama sama mengambil sikap Non Blok.
Nampaknya itulah perhitungan strategis Jepang yang melatarbelakangi kenapa Morotai jadi penting buat negara Sakura tersebut. Tapi, itu baru sebagian dari cerita. Lepas dari segala pertimbangan tersebut, cara pandang dan wawassan Geopolitik Jepang dalam memandang Indonesia sejak meletusnya Perang Dunia II nampaknya masih tetap berlaku dan diterapkan hingga kini.
Perspektif Geopolitik Asia Tenggara Dalam Pandangan Jepang
Ada dua hal yang perlu jadi catatan penting dalam sub-tema ini. Pertama, dalam memadang daerah jantung (heartland) Indonesia, ada perbedaan yang cukup mendasar antara Belanda dan Jepang. Kalau pemerintah kolonial Belanda, menguasai Pulau Jawa berarti menguasai Indonesia. Lepas Jawa, maka kepaslah Indonesia. Dengan kata lain, daerah jantung Indonesia dalam pandangan Belanda adalah Jawa.
Nah Jepang rupanya lain lagi. Bagi Jepang, Sumatra lah yang justru merupakan daerah jantung Indonesia. Dalam istilah para perancang strategi geopolitik dan militer Jepang, Sumatra maupun Semenanjung Malaya (waktu itu Malaysia dan Singapura masih menjadi satu) merupakan “daerah inti” alias nuclear zone di kawasan Asia Tenggara. Jepang menyebut Asia Tenggara adalah wilayah Nanyo (Southern Areas) atau kawasan Selatan.
Dalam perhitungan militer Admiral Nakamura, seorang perwira tinggi Jepang yang diperintahkan memimpin operasi militer menaklukkan kawasan Selatan atau Asia Tenggara ini, mundur dari Sumatra berarti lepaslah Indonesia yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda.
Dalam perhitungan geopolitik Jepang, Pulau Sumatra merupakan titik pusat persilangan Timur dan Barat di Asia Tenggara selama berabad-abad. Sehingga untuk memutus tali hubungan seraya mengusir persekutuan Amerika Serikat dan Inggris di kawasan strategis ini, maka Jepang harus menguasai Sumatra.
Jepang beranggapan bahwa datangnya serangan tentara sekutu diperkirakan datang dari Sri Lanka. Maka dari itu tumpuan pertahanan tentara pendudukan Jepang di Indonesia harus dipusatkan di sekitar Selat Malaka (Seluruh Pulau Sumatra dan Malaya). Apalagi secara geo-ekonomi, Sumatra memang kaya sumberdaya alam seperti minyak bumi, karet, timah, batu bara, dan bauksit (di pulau Bintan). Semua sumber daya alam tersebut sangat dibutuhkan Jepang sebagai basis pembangunan dan pengembangan industri negara Sakura tersebut.
Jadi, dalam klasifikasi prioritas strategis Jepang secara geopolitik di Indonesia bisa diurut sebagai berikut: Pertama, Pulau Sumatra. Kedua, Pulau Jawa, Madura dan Bali. Ketiga, Kawasan Indonesia bagian Timur (Kalimantan/Borneo, Sulawesi, Maluku/Ambon, Papua, dan Timor yang berbatasan dengan Australia). Kawasan Indonesia bagian Timur ini kaya akan minyak bumi.
Meskipun secara tata urut, kawasan Indonesia bagian Timur berada di urutan paling akhir, namun bagi Jepang sama penting dan strategisnya dengan Sumatra. Buktinya dalam fase pertama pendudukan Jepang di Indonesia, tentara Jepang sudah berhasil menduduki sebagian besar kawasan Timur Indonesia itu sejak Desember 1941. Jadi sebelum Jepang menduduki Jawa pada 1942.
Dari gambaran sekilas mengenai betapa strategisnya kawasan Indonesia tersebut, bisa dimengerti jika Morotai begitu penting dan strategis bagi Jepang.
Namun Morotai dan Maluku bukan satu-satunya yang penting di kawasan Indonesia Timur. Tarakan dan Balikpapan, yang waktu itu bernama Borneo, yang berada dalam jajahan Belanda, berhasil diduduki tentara Jepang masing-masing pada 12 Februari dan 24 Februari 1942. Tak disangsikan lagi, minyak lah sasaran utama Jepang mengapa Kalimantan harus direbut secepat mungkin, sebelum jatuh ke tangan tentara Inggris dan Amerika Serikat.
Kalau menelisik kembali apa yang dikejar Jepang di Indonesia dulu dan sekarang, nampaknya masih sama saja. Yaitu mencari, menguasai dan kalau perlu merebut sumber-sumberdaya alam vital dan strategis untuk kelangsungan hidupnya seperti minyak bumi, batu bara, timah, dan karet. Semua itu dipasok dari Sumatra pada saat Jepang menduduki Indonesia antara 1942-1945.
Sekitara 82 persen minyak bumi pada waktu itu berasal dari Plaju, Sumatra Selatan. Sedemikian rupa vital dan strategisnya kekayaan alam di Sumatra khususnya terkait minyak bumi di Sumatra Selatan, Jepang lebih mengutamakan merebut Palembang Sumatra Selatan daripada Singapura.
Sebab dalam perhitungan Jepang, menguasai Palembang (Sumatra Selatan) berarti dapat memblokir kemungkinan datangnya bantuan musuh dari tentara sekutu dari Jawa, sekaligus mempersempit ruang gerak pasukan sekutu yang ditarik mundur dari Sumatra dan Singapura ke Jawa.
Maka dari sisi lokasi strategis (Geostrategi) maupun Geoekonomi, maka Palembang berada pada urutan pertama dalam “cetak biru” invasi Jepang ke Sumatra.
Lantas, bagaimana memahami motif Jepang mengincar Morotai?
Agaknya Jepang bermaksud menguasai Morotai, sebagai pintu masuk dalam rangka mengendalikan Lautan Pasifik. Jika dalam beberapa waktu ke depan terjadi ketegangan yang semakin meruncing antara Amerika versus Cina. Seperti kita ketahui, pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik saat ini tengah berlangsung pada skala yang semakin memanas. Jepang sepertinya cukup cerdik, ia tidak ikut berebut di Bitung, Sulawesi Utara dimainkan Cina melalui Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sejak era pemerintahan SBY.
Dengan kata lain, dari perspektif (takdir) geopolitik Indonesia, jika Sabang adalah (geo) strategi guna menguasai Lautan Hindia —sesuai doktrin Alfred T Mahan— barangsiapa menguasai Lautan Hindia akan menjadi kunci dalam percaturan dunia, maka menguasai Morotai, adalah pintu masuk dalam rangka mengendalikan Lautan Pasifik.
Hikmah dari cerita ini adalah, bahwa meskipun sekarang kejayaan militer Jepang sudah berakhir seiring dengan kekalahan Jepang pada tentara sekutu pada 1945, namun serangan asimetris Jepang untuk menguasai Indonesia yang dipandang punya nilai strategis, kiranya tetap perlu kita waspadai bersama.
Termasuk, memonitor dan mencermati secara intenssif apa agenda-agenda tersembunyi Jepang di Morotai, yang notabene merupakan salah satu wilayah kawasan Indonesia bagian Timur
Hendrajit, Redaktur Senior Aktual
Artikel ini ditulis oleh:
Hendrajit