Dalam kitab ‘The Entire City,’ Ian Dallas, ulama besar asal Eropa, berucap, “Tak ada satupun negara yang kini pantas disebut republik.” Sebuah tesis yang menjawab. Karena pola modern state, siapapun dan dimanapun, kini tak layak disebut sebagai “republik.” Karena parameter Republik ada pada Romawi.

Romawi, tentu rujukan yang tak biasa. Karena Al Quran pun menabalkannya. Inilah satu-satunya Surat dalam Al Quran yang disebutkan secara jelas dan terang. Ar Rum. Romawi. Maka, betapa pentingnya melihat Romawi. Karena disanalah skema ‘republik’ terpatri.

Polibios, sejarawan Romawi, memiliki teorinya tentang siklus tata pemerintahan. Mulai dari Monarkhi-Tirani-Aristokrasi-Oligarkhi-Demokrasi-Okhlokrasi-Monarkhi. Ini siklus yang dicatatnya berlandas pandangan historis. Tapi catatan peradaban bisa membuktikannya. Ibnu Khaldun menambahkan catatan. Sebuah peradaban, kata Khaldun, tumbuh bak organisme. Mulai dari lahir, tumbuh, besar, tua dan mati. Tak ada sebuah peradaban yang langgeng. Dari Polibios dan Khaldun, maka akan Nampak bagaimana tatanan peradaban kini.

Cicero menggambarkan bagaimana republik masa Romawi. Dalam kitabnya, “Republik”, Cicero menegaskan model yang bias disebut republic itulah monarkhi-aristokrasi-demokrasi. Tapi Cicero menggariskan tatanan republic, bukanlah penerapan hokum yang berlandaskan rasio manusia. Melainkan hukum adalah hasil manifestasi Wahyu. Cicero meyakini ber-Tauhid. Dia mati tak dibakar, bak kaum Romawi pagan. Melainkan dikubur. Cicero mencatat, Romawi menjalani Republik dengan benar sejak era Romus dan Romulus hingga sebelum Caesar. Disitulah aplikasi Republik Romawi terpatri. Disitulah Republik bisa dilihat. Kala Romawi menerapkan demokrasi, senator diisi kaum alim ulama. Bukan badut-badut pengikut nasyu syahwati. Melainkan kaum intelektual, yang dibekali kecerdasan spiritual. Senator kemudian diisi segelintir elit yang disebut praetor. Mereka yang memiliki hak khusus, dalam membela dan mengadili. Dasarnya bukanlah ‘positif law.’ Melainkan natural law. Karena republic Romawi mengikuti hukum Tuhan. Bukan hukum yang dibuat atas dasar ‘free will’ bak positivism kini.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain