Irawan Santoso Shiddiq, Direktur Eksekutif Daar Afkar & Co. Lawyers
Irawan Santoso Shiddiq, Direktur Eksekutif Daar Afkar & Co. Lawyers

Oleh: Irawan Santoso Shiddiq

Jakarta, aktual.com – Republik. Ini kisah yang tak pernah mati. Tapi jangan tanya pada Tan Malaka. Karena dia memahami Republik sebatas pemikiran Marx. Tan tak sampai pada Martin Heidegger. Dia terlalu terkesima pada ‘segala sesuatunya adalah materi’ karangan Marx. Tan mengira, kapitalisme hanya bisa dilawan dengan skema Marx. Disinilah kekeliruan Tan. Karena Marx juga lahir dari millah yang serupa dengan kapitalisme bermula. Hadist menyebutkan, “Kuffur adalah satu millah.” Tak ada beda Marx dan Adam Smith. Mereka satu millah.

Di mata Ian Dallas, Marx hanya bak juggler. Badut. Memanipulasi dan memutarbalikkan banyak hal. Karena Marx memaksa, materialisme itulah Kebenaran tunggal. Marx menihilikan Kebenaran Wahyu. ‘Juggler’ lainnya, Sigmund Freud. Sama saja. Dia menampik perihal ruhadikodrati. Hanya ada alam bawah sadar. Serba rasionalitas an sich. Badut lainnya, Einstein, tak berbeda. Dia hanya mendewakan perihal relativitas ilmu pengetahuan. Mekanika kuantum alam sebagai penggerak segala sesuatu. Disinilah pemutarbalikkan fakta itu mereka lestari. Mereka meneruskan Cartesius dan Kantian. Descartes dan Kant yang memulai mematok ‘being’ hanya sebatas hasil pengamatan dan observasi. Tak ada diluar itu. Padahal disitulah ‘Kebenaran’ jadi tak pasti. Karena jika pondasi ‘pengamatan’ digunakan, menimbulkan kerancuan. Dalam pengamatan mata, matahari-lah yang mengelilingi bumi. Tapi dari pandangan teleskop, matahari yang dikelilingi bumi. Keduanya hasil pengamatan dan observasi. Makanya Martin Heidegger memvonis. “Filsafat itu bukan sumber Kebenaran.” Malah mencerabut Kebenaran dari akarnya. “The end of philosophy” jawaban atas halusinasi para juggler tadi. Sayang, Tan Malaka tak sampai ke sana. Dia hanya terkesima pada Marx, yang jadi trending topic jaman itu. ‘Madilog’ pun tak berbeda dengan ratusan kitab serupa yang membahasakan hal yang tengah trend. Era itu. Dari filsafat itulah anak kandung kapitalisme. Karena manusia seolah memiliki ‘free will.’ Dari ‘free will’ itulah mencuat merkantilisme, yang kemudian melahirkan kapitalisme.

Di mata Tan, antitesa kapitalisme itu hanya bisa dilawan dengan komunisme. Teori Marx, tentang kekuatan komunal. Antitesa dari dunia kapitalis, yang berbasis ‘free will.’ Tapi komunisme itu bukanlah ruh dari ‘republik.’ Karena kosakata Republik, harus merujuk jauh dari masa Yunani kuno dan Romawi. Plato memiliki kitabnya. Aristoteles meneruskannya. Cicero meluruskannya di masa Romawi. Konsep Republik ada pada era Yunani. Prakteknya ada di masa Romawi.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Rizky Zulkarnain

Tinggalkan Balasan