Lantas, siapa yang layak disebut republic? Arnold Toynbee, sejawaran Amerika Serikat, memiliki jawabannya. Dia menuliskan sosok negeri yang pernah menerapkan pola republic dengan baik. “Imperium Ottoman adalah yang pernah menerapkan pola republic Plato’s dengan baik,” katanya. Toynbee memberi arah. Justru Daulah Utsmaniyya itulah yang pernah menerapkan pola republic sebagaimana yang diteorikan Plato. Karena Utsmaniyya tentu merujuk pada penerapan Madinah Al Munawarah. Kendali pemimpin ditangan Sultan, yang dikawal oleh alim ulama. Ahlul Halli Wal aqdi, yang diisi sekelompok elit ulama alim. Kaum sufi. Penerapan hukumnya juga bukan berlandaskan rasionalitas an sich. Melainkan merujuk pada Wahyu. Karena sumber Kebenaran itulah Wahyu. Bukan materialism.
Maka ‘naar de republiek’ pertanda jalan kembali pada Madinah. Inilah penerapan monarkhi dengan baik. Tapi bukan monarkhi yang ‘the king can do no wrong.’ Sebagaimana yang diamalkan era pra renaissance. Tapi monarkhi absolute, yang merujuk pada sistematika Wahyu. Ini sebagai sumber hukum utama. Sementara dalam positivism, Wahyu, hanya bisa dijadikan ‘hukum’ jika dirumuskan dalam undang-undang. Karena hukum harus dipatri dalam undang-undang yang disahkan dalam staatblaad. Republik Romawi tak mengenal ini. Republik tak pernah mengajarkan demikian.
Ian Dallas menyebut, era modernism kini, juga tak layak disebut demokrasi. Melainkan inilah okhlokrasi. Fase selepas okhlokrasi, maka akan kembali pada monarkhi. Romus dan Romulus, mendudukkan bagaimana monarkhi yang ideal. Mereka tak menyembah api. Tapi mengenal Tuhan. Dan mereka menegakkan hukum Tuhan di awal mendirikan Romawi dari tepi sungai Tiberias. Sebagaimana Osman Ghazi mendirikan Utsmaniyya. Wali Songo mendirikan Demak.
Itulah jalan republic. Naar de Republiek.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain