Y/4vDhhqtmNy4Pr+MDHVcImzGleDrqfPhr8tu00EGBUHm1xLgsXo70aYFKfNJjq7ocsuNLMCbRW9pkiEwAF77RebT2sLdhd5n+dUY6QPqX/HcAgXfWJgVeHI1kkQYb5RuzZ5Vrp95Pq1QCrS1ks6PusqE3zWV/ijkJwtgJ9n6URXFzR8K36HUIssdeAsMBTbxnFSz+7Psu1lmJx7iO2+lhUwZ+qSi/Z0

Jakarta, Aktual.com — F5 Networks Singapore Pte Ltd Indonesia, perusahaan jasa pengamanan aplikasi teknologi informasi (IT) menilai, saat ini konsentrasi perbankan nasional masih belum besar untuk melakukan investasi di sektor IT.

Padahal, di masa depan seiring kian masifnya transaksi ‘cashless’ atau transaksi non cash melalui internet banking, mobile banking, atau SMS banking, juga aksi kejahatan dunia maya atau cyber crime kian tinggi.

Tapi sayangnya, investasi untuk sektor IT ini, di beberapa bank, termasuk bank besar atau bank kategori BUKU 4 (bank umum kegiatan usaha) masih belum terlalu besar dana investasinya di sektor IT.

“Kami tidak bisa menyebutkan bank-banknya. Tapi memang kesadaran manajemen bank masih rendah untuk meningkatkan investasi pengamanan infrastruktur IT,” tandas Manager Field System Engineer F5 Indonesia, Andre Iswanto di Jakarta, Selasa (10/5).

Padahal, kata dia, perlindungan dana nasabah seiring dengan banyak dan beragamnya produk atau kanal perbankan harus menjadi prioritas utama.

Tapi dari data yang terima F5 Indonesia, kata dia, memang masih kurang kesediaan pihak manajemen bank untuk menanamkan investasi ke hal-hal yang bersangkutan dengan keamanan.

“Tanpa harus didorong oleh peraturan pemerintah ataupun timbulnya kerugian akibat terkena serangan cyber crime,” tandas dia.

Padahal, jelas dia, sebanyak 84 persen institusi finansial telah menyatakan bahwa ancaman cyber crime merupakan salah satu risiko bisnis terbesar saat ini. Juga para CEO sendiri sudah semakin sadar akan dampak dari ancaman ini terhadap bisnis mereka.

“Tapi sayangnya, hanya kurang dari setengah ( 37%) organisasi yang telah memiliki sebuah rencana penanggulangan insiden cyber crime. Dan semakin diperburuk dengan cepatnya perkembangan serangan yang kian canggih dan masif dari waktu ke waktu,” ujar Andre.

Padahal, malware yang didesain untuk menyerang bank dan kliennya sudah berkembang pesat dan canggih. “Ini risiko besar yang harus diantisipasi,” imbuh dia.

Dia kembali melanjutkan, ada 32 persen perusahaan yang terkena dampak serangan siber atau cyber crime. Menurut Andre, sebagian besar perusahaan tidak melaporkan kasus penipuan ini kepada aparat penegak hukum.

“Karena, publikasi dari kejadian ini akan menghilangkan kepercayaan konsumen,” tutup dia.

Artikel ini ditulis oleh: