Jakarta, Aktual.com – Why this nation is in decline? Pertanyaan tersebut menjadi trending topic dunia dalam diskusi di laman twitter belum lama berselang.
Partisipan utamanya warga negara Amerika Serikat yang mencerminkan suasana kemurungan yang melanda bangsa itu. Sebuah negara-bangsa yang selama ini dikenal sebagai satu-satunya adikuasa dunia, “Romawi baru”, “negara yang sangat dibutuhkan”, seketika menjadi titik pusat instabilitas perekonomian, kekisruhan politik, dan bahkan imoralitas bisnis.
Seorang begawan ekonomi AS, Jeffrey Sachs lewat keahliannya dalam ekonomi klinis mendiagnosis memusabab keterpurukan AS dan menyimpulkan dalam bukunya, The Price of Civilization (2011). Menurutnya, pada akar tunjang krisis ekonomi AS saat ini terdapat krisis moral: pudarnya kebajikan sipil di kalangan elit politik dan ekonomi.
Suatu masyarakat pasar, hukum, dan pemilu tidaklah memadai bila orang-orang kaya dan berkuasa gagal bertindak dengan penuh hormat, kejujuran, dan belas-kasih terhadap sisa masyarakat lainnya dan terhadap warga dunia. “Tanpa memulihkan etos tanggung jawab sosial, tidak akan pernah ada pemulihan ekonomi yang berarti dan berkelanjutan.”
Krisis moral itu bermula ketika peran negara dilucuti hanya sekadar “penjaga malam”; membiarkan ekonomi dikendalikan mekanisme pasar. Gelombang pasang ekonomi AS sejak era New Deal pada paruh 1930-an hingga War on Poverty pada paruh 1960-an mengikuti paradigma ekonomi campuran (mixed economy) ala Paul Samuelson, yang memberikan keseimbangan antara peran pasar dan peran pemerintah.
Paradigma ini mengakui bahwa pasar merupakan institusi yang efisien dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi yang mengarah pada tingginya produktivitas serta rata-rata standard kehidupan. Meski demikian, efisiensi saja tidak menjamian keadilan dalam alokasi pendapatan.
Keadilan memerlukan peran pemerintah untuk meredistribusikan pendapatan, terutama dari kaum kaya kepada yang miskin. Pasar juga secara tidak mampu menyediakan “public goods” yang penting, seperti infrastruktur, regulasi lingkungan, pendidikan, riset dan pengembangan yang kebutuhan pasokannya secara memadai memerlukan peran pemerintah. Ekonomi pasar juga rentan terhadap instabilitas finansial, yang hanya bisa diatasi oleh kebijakan pemerintah.
Menyusul krisis ekonomi dunia pada 1970-an, mazhab ekonomi baru muncul dijurubicarai oleh “nabi-nabi” ekonomi pasar bebas seperti Milton Friedman dan Fredrich Hayek. Mazhab ini menggusur kebijakan ekonomi campuran dengan kebijakan ekonomi yang secara perlahan menjurus pada paham libertarian (kebebasan individu secara ekstrem) yang lebih dikenal dengan istilah neoliberalisme.
Secara politik paham ini mendapatkan momentumnya pada masa pemerintahan Ronald Reagan di AS dan Margaret Thatcher di Ingris pada 1980-an yang terkenal dengan slogan pelucutan peran pemerintah seperti melalui deregulasi industri, pemotongan pajak orang-orang kaya, dan penghapusan berbagai jaminan sosial.
Dengan menjadikan negara sebagai pelayan pasar, neoliberalisme memberi terlalu banyak pada kebebasan individu, melupakan bahwa individualisme yang bersifat predator juga bisa membawa sumber-sumber penindasan dan ketidakadilannya tersendiri. Penekanan yang terlalu berlebihan pada daulat pasar menimbulkan apa yang disebut ekonom Joseph Stiglitz “inkompetensi dari pihak pengambil keputusan serta merangsang ketidakjujuran dari pihak institusi finansial”.
Perilaku pasar yang tak terkendali melahirkan apa yang disebut Robert Reich sebagai supercapitalism, yang menggambarkan perluasan kompetisi di dunia bisnis yang merengkuh dunia politik. Persaingan bisnis mengakibatkan dana dalam jumlah besar mengalir dari korporasi dan badan-badan keuangan guna membiayai dan mengarahkan politik dan kebijakan publik guna kepentingan korporasi.
Tatkala kapitalisme memperluas jejaringnya dalam rengkuhan harta, demokrasi yang semestinya menjamin distribusi harta itu tersendat. Semakin kapitalisme menguat, semakin ketidakadilan merebak, semakin demokrasi tergerus. Demokrasi menjadi ajang transaksi persekongkolan jahat antara pemodal hitam dan politisi busuk.
Menyadari besarnya pengaruh AS pada bangsa-bangsa lain, Jeffrey Sachs mengingatkan agar yang lain tidak meniru jalan sesat yang membawa kemunduran AS. Dalam pandangannya, setiap bangsa yang ingin mencapai dan mempertahankan kemajuan harus siap membayar harga peradaban, melalui pelbagai perbuatan kepemimpinan dan kewargaan terpuji: tanggung jawab, solidaritas, cinta-kasih, dan keadilan bagi sesama dan bagi generasi mendatang.
Bagi pemulihan krisis AS, Sachs merekomendasikan perlunya meninggalkan kecenderungan fundamentalisme pasar dengan memulihkan kembali peran negara yang berjejak pada nilai kebajikan sipil (civic virtues) dan jalan karakter Amerika (American ways).
Seturut dengan itu, jalan kemaslahatan Indonesia berarti jalan kembali pada nilai-nilai dasar Indonesia (Indonesian ways) dalam ekonomi dan politik, yang menekankan semangat kegotongroyongan yang berjiwa ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
(Yudi Latif, Makrifat Pagi)