Tampilannya sederhana. Namun, Nugroho Imam Setiawan (34) punya pengalaman yang sulit ditandingi orang lain karena sangat langka. Dosen geologi Universitas Gadjah Mada ini adalah peneliti pertama UGM dan wakil ASEAN, yang berkesempatan mengikuti penelitian masa depan planet bumi di Antartika, kutub selatan.
Nugroho meninggalkan tanah air dan keluarga, dan menjadi satu-satunya peneliti Indonesia yang diajak bergabung untuk penelitian di Antartika. Penelitian itu diselenggarakan Japan Antartic Research Expedition (JARE). Nugroho bergabung dengan tim JARE sejak 2 Desember 2016. Lokasi penelitian Antartika adalah tempat terdingin di muka bumi, dengan suhu rata-rata minus 89 derajat Celsius.
Setelah penelitian selama tiga bulan lebih, Nugroho pulang dengan kapal Shirase, kapal ekspedisi JARE. ”Melihat langsung lautan es, penguin, paus, anjing laut, dan batuannya sungguh menakjubkan. Saya seakan-akan berada di planet lain di luar bumi,” tulis Nugroho, mengekspresikan kesan pertamanya saat melihat benua Antartika.
Pria kelahiran Jakarta 18 September 1982 ini mengatakan, benua ini juga paling bersih dari penduduk dan dari konflik politik. Tak hanya itu, Antartika juga merupakan benua yang paling berpengaruh pada perubahan iklim dan sistem laut. Ini adalah tempat penelitian yang menggiurkan bagi “detektif bumi,” sebutan Nugroho untuk profesi geolog.
Benua Antartika menjadi lokasi penelitian yang menyimpan dan merekam data evolusi bumi dengan sangat baik. Sebab benua terluas nomor lima ini bisa dibilang merupakan dataran tertua yang paling sedikit mengalami pergeseran dibanding daratan lainnya.Batuan metamorf, yang merupakan objek penelitian Nugroho, bisa diperoleh dengan mudah tanpa perlu penggalian, atau disebut juga sebagai singkapan.
“Dia (Benua Antartika) tetap ada di sana terus. Jadi poros yang sedikit sekali pergeserannya. Sedangkan (dataran) lainnya adalah pecahan, atau sudah ada aktivitas vulkanis dan ada sedimen yang menutupi,” urainya.
Nugroho meraih Ph.D dari Department of Earth and Environmental Science (Departemen Ilmu Bumi dan Lingkungan), Universitas Kyushu, Jepang. Kesempatan langka mengikuti penelitian ke Antartika sebetulnya sudah didapat pada 2011, tapi tertunda hampir enam tahun. Sebagai geolog, Nugroho juga pernah bekerja di PT. Kaltim Prima Coal.
Ekspedisi JARE 58 memakan waktu 4 bulan, mulai 27 November 2016 hingga 22 Maret 2017. Ekspedisi ini diikuti 80 anggota dan 35 orang di antaranya merupakan peneliti. Penelitian dibagi dalam 10 topik, antara lain: meteorologi, atmosfer, biologi terestrial, oseanografi, geofisikia, geodesi, dan geologi. “Saya masuk dalam tim geologi yang beranggotakan delapan orang. Sekitar 30 hari kami melakukan survei geologi di Antartika,” tutur Nugroho.
Di antara 8 orang tersebut, lima peneliti dari Jepang, peneliti lain berasal dari Indonesia, Mongolia, dan Thailand. Penelitian yang diadakan dan dibiayai sepenuhnya oleh Jepang ini memang sengaja melibatkan peneliti dari negara-negara Asia lainnya yang belum memiliki base camp penelitian di Antartika.
Sedangkan Jepang sudah memiliki base camp bernama Syowa Station, di benua yang 98 persennya tertutup salju ini. “Kebanyakan yang sudah punya base camp di sana adalah negara-negara maju. Kalau dari Asia ada Jepang, India, Tiongkok, dan Korea Selatan (yang sudah memiliki base camp penelitian),” ujar Nogroho.
Dalam tim geologi, semua anggota memiliki satu tugas utama. Nugroho sendiri bertugas mengobservasi cuaca harian. Dua kali dalam sehari dia mencatat kondisi cuaca saat itu. “Jika ada pemberangkatan helikopter maka harus mengobservasi lebih detail,” ucapnya.
Kondisi saat itu Antartika sedang memasuki musim panas sehingga matahari bersinar 24 jam setiap harinya. Sementara suhu udara di Antartika berkisar -5 derajat di malam hari dan -2 derajat di siang hari, sementara suhu maksimum 2 derajat.
Setiap hari tim geologi menjalankan rutinitas mengumpulkan sampel batuan metamorf di setiap lokasi penelitian. Ada delapan titik survei geologi yang mereka jelajahi, yaitu Akebono, Akarui, Tenmodai, Skallevikhalsen, Rundvageshtta, Langdove, West Ogul, dan Mt. Riiser Larsen. Batuan metamorf adalah batuan tertua di bumi, berusia 3,8 miliar tahun, dan ada di Antartika.
Sepanjang area survei, Nugroho dan tim geologi lainnya mengoleksi 10 hingga 20 kilogram sampel batuan. Dari hasil survei di seluruh lokasi tersebut, berhasil dikumpulkan lebih dari 3 ton sampel batuan metamorf. Ada 141 sampel batuan metamorf dengan berat sekitar 200 kilogram yang akan dikirim ke Indonesia. Batu-batuan tersebut akan diteliti secara mendalam oleh Nugroho. Ia berharap, dari penelitian nantinya dapat dipelajari sejarah pembentukan dan perkembangan bumi.
Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Eng., Ph.D. mengapresiasi apa yang telah dilakukan Nugroho, sebagai orang pertama dari UGM yang berhasil menginjakkan kaki di Antartika. Rektor berharap, melalui penelitian ini dapat dipelajari sejarah dan perkembangan pembentukan bumi. Dengan demikian, dapat diprediksi kondisi bumi di masa mendatang, serta mengupayakan berbagai langkah mitigasi.
Menurut Rektor, Nugroho diharapkan bisa menginspirasi peneliti muda lainnya untuk berani melompat meningkatkan inovasi hasil risetnya. ***
Artikel ini ditulis oleh: