Rini memberi contoh, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) berada di bawah Kementerian Perdagangan atau PT Barata Indonesia yang berada di bawah Kementerian Perindustrian. Sehingga, klaim dia, tujuan dari rangkap jabatan supaya pengelolaan BUMN lebih profesional, mengedepankan transparansi, dan tata kelola perusahaan yang baik.

“Menurut saya juga sebagai pengawasan dan pembina. Jadi tidak ada salahnya (rangkap jabatan), bahwa PNS ikut dalam pengawasan. Tapi bukan operasional sehari-hari ya,” tegas dia ngotot.

Sebagai urusan operasional perusahaan, kata dia, dipegang oleh direksi. Sementara komisaris bertugas mengawasi tugas dan tanggungjawab direksi dilaksanakan dengan baik, termasuk perusahaan.

Iya pun berjanji, dengan rangkap jabatan tidak akan mengganggu tugas pejabat sebagai pelayan publik. “Menurut saya tidak sama sekali (mengganggu),” ucap Rini.

Namun demikian, saat dikonfirmasi mengenai sikap atau solusi dari Menteri BUMN atas rangkap jabatan ini, Rini enggan menjawabnya. “Itu saya belum bisa komentar apa-apa,” elak Rini.

Sebelumnya, Ombudsman menyebut, dari 144 unit yang dipantau ORI belum lama ini, ternyata ditemukan 222 jabatan komisaris yang dirangkap oleh pelaksana pelayan publik dari total 541 jabatan komisaris.

Menurut Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Amzulian Rifai, UU Nomor 25 tahun 2009 sudah jelas-jelas melarang adanya rangkap jabatan bagi pelayanan publik.

Selain itu, lanjutnya, regulasi lain yang melarang praktik rangkap jabatan komisaris BUMN ini tertulis dalam Pasal 33 (a) UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN.

Juga Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2005 tentang Perubahan atas PP Nomor 29 tahun 1997 tentang PNS yang Menduduki Jabatan Rangkap, terutama dipasal 2.

Kemudian juga UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, di Pasal 88 (1) PNS diberhentikan sementara, apabila: a. Diangkat menjadi pejabat negara; b. Diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga nonstruktural.

Untuk itu, dia menawarkan solusi, agar para birokrat itu untuk secara tegas mengikuti ketentuan perundang-undangan yaitu UU Pelayanan Publik.

“Kemudian bisa saja dia tetap menjabat di BUMN, tapi sangat selektif dan hanya dengan satu income saja. Tak double,” jelasnya.

“Solusi terkahir, untuk merevisi berbagai peraturan perundangan-undangan terkait upaya legal tersebut,” pungkas dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka