Jakarta, Aktual.co — Dipenghujung tahun 2014 menjadi tahun politik yang paling ‘panas’ di Indonesia, ada dua hajat besar yang digelar rakyat Indonesia Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden (Pilpres).
Sengitnya pertarungan politik dalam penyelenggaraan lima tahunan sangat kental suasana rivalitas pasangan capres-cawapres untuk mengganti pemerintahan dua tahun Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden RI keenam.
Tak hanya itu, sejumlah peristiwa politik pascaPilpres pun ikut serta mewarnai kancah dunia partai. Terutama, ikhwal dideklarasikannya koalisi permanen atau koalisi merah putih (KMP) oleh para elit partai politik yang mendukung pencalonan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, di Komplek Monumen Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Senin (14/7) sore.
Bila dicermati, disinilah muncul pembagian dua kubu secara politik, layaknya dua partai yang berkuasa di negeri Paman Sam, Amerika Serikat, yakni, partai Demokrat dan Republik.
Ya, KMP yang diisi oleh Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Namun, tidak seperti partai pendukung pemerintah, yang tidak mendeklarasikan koalisi, seakan sebutan bagi partai pendukung menjadi koalisi Indonesia hebat (KIH). Lantaran, mengutip dari tagline PDI Perjuangan ‘Indonesia Hebat’.
KIH pun hanya beranggotakan empat partai, yakni PDI-P, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Dagelanan politik dalam memperebutkan ‘kekuasaan’ pun terlihaat jelas, meski dari kacamata orang awam sekalipun. Yakni, di dalam pemilihan pimpinan parlemen, dari DPR, MPR RI, hingga pada pimpinan komisi dan alat kelengkapan dewan (AKD).
Pascapelantikan Presiden
Suhu politik pun sempat mereda ketika Jokowi sebagai presiden terpilih melakukan pertemuan dan menyambangi kediaman ayahanda calon presiden nomor urut 1 Prabowo Subianto, di Jalan Kertanegara No.4, Jakarta Selatan, pagi ini pukul 10.00 WIB, Jumat (17/10) pagi. Dimana sebelumnya, pada Selasa (14/10), Jokowi telah bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie di Galeri Seni Kunstkring, Menteng, Jakarta Pusat.
Namun itu, tidak membuat serta merta hawa politik yang kian ‘panas’ kembali terasa, setelah Jokowi dan Jusuf Kalla resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden, pada Senin (20/10) dihadapan Majelis Permusyawartan Rayat (MPR) RI.
Pemerintah pasti punya kepentingan kepada partai politik. Pemerintah punya cara sendiri atau paling tidak, mengharapkan figur tertentu yang memimpin sebuah parpol
Nah, konflik partai politik pun terjadi yang diduga pemerintah ikut andil dalam dalam konflik parpol ini.
Seperti konflik internal partai belambang ka’bah (PPP), antara kubu Sekjen Muhammad Romahurmuziy (Romi) dengan Ketua PPP Suryadharma Ali (SDA). Pasalnya, kubu Romi ‘condong’ untuk merapat kepada pemerintahan dengan keluar dari KMP, dimana sikap itu berbeda dengan SDA yang ingin PPP tetap sebagai bagian KMP untuk menjadi “oposisi” pemerintah.
Keinginan PPP dari kubu Romi pun disambut baik oleh pemerintah dengan langsung mengeluarkan surat penetapan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasona Laoly.
Kemudian, jelang akhir tahun masyarakat Indonesia juga disuguhkan konflik Partai Golkar. Partai beringin ini diterpa badai yang dilakukan oleh elit partainya.
Tak jauh beda dengan konflik PPP, konflik di Golkar pun tak jauh dari dugaan adanya campur tangan pemerintah.
Diketahui, konflik golkar ini menjadi ada dua kubu kepemimpinan yang diklaim masing-masing dari hasi munas yang sah. Kedua kubu itu yakni Kubu Agung Laksono dan Kubu Aburizal Bakrie.
Selain itu, perseteruan sengit pun langsung merambat di parlemen, dimana kubu KIH untuk pertama kalinya mengeluarkan mosi tidak percayanya pada kepemimpinan Setya Novanto Cs sebagai ketua DPR RI, pada Jumat (31/10) siang.
Alhasil, membuat pengawasan terhadaap pemerintah yang menjadi tugas dewan pun terbengkalai dengan terjadinya dualisme parlemen, hingga pada pernyataan dibentuknya pimpinan DPR RI tandingan.
Namun, desakan publik membuat ego para politisi senayan ini pun seakan berfikir untuk berdamai dengan mengakomodir partai pendukung pemerintah masuk dalam strutur pimpinana komisi dan AKD. Hingga, melukan perubahan UU MD3 dan tata tertib DPR RI.
Keterbelahan itu sama sekali tak ada hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Apa yang dipertikaikan kedua koalisi tak lebih dari kursi, kursi, dan kursi—bukan kerja, kerja, kerja. Semua tahu, Koalisi Merah Putih (KMP) menguasai pimpinan DPR, bahkan juga MPR. Semua kursi pimpinan komisi juga diborong KMP.
Apa lacur kursi-kursi itu, plus meja-mejanya sekalian, malah dijungkirbalikkan dalam aksi protes pada sidang paripurna DPR di tahun 2014. Ini ”kemajuan” karena sebelum ini kursi empuk dan meja panjang lebih sering dipakai untuk tidur.
Kendati demikian, kini para dewan wakil rakyat itu sedang melakukan reses untuk menyambangi para konstituennya di daerah pemilihannya masing-masing.
Akan tetapi, berakhirnya masa reses nanti, para dewan pun akan disambut dengan pembahasan Perppu Pilkada langsung yang tengah berpolemik dalam dukungan atau tidak, kita lihat saja dalam sidang rapat paripurna tahun ke dua itu, apakah satu suara dalam putusannya atau tidak?.
Politik di tahun 2014, Ibarat pertandingan sepak bola, kita rakyat penonton ingin menyaksikan pertandingan bermutu antara ”kesebelasan eksekutif melawan kesebelasan legislatif”. Namun, kita penonton telanjur kecewa meninggalkan stadion karena kesebelasan legislatif ”bermain kurang sportif”.
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang