22 Desember 2025
Beranda blog

Komnas HAM Ungkap Masih Banyak Laporan Masyarakat Terkait Penyiksaan Kerusuhan Agustus

Jakarta, aktual.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyampaikan bahwa sampai saat ini masih ada aduan dari masyarakat terkait dengan dugaan kasus penyiksaan dalam rangkaian peristiwa kerusuhan pada Agustus-September 2025.

Ketua Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan pada Senin pagi ini, ada 60 perwakilan keluarga korban yang mengadukan dugaan penyiksaan itu ke pihaknya. Menurut dia, perwakilan keluarga korban itu berasal dari wilayah Jakarta Utara.

“Masih ada yang mengadukan, terutama dari aspek mereka merasa ada proses hukum yang mereka indikasikan tidak terjadi secara fair, sehingga meminta agar Komnas HAM turut serta untuk memberikan atensi,” kata Anis di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (22/12).

Dia menjelaskan bahwa mereka mengaku adik atau kakak mereka menjadi korban dugaan penyiksaan selama proses penangkapan, pemeriksaan, hingga proses hukum selanjutnya. Saat ini, kata dia, para korban tersebut tengah dalam proses persidangan.

Dalam hal ini, dia mengatakan Komnas HAM masih terus memproses penyelesaian laporan terkait Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Agustus 2025. Menurut dia, Komnas HAM juga akan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya yang tergabung dalam TGPF.

“Kita harus menunggu bagaimana posisi dari masing-masing lembaga itu terkait dengan laporan yang sedang dirumuskan di tingkat lembaganya mereka masing-masing dulu gitu,” kata dia.

Sementara itu, perwakilan dari Keluarga Korban dan Gerakan Muda Lawan Kriminalisasi, Sarah mendesak Komnas HAM untuk segera turun tangan melakukan investigasi menyeluruh atas dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat Polres Jakarta Utara.

Dia mengatakan pihaknya telah menemukan bukti kuat bahwa proses hukum terhadap puluhan warga pasca-aksi Agustus 2025 sarat dengan tindakan penyiksaan, salah tangkap, dan pengabaian hak-hak konstitusional yang fundamental.

Kriminalisasi itu, kata dia, bermula dari upaya aparat yang menjerat warga dengan Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan dan Pasal 212 jo. 214 KUHP mengenai perlawanan terhadap pejabat yang sedang bertugas.

“Berdasarkan fakta persidangan dan keterangan saksi kepolisian, kejadian ini terbukti sama sekali tidak berkaitan dengan kasus perusakan rumah anggota DPR yang terjadi sebelumnya,” kata Sarah.

Menurut dia, sejumlah warga dikriminalisasi hanya karena menggunakan pasta gigi di wajah untuk melindungi diri dari paparan gas air mata. Terlebih lagi, penangkapan dilakukan pada pukul 02.30 hingga 06.00 WIB saat situasi sudah mulai kondusif dan warga sedang melakukan aktivitas normal seperti berdagang atau pulang kerja.

“Hal ini diperparah dengan fakta bahwa mayoritas terdakwa hanyalah warga yang berada di baris belakang untuk menonton dan tidak memiliki niat melakukan kekerasan,” kata dia.

Oleh karena itu, dia menyampaikan bahwa Gerakan Muda Lawan Kriminalisasi menuntut Komnas HAM untuk segera melakukan investigasi independen dengan menurunkan tim pemantauan untuk mengusut dugaan penyiksaan fisik dan mental yang dialami tahanan di Polres Jakarta Utara.

Kemudian, dia pun meminta Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi pembebasan dengan memberikan rekomendasi hukum bahwa proses penangkapan warga tersebut cacat prosedur dan merupakan korban salah tangkap.

“Memastikan kepolisian menghentikan cara-cara represif dalam setiap proses hukum pada seluruh tahanan politik,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Rakyat Tidak Dilindungi Siapapun dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia Saat Ini

Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Rinto Setiyawan. FOTO: Ist

Oleh: Rinto Setiyawan, A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan)

Jakarta, aktual.com – Ada satu perasaan yang makin sering muncul di tengah masyarakat Indonesia hari ini: rakyat merasa sendirian di negaranya sendiri. Ketika berhadapan dengan kekuasaan, aparat, atau kebijakan negara, rakyat kerap tidak tahu harus berlindung ke mana. Perasaan ini bukan sekadar psikologis atau emosional. Ia lahir dari struktur ketatanegaraan yang memang tidak lagi menyediakan pelindung yang jelas bagi rakyat.

Untuk memahami masalah ini, kita perlu kembali ke logika paling dasar tentang negara—bukan melalui bahasa hukum yang rumit, tetapi lewat analogi kehidupan sehari-hari: rumah tangga dan keluarga.

Negara sebagai Rumah, Rakyat sebagai Pemilik

Dalam kehidupan nyata, sebuah rumah tangga inti terdiri dari suami dan istri. Sementara keluarga inti terdiri dari bapak, ibu, dan anak. Agar kehidupan berjalan tertib, harus jelas siapa pemilik rumah, siapa kepala rumah tangga, siapa kepala keluarga, siapa yang membantu pekerjaan harian, apa aturan hidupnya, dan siapa yang menjaga rumah tersebut.

Jika struktur ini kabur, konflik bukan sekadar mungkin—tetapi pasti.

Dengan analogi itu, negara dapat dibaca sebagai berikut:

• Rakyat adalah istri: pemilik rumah, sumber kehidupan, dan kepala rumah tangga.

• MPR adalah suami: kepala negara, mandataris rakyat, pelindung keluarga.

• Pancasila adalah anak-anak: nilai yang harus dijaga dan ditumbuhkan.

• Presiden adalah asisten rumah tangga: kepala pemerintahan yang dipekerjakan untuk mengurus urusan sehari-hari.

• UUD NRI 1945 adalah aturan hidup keluarga.

• Wilayah NKRI adalah rumah tempat keluarga itu hidup.

• TNI dan Polri adalah satpam rumah: penjaga keamanan, bukan pemilik rumah.

Dalam susunan yang sehat, negara terdiri dari wilayah, rakyat, dan pemerintahan. Pemerintahan hanyalah alat, bukan inti. Ia membantu, bukan menentukan kepemilikan.

Pemerintah Itu Outsourcing, Negara Tetap Ada

Asisten rumah tangga adalah pihak luar. Ia penting, tetapi keberadaannya tidak menentukan ada atau tidaknya rumah dan keluarga. Negara dapat tetap ada meskipun pemerintahan sementara tidak berjalan. Contoh paling nyata adalah Belgia, yang pernah lebih dari 500 hari tanpa pemerintahan definitif, tetapi negaranya tetap berdiri.

Fakta ini menunjukkan satu hal penting:

negara tidak identik dengan pemerintah.

Namun di Indonesia hari ini, justru sebaliknya yang terjadi. Pemerintah diperlakukan seolah-olah ia adalah negara itu sendiri. Presiden menjadi figur paling dominan, sementara rakyat kehilangan jalur perlindungan struktural.

Perceraian Konstitusional yang Mengubah Segalanya

Masalah ini tidak muncul tiba-tiba. Akar utamanya dapat ditelusuri pada Amandemen Ketiga UUD NRI 1945 tahun 2001, khususnya perubahan Pasal 1 ayat (2).

Sebelum amandemen, konstitusi berbunyi:

“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”

Setelah amandemen, bunyinya berubah menjadi:

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

Perubahan ini tampak halus, tetapi dampaknya sangat besar. Rakyat masih disebut sebagai pemilik kedaulatan, namun kehilangan alat untuk menguasai dan menjalankannya melalui mandatarisnya, yaitu MPR.

Dalam analogi keluarga, inilah momen perceraian konstitusional:

suami (MPR) melepaskan tanggung jawab melindungi istri (rakyat),

dan urusan rumah diserahkan kepada asisten rumah tangga (presiden).

Sejak saat itu, rakyat tidak lagi memiliki pelindung struktural yang jelas. Seperti yang pernah dikatakan Cak Nun, rakyat akhirnya tidak dilindungi oleh siapa pun.

Kaburnya Negara dan Pemerintah

Akibat perceraian konstitusional tersebut, batas antara negara dan pemerintah menjadi kabur. Presiden tidak lagi dipahami sebagai kepala pemerintahan, melainkan diperlakukan seperti pemilik negara. Lembaga negara dan lembaga pemerintah bercampur, seolah-olah semuanya berada di bawah satu pusat kekuasaan.

Dalam kondisi ini, TNI dan Polri pun ikut salah mengenali majikannya. Mereka kerap mengira bahwa yang harus dilindungi adalah pemerintah atau kekuasaan, bukan rakyat sebagai pemilik rumah.

Padahal dalam logika rumah tangga:

satpam bekerja untuk pemilik rumah,

bukan untuk asisten rumah tangga.

Ketika penjaga rumah salah mengenali siapa majikannya, maka potensi kekerasan, penyalahgunaan kewenangan, dan ketidakadilan akan selalu muncul.

Rakyat Menjadi Tamu di Rumahnya Sendiri

Hari ini, rakyat sering kali berhadapan dengan negara tanpa pelindung. Ketika berkonflik dengan kebijakan, aparat, atau kekuasaan, rakyat tidak tahu harus berlindung ke mana. DPR lemah, MPR tidak lagi berfungsi sebagai kepala negara, dan presiden berdiri terlalu tinggi di atas struktur.

Inilah sebabnya mengapa rakyat merasa tidak dilindungi siapa pun—bukan karena negara kejam secara personal, tetapi karena struktur ketatanegaraan memang tidak dirancang untuk melindungi rakyat.

Meluruskan Struktur, Bukan Sekadar Mengganti Orang

Masalah Indonesia hari ini bukan semata soal siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana negara ditata. Selama struktur ketatanegaraan masih kabur, konflik antara rakyat dan kekuasaan akan terus berulang.

Negara yang sehat harus kembali pada logika dasarnya:

• rakyat adalah pemilik rumah,

• negara adalah alat,

• pemerintah adalah pelayan,

• dan aparat adalah penjaga rakyat, bukan penjaga kekuasaan.

Selama logika ini belum dipulihkan, rakyat akan terus hidup di rumahnya sendiri tanpa pelindung. Dan selama itu pula, Indonesia belum sepenuhnya menjadi republik yang sejati—republik yang melindungi rakyatnya, bukan meninggalkannya sendirian di hadapan kekuasaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Habiburokhman Sebut Pemberlakuan KUHAP Langkah Awal Percepatan Reformasi Polisi

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman/ Aktual - Taufik Akbar Harefa
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman/ Aktual - Taufik Akbar Harefa

Jakarta, aktual.com – Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru pada awal tahun 2026 mendatang merupakan langkah awal percepatan reformasi kepolisian.

Habib dalam keterangan diterima di Jakarta, Senin (22/12), mengatakan KUHAP baru tersebut menganut asas keadilan restitutif dan restoratif. Dengan begitu, Polri bukan lagi sekadar alat kekuasaan, melainkan pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.

“Pemberlakuan KUHAP baru adalah langkah awal percepatan reformasi kepolisian. Komisi III juga akan merevisi Undang-Undang Polri untuk memperkuat fungsi Polri dalam melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat,” tuturnya.

Pernyataan ini disampaikan ketua komisi yang membidangi urusan penegakan hukum itu merespons Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) yang meminta Komisi Percepatan Reformasi Polri dibubarkan.

Habib menyatakan pihaknya menghargai masukan masyarakat, termasuk personel yang ada dalam komisi reformasi tersebut. Namun, ia menilai, “Perlu diluruskan agar usulan tersebut tidak mengangkangi aturan konstitusi yang merupakan amanat reformasi.”

Dijelaskannya, ada dua poin penting amanat reformasi kepolisian yang dituangkan dalam Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hasil amandemen era awal reformasi dan TAP MPR Nomor VII Tahun 2000.

Poin pertama, posisi institusi Polri langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab menjaga keamanan dan ketertiban dengan melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum.

“Sedangkan poin kedua adalah pengangkatan Kapolri merupakan wewenang Presiden dengan persetujuan DPR,” imbuh Habib.

Ia menyebut kedua poin tersebut merupakan koreksi dari praktik di era Orde Baru yang memosisikan polisi sekadar menjadi aparatur represif kekuasaan. Selain itu, juga memperkuat mekanisme check and balance antara lembaga eksekutif dan legislatif.

Namun, permasalahannya, menurut Habib, aturan hukum utama yang menjadi panduan Polri dalam menjalankan tugas, yakni KUHAP lama tidak mengalami perubahan sama sekali walaupun era reformasi telah bergulir nyaris 30 tahun.

“Undang-Undang Polri yang dibentuk tahun 2002 pun belum mengatur secara maksimal dua poin amanat reformasi. Situasi ini jelas menyulitkan Polri untuk mereformasi diri,” ucap dia menambahkan.

Oleh sebab itu, ia bersyukur KUHAP baru yang sebelumnya telah disetujui oleh DPR dan disahkan oleh Presiden Prabowo Subianto akan diberlakukan mulai tahun depan.

“Alhamdulillah dengan kerja sama yang baik antara DPR dan Presiden, akhirnya kita akan memberlakukan KUHAP baru yang sangat reformis,” ucapnya.

Habib meyakini pemberlakuan KUHAP baru menjadi langkah awal reformasi kepolisian, khususnya melalui jalur konstitusi. Bersamaan dengan itu, ia mengatakan Komisi III DPR RI akan merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

“Hal lain yang akan menjadi poin revisi Undang-Undang Polri adalah pembaruan soal usia pensiun yang disesuaikan dengan pengaturan serupa di Undang-Undang Kejaksaan dan Undang-Undang TNI,” katanya.

“Secara umum, Komisi III akan mengeluarkan rekomendasi soal percepatan reformasi Polri berdasarkan masukan masyarakat,” imbuh dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Waka DPR Dorong Akselerasi Implementasi MBG di Madrasah dan Pesantren

Jakarta, aktual.com – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Singgih Januratmoko mendorong akselerasi implementasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) di madrasah dan pesantren.

Singgih dalam keterangannya di Jakarta, Senin (22/12), menyebut bahwa berbagai data menunjukkan bahwa masalah gizi masih menjadi tantangan serius nasional.

“Prevalensi stunting anak Indonesia memang menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir, namun masih berada pada angka yang memerlukan intervensi berkelanjutan dan terintegrasi,” katanya.

Ia memandang pesantren sebagai ekosistem strategis pembinaan generasi bangsa. Menurut data Kementerian Agama RI 2025 terdapat lebih dari 42,391 pesantren dengan jumlah santri sekitar 4,3 juta santri di seluruh Indonesia.

Maka dari itu, lingkungan pesantren dengan karakteristik asrama dan pengelolaan konsumsi yang terpusat, merupakan lokus yang sangat tepat sekaligus strategis untuk implementasi program gizi berkelanjutan.

“Pesantren bukan hanya pusat pendidikan keagamaan, tetapi juga pusat pembentukan karakter dan sumber daya manusia. Program MBG harus dirancang adaptif untuk pesantren, baik dari sisi menu, sistem distribusi, maupun pengelolaan dapur sehat berbasis pesantren,” ucapnya.

Untuk mendorong penguatan implementasi program MBG, khususnya di lingkungan madrasah dan pesantren, Singgih menyarankan sinergisitas dan integrasi data antara Kementerian Kesehatan, Badan Gizi Nasional (BGN) dengan Kementerian Agama dalam memetakan dan mengintegrasikan data penerima MBG secara lebih akurat.

“Data-data ini mencakup jumlah santri, kondisi dapur, kebutuhan gizi secara spesifik sehingga penyaluran MBG bisa lebih tepat sasaran,” ujarnya.

Legislator dari Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan agama, sosial, dan pemberdayaan masyarakat itu juga menyarankan perlunya model penyaluran MBG yang lebih adaptif di lingkungan sekolah madrasah dan pesantren dengan menyesuaikan kultur dan kapasitas pesantren.

“Selain paket kemasan, juga perlu dipertimbangkan model dapur pesantren dengan pendampingan ahli gizi, supply chain (rantai pasokan), bahan pangan lokal, serta edukasi gizi bagi pengelola dapur,” katanya.

Dengan kolaborasi semua pihak, menurutnya, program ini akan berkontribusi besar dalam mewujudkan generasi Indonesia yang lebih sehat, cerdas, dan berakhlak mulia.

“Kami di Komisi VIII akan terus mengawal agar anggaran dan pelaksanaan MBG ini tepat sasaran. Semangatnya satu, yaitu tidak boleh ada anak atau santri yang tertinggal dalam mendapatkan akses gizi berkualitas,” ucapnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Pramono Targetkan UMP Selesai Dibahas Malam Ini

Jakarta, aktual.com – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo menargetkan pembahasan terkait Upah Minimum Provinsi (UMP) bisa rampung hari ini sehingga dapat segera resmi diumumkan kepada masyarakat.

“Sekarang sedang dilakukan pembahasan untuk itu, mudah-mudahan hari ini selesai Karena saya juga memberikan batasan bahwa kalau bisa selesai pada hari ini,” kata Pramono saat dijumpai di Balai Kota, Senin (22/12).

Pramono mengatakan, hari ini pembahasan yang terakhir akan dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebagai penengah antara para pengusaha dan buruh.

Pramono menjelaskan pembahasan itu juga akan mengacu sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 sebagai acuan pedoman di dalam pembahasan untuk penentuan UMP.

“Di dalam UMP yang telah diterapkan sesuai dengan PP tersebut, besarannya adalah 0,5 sampai dengan 0,9. Tarik-menarik pasti terjadi,” ungkap Pramono.

Kendati demikian, Pramono mengatakan Pemerintah Jakarta akan bersikap adil terhadap pengusaha maupun buruh.

Sebelumnya, Pramono sempat menjanjikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan mengumumkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 lebih cepat dari target pemerintah pusat.

Pramono meyakini, Jakarta bisa mengumumkan besaran UMP 2026 lebih cepat. Namun, ia tidak merinci kapan tepatnya hal itu akan resmi diumumkan.

Selain itu, Pramono juga memastikan bahwa UMP 2026 akan naik. “Pasti ada kenaikan. Karena ‘alpha’-nya ada ‘range’-nya, tinggal disesuaikan dengan inflasi, pertumbuhan ekonomi dan sebagainya,” kata Pramono.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

BGN Tegaskan MBG Siswa Tak Dikirim ke Rumah saat Libur Sekolah

Siswa mengembalikan ompreng makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SMP Negeri 13 Depok, Jawa Barat, Senin (6/10/2025). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU
Siswa mengembalikan ompreng makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SMP Negeri 13 Depok, Jawa Barat, Senin (6/10/2025). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU

Jakarta, aktual.com – Badan Gizi Nasional (BGN) menegaskan tidak akan menyalurkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi siswa dengan skema pengantaran langsung ke rumah selama masa libur sekolah. Penegasan ini disampaikan Wakil Kepala BGN, Nanik Sudaryati Deyang, menanggapi wacana delivery MBG yang sebelumnya disebut sebagai salah satu opsi.

“MBG untuk siswa tidak diantarkan ke rumah-rumah. Saya ulang MBG tidak diantara ke rumah-rumah,” ujar Nanik kepada wartawan, Senin (22/12/2025).

Nanik menjelaskan, mekanisme pengantaran ke rumah hanya diberlakukan bagi tiga kelompok sasaran, yakni ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita. Adapun untuk siswa sekolah, penyaluran MBG tetap dilakukan melalui sekolah, dengan catatan pihak sekolah bersedia menerima distribusi makanan tersebut.

“Yang untuk siswa diantar ke sekolah dengan catatan sekolah memang mau menerima MBG,” kata Nanik.

Ia menegaskan, penyaluran MBG di masa libur sekolah tidak bergantung pada permintaan siswa maupun orang tua. Menurutnya, hal tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak gizi anak.

“Ini masalah tanggungjawab BGN bahwa gizi adalah hak anak Indonesia, sehingga kita terus menyediakan meski libur. Nah berapa (sekolah) yang mau ambil (MBG di masa libur sekolah), beda-beda masing-masing sekolah,” sambungnya.

Sebelumnya, BGN menyatakan telah menyiapkan sejumlah alternatif penyaluran MBG selama masa libur sekolah. Kepala BGN Dadan Hindayana memastikan program MBG untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan balita tetap berjalan normal.

“Untuk ibu hamil, ibu menyusui dan anak balita seperti biasa. Untuk Anak sekolah, masing-masing SPPG perlu melakukan inventarisasi berapa banyak dan berapa sering anak-anak bersedia ke sekolah,” kata Dadan saat dikonfirmasi, Minggu (21/12/2025).

Dadan menjelaskan, pada awal masa libur sekolah siswa akan menerima menu siap santap seperti telur, buah, susu, abon, atau dendeng, dengan durasi maksimal empat hari.

“Untuk sisa hari, jika siswa bersedia datang ke sekolah dibagikan ke sekolah, jika tidak, perlu mulai didata mekanisme delivery ke rumah-rumah atau diambil di SPPG,” ucapnya.

“Kita sedang rancang sistem delivery setelah 4 hari libur,” tambah Dadan.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Berita Lain