25 Desember 2025
Beranda blog Halaman 56

KPK Kejar Skandal EDC BRI, Eks Pejabat Diperiksa, Kerugian Negara Dibongkar

Ilustrasi ECD BRI. Aktual/HO

Jakarta, aktual.com – Gempuran penyidikan KPK terhadap skandal dugaan korupsi pengadaan mesin EDC BRI kian mengerucut. Terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa eks Kepala Bagian Group Distribution Channel Platform Development Kantor Pusat BRI, Fajar Ujian Sudrajat, pada Senin, 8 Desember 2025.

Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan pemeriksaan Fajar merupakan bagian dari upaya mendalami penghitungan potensi kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Pemeriksaan BRI masih seputar kebutuhan untuk penghitungan kerugian negaranya oleh BPK,” ujar Budi dalam keterangannya, Rabu, 10 Desember 2025.

Langkah ini menambah babak baru penyidikan setelah sebelumnya KPK lebih dulu memeriksa mantan Direktur PT Pasifik Cipta Solusi (PCS), Elvizar, pada Kamis, 16 Oktober 2025. Pemeriksaan terhadap Elvizar disebut untuk menelusuri keuntungan perusahaan serta aliran-aliran uang dari proyek pengadaan EDC kepada sejumlah pihak di lingkungan BRI.

“Saksi didalami terkait dugaan aliran-aliran uang kepada pihak-pihak di BRI,” kata Budi.

Kasus pengadaan mesin EDC BRI tahun 2020–2024 telah menyeret lima orang sebagai tersangka, diantaranya, Catur Budi Harto, mantan Wakil Direktur Utama BRI, Indra Utoyo, mantan Direktur Digital, TI, dan Operasi BRI, Elvizar, Direktur Utama PT Pasifik Cipta Solusi, Dedi Sunardi, SEVP Manager Aktiva dan Pengadaan BRI, Rudy Suprayudi Kartadidjaja, Direktur Utama PT Bringin Inti Teknologi

Kelima tersangka tersebut diduga memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara yang sangat besar, yakni Rp744.540.374.314 (Rp744,5 miliar), berdasarkan perhitungan metode real cost.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor dan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, yang menjerat tindak pidana korupsi dan perbuatan bersama.

Dengan pemeriksaan demi pemeriksaan yang makin mengerucut, KPK disebut tengah memetakan aliran dana lebih detail, termasuk kemungkinan adanya pihak lain yang turut menikmati proyek raksasa ini.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano

Ekonom Warning: Merger BUMN Percuma Bila Tata Kelola Masih Selemah PT PP

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur (kiri), Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Galau D. Muhammad (tengah) dan Kepala Perencanaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Tubagus Soleh Ahmad (kanan) saat diskusi aktual forum bertajuk “Evaluasi Setahun Prabowo-Gibran: Menakar Kebijakan Ekonomi, Hukum, Politik, dan Lingkungan” yang diselenggarakan oleh aktual.com, di Café Hartaka, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (25/10). Aktual/TINO OKTAVIANO

Jakarta, aktual.com – Wacana perampingan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali menjadi sorotan publik. Gagasan ini dipandang sebagai salah satu langkah strategis untuk mendorong efisiensi dan memperkuat nilai jangka panjang perusahaan-perusahaan pelat merah.

Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Galau D Muhammad, menilai konsolidasi memang dibutuhkan mengingat portofolio BUMN saat ini sudah terlalu tersebar dan menimbulkan berbagai ketidakefisienan. Meski demikian, ia menekankan bahwa persoalan utama tidak berhenti pada jumlah entitas yang hendak dipangkas.

Menurutnya, sekadar mengurangi jumlah perusahaan dari 1000 menjadi 200 tidak akan menyelesaikan akar masalah yang sebenarnya. “Yang jauh lebih penting adalah memastikan governance reform, jadi perbaikan tata kelola, adanya transparansi secara aliran keuangan, serta pembatasan intervensi politik dalam keputusan BUMN,” ujar Galau.

Ia menjelaskan bahwa pembenahan tata kelola justru menjadi fondasi yang harus diperkuat terlebih dahulu. Setiap BUMN, kata dia, perlu memiliki proses internal yang lebih prudent agar tidak berulang kali tersandung persoalan.

Jika konsolidasi hanya difokuskan pada merger, maka persoalan mendasar justru akan tetap muncul. Kasus dugaan proyek fiktif yang menyeret PT Pembangunan Perumahan (PP) menjadi contoh nyata.

Galau menyebut akar persoalannya terletak pada lemahnya mekanisme internal, disiplin kerja, serta pengawasan yang tidak berjalan secara optimal. Kondisi tersebut diperburuk oleh kualitas audit yang dinilai belum memadai, serta budaya kepatuhan hukum yang sering dimanipulasi.

Ia menegaskan bahwa munculnya moral hazard di beberapa BUMN, baik yang memiliki portofolio jelas maupun yang terlibat proyek fiktif, telah memperburuk citra perusahaan negara. “Jadi ini kan memperlemah reputasi daripada BUMN secara keseluruhan,” jelasnya.

Dengan situasi yang semakin kompleks, ia menilai reformasi berbasis manajemen risiko perlu segera dilakukan. Pemerintah harus memetakan BUMN yang memiliki prospek cerah dan yang terindikasi memiliki potensi krisis ke depan.

Pemetaan ini juga harus dibarengi dengan penguatan independensi perusahaan, termasuk penghentian praktik bagi-bagi kursi komisaris. Menurutnya, BUMN harus diberi ruang untuk beroperasi secara profesional tanpa intervensi politik.

Galau juga menilai dampak kasus PT PP cukup besar bagi dunia usaha, terutama bagi lembaga keuangan dan pemegang obligasi. “Signal efeknya tidak kecil kalau kita lihat bagaimana investor terutama lembaga keuangan dan mereka yang memiliki obligasi itu juga merespon dengan sangat jauh,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa ketika BUMN konstruksi seperti PT PP menghadapi utang jatuh tempo yang besar sementara arus kasnya negatif, efeknya langsung terasa pada ekosistem bisnis. Keterlambatan pembayaran proyek pemerintah memicu rantai permasalahan baru di sektor konstruksi maupun industri pendukung lainnya.

“Ini bukan hanya tentang kerugian nominal, tapi secara ekosistem bisnis yang terlibat, berkaitan dengan sektor-sektor yang menghadapi berbagai penyimpangan, itu juga akan mengalami adanya tekanan investor yang sangat signifikan,” tambahnya.

Galau menambahkan bahwa pemerintahan baru harus fokus pada perbaikan tata kelola agar BUMN tidak terus terbebani berbagai program pemerintah yang tidak selaras dengan mandat bisnis perusahaan. “Jadi mindset-nya harus berubah. Sekarang Pak Prabowo ingin Indonesia menjadi Cina, tapi progres industri di Cina itu sama sekali tidak mencampur-adukkan antara intervensi politik di ranah ekonomi dan bisnis,” tutupnya.

Kinerja PT PP sendiri tengah menghadapi tekanan. Sepanjang sembilan bulan pertama 2025, laba bersih PTPP turun drastis menjadi Rp 5,55 miliar, anjlok 97,92% dari periode yang sama tahun lalu.

Penurunan ini dipicu merosotnya pendapatan menjadi Rp 10,73 triliun per September 2025, turun 23,33% dari tahun sebelumnya. Corporate Secretary PTPP, Joko Raharjo, mengatakan pendapatan kuartal III 2025 baru mencapai 61,81% dari target RKAP.

“Hal ini karena pemasaran yang ditargetkan belum tercapai sehingga penjualan dari proyek baru belum maksimal, serta adanya efisiensi pada proyek carry over sehingga burning tidak sesuai RKAP,” ujarnya, beberapa waktu lalu.

Nilai kontrak baru yang dikantongi PTPP pada kuartal III 2025 mencapai Rp 16,88 triliun, namun pencapaian itu tetap lebih rendah dibanding tahun lalu. Di saat bersamaan, perusahaan kembali digugat pailit oleh sejumlah subkontraktor.

PT Atap Perkasa menagih utang Rp 4,03 miliar, sementara CV Citra Pratama menggugat Rp 6 miliar terkait utang KSO PP-Urban. Gugatan pailit terhadap PT PP bukan yang pertama.

Pada September 2025, PT Stahlindo Jaya Perkasa dan PT Sinar Baja Prima juga mengajukan permohonan serupa dengan nilai masing-masing Rp 1,9 miliar dan Rp 1,04 miliar. Keduanya merupakan subkontraktor untuk proyek struktur baja Museum Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi..

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

OJK Siapkan Keringanan Kredit untuk Debitur Terdampak Bencana Sumatera

Jakarta, Aktual.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan kebijakan khusus untuk mempercepat restrukturisasi kredit bagi debitur yang terdampak bencana Sumatera di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Kebijakan ini menjadi langkah strategis OJK dalam menjaga stabilitas sektor keuangan sekaligus mempercepat pemulihan ekonomi di wilayah bencana.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan kebijakan tersebut telah disetujui dalam rapat Dewan Komisioner pada 10 Desember 2025. Ia menekankan pentingnya intervensi regulasi agar dampak bencana tidak menimbulkan tekanan lanjutan pada sistem keuangan nasional.

“Perlakuan khusus ini dilakukan untuk mengurangi dampak sistemik dari bencana dan membantu percepatan pemulihan ekonomi di daerah terdampak,” kata Mahendra dalam konferensi pers, Kamis (11/12/2025).

Dalam kebijakan ini, OJK memberikan relaksasi penilaian kualitas kredit hingga plafon Rp10 miliar dengan acuan ketepatan pembayaran satu pilar. Kredit yang direstrukturisasi tetap dapat dikategorikan lancar, baik sebelum maupun sesudah bencana.

Langkah ini dirancang untuk menahan kenaikan kredit bermasalah (NPL), menjaga likuiditas lembaga keuangan, serta mempertahankan kelangsungan pembiayaan di wilayah terdampak bencana Sumatera.

OJK juga memberi kelonggaran penyaluran pembiayaan baru bagi debitur terdampak. Penetapan kualitas kredit dilakukan secara terpisah tanpa menerapkan sistem one obligor. Aturan ini berlaku tiga tahun guna memastikan pemulihan ekonomi lokal tidak terhambat oleh kendala perbankan.

Pada sektor fintech lending (LPBBTI), OJK memperbolehkan restrukturisasi kredit dengan syarat mendapatkan persetujuan pemberi dana.
“Restrukturisasi dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari pemberi dana, khususnya untuk pinjaman daring,” tegas Mahendra.

OJK juga menginstruksikan perusahaan asuransi dan reasuransi untuk mengaktifkan mekanisme tanggap bencana serta mempercepat proses klaim, mengingat banyak aset produktif masyarakat rusak akibat bencana.

Untuk mengurangi beban operasional lembaga keuangan, batas pelaporan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) diperpanjang dari 12 Desember menjadi 30 Desember 2025.
“Relaksasi ini bertujuan agar pelaporan tetap berjalan tanpa menambah beban pada lembaga keuangan yang terdampak,” ujar Mahendra.

Dengan fokus pada OJK, restrukturisasi kredit, dan penanganan bencana Sumatera, kebijakan ini diharapkan mempercepat pemulihan ekonomi dan menjaga stabilitas sektor keuangan.

(Nur Aida Nasution)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

Ketika Negara Gagap di Tengah Bencana Sumatera: Saatnya Merancang Amandemen Kelima UUD 1945

Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Rinto Setiyawan. FOTO: Ist

Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute)

Jakarta, aktual.com – Setiap kali bencana besar melanda Sumatera—banjir yang menelan kampung, longsor yang memutus jalan, asap yang menyesakkan napas sampai berbulan-bulan—kita menyaksikan pola yang hampir selalu sama. Rakyat bergerak duluan: saling mengungsi, membuka dapur umum, menggalang donasi. Negara datang belakangan, sering kali dengan narasi yang itu-itu saja: koordinasi, verifikasi, keterbatasan anggaran, dan perdebatan teknis soal status bencana.

Pertanyaan yang seharusnya kita ajukan hari ini bukan lagi, “Mengapa negara lambat?”

Pertanyaannya sudah naik kelas: “Ada yang salah apa dengan desain tata negara kita, sampai negara terus-menerus gagap ketika rakyat berada di titik paling rentan?”

Bencana Sumatera hanyalah gejala. Penyakit sesungguhnya ada di hulu: arsitektur kekuasaan yang dibangun oleh perubahan UUD 1945 pasca-reformasi, yang belum selesai dan belum sepenuhnya memulihkan kedaulatan rakyat. Karena itu, pembahasan tentang Amandemen Kelima UUD 1945 bukanlah wacana elitis di ruang seminar, melainkan kebutuhan mendesak yang menyangkut nyawa, tanah, dan masa depan jutaan warga.

Bencana yang Berulang, Negara yang Tidak Pernah Belajar

Sumatera adalah laboratorium terbuka dari kegagalan kita membaca risiko dan belajar dari pengalaman. Setiap beberapa tahun, bencana besar kembali datang. Kita selalu menyebutnya “musibah”, “cuaca ekstrem”, atau “fenomena alam”. Jarang sekali negara secara tegas mengakui bahwa banyak bencana itu adalah hasil akumulasi keputusan politik dan ekonomi: pembukaan hutan tanpa kendali, izin tambang yang agresif, tata ruang yang tunduk pada modal, dan abainya penegakan hukum.

Di saat yang sama, ketika skala kerusakan sudah melampaui kemampuan daerah, pemerintah pusat terlihat ragu untuk menetapkan status bencana nasional. Seolah-olah label ini adalah pengakuan dosa yang harus dihindari. Padahal, secara normatif, status tersebut adalah instrumen untuk mengaktifkan tanggung jawab penuh negara: mobilisasi anggaran nasional, operasi lintas kementerian, dan pembukaan akses bantuan internasional.

Keraguan ini melahirkan situasi abu-abu: daerah kewalahan, pusat berhitung, rakyat menunggu. Negara seperti kehilangan kompas. Pertanyaannya: mengapa keputusan yang menyangkut keselamatan jutaan orang begitu mudah tersandera kalkulasi politik?

Jawabannya ada pada desain tata negara yang membiarkan kedaulatan rakyat terperangkap di antara partai politik, birokrasi yang terfragmentasi, dan sistem pengambilan keputusan yang jauh dari mereka yang terdampak langsung.

Kedaulatan Rakyat yang Hanya Hidup di Atas Kertas

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Namun, praktik politik selama puluhan tahun menunjukkan hal lain: rakyat lebih sering menjadi objek kebijakan ketimbang subjek kedaulatan.

Dalam urusan yang berkaitan langsung dengan bencana—seperti tata ruang, perizinan lingkungan, tata kelola hutan dan tambang—keputusan ada di tangan kombinasi aktor: pemerintah pusat, pemerintah daerah, partai politik, dan korporasi besar. Warga yang tinggal di sekitar sungai, lereng bukit, dan kawasan hutan jarang sekali benar-benar terlibat dalam pengambilan keputusan. Mereka baru “dihitung” setelah menjadi korban.

Amandemen UUD pasca-1998 memang memperkuat beberapa aspek demokrasi prosedural, tetapi belum menyentuh desain representasi rakyat dalam isu-isu strategis yang menyangkut ruang hidup dan lingkungan. Di titik inilah kita melihat jurang menganga antara “rakyat sebagai pemilik kedaulatan” dan “rakyat sebagai korban kebijakan”.

Bencana Sumatera menguak dengan telanjang jurang tersebut:

negara bisa dengan cepat menerbitkan izin, tetapi bisa begitu lambat mengakui kesalahan tata kelola ketika bencana datang.

Sengkarut Lembaga dan Kewenangan di Tengah Darurat

Penanganan bencana selalu menyentuh banyak sektor: lingkungan hidup, kehutanan, energi, pekerjaan umum, kesehatan, sosial, keuangan negara, hingga aparat keamanan. Namun lembaga-lembaga ini kerap bekerja seperti pulau-pulau yang berdiri sendiri. Koordinasi bergantung pada figur, bukan pada desain sistem.

Ketika bencana di Sumatera meluas, muncul beberapa persoalan mendasar:

1. Siapa sebenarnya pemegang komando tertinggi dalam keadaan darurat bencana lintas provinsi?

Di level regulasi, ada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada kementerian teknis, ada pemerintah daerah. Namun di lapangan, garis komando ini sering kabur. Kepala daerah meminta status dinaikkan, kementerian menunggu kajian, pusat berhitung dampak politik dan fiskal.

2. Status bencana nasional menjadi keputusan politis, bukan mekanisme otomatis berbasis indikator.

Seharusnya, ketika parameter tertentu—luas wilayah terdampak, jumlah korban, kerusakan infrastruktur, dan ketidakmampuan daerah—telah terpenuhi, status nasional berjalan sebagai konsekuensi logis. Faktanya, proses ini kerap tertahan di meja-meja rapat.

3. Pertanggungjawaban atas kebijakan sebelum bencana tidak pernah jelas.

Izin tambang, konsesi hutan, dan perubahan tata ruang yang berkontribusi pada kerentanan bencana jarang sekali ditarik garis lurus dengan kerusakan yang dihadapi warga. Negara lebih fokus pada bantuan logistik ketimbang mengurai rantai sebab-akibat kebijakan.

Semuanya bermuara pada satu kesimpulan: struktur lembaga negara yang sekarang tidak dirancang untuk bertindak cepat dan bertanggung jawab penuh ketika nyawa rakyat terancam oleh bencana yang bersifat sistemik.

Bencana sebagai Tes Konstitusional, Bukan Sekadar Musibah

Selama ini, bencana cenderung ditempatkan sebagai urusan teknis penanggulangan, seolah cukup diselesaikan lewat prosedur administratif dan logistik. Padahal, dalam perspektif ketatanegaraan, bencana adalah tes konstitusional.

Di sinilah kita menguji:

• Apakah negara benar-benar menempatkan perlindungan rakyat sebagai tujuan utama?

• Apakah hak atas lingkungan yang baik dan sehat, yang disebut dalam berbagai peraturan, hadir sebagai kenyataan, bukan sekadar frasa normatif?

• Apakah rakyat punya sarana untuk menuntut kebenaran dan pertanggungjawaban ketika bencana ternyata bukan “takdir alam”, melainkan buah dari kebijakan yang serampangan?

Jika setiap kali bencana Sumatera terjadi, negara kembali lambat, tertutup, dan defensif, maka persoalan kita bukan lagi sekadar kapasitas birokrasi. Kita sedang berhadapan dengan keterbatasan desain konstitusi yang membiarkan kekuasaan besar berjalan tanpa cukup mekanisme akuntabilitas dan partisipasi rakyat.

Amandemen Kelima: Mengubah Cara Negara Hadir di Tengah Bencana

Di titik inilah gagasan Amandemen Kelima UUD 1945 menjadi relevan dan mendesak. Bukan untuk mengulang kekacauan politik masa lalu, tetapi untuk menyempurnakan desain ketatanegaraan agar:

• kedaulatan rakyat benar-benar hidup,

• pertanggungjawaban kekuasaan lebih jelas,

• dan negara tidak lagi gagap ketika berhadapan dengan bencana besar.

Beberapa arah pembenahan yang dapat menjadi bahan perenungan:

1. Memperkuat kanal kedaulatan rakyat di luar partai politik

Kita perlu memikirkan bentuk representasi rakyat yang tidak sepenuhnya dimonopoli partai. Dalam konteks kebijakan strategis terkait ruang hidup, lingkungan, dan bencana, kelompok-kelompok warga terdampak, komunitas adat, dan organisasi masyarakat sipil harus diberi posisi lembaga yang jelas dalam struktur negara.

Ini tidak cukup diatur lewat UU biasa yang mudah berubah. Jaminan konstitusional diperlukan agar suara mereka tidak mudah disingkirkan oleh koalisi politik dan ekonomi jangka pendek.

2. Menata ulang arsitektur kedaruratan bencana lintas daerah

Konstitusi dapat memberikan prinsip dasar yang lebih tegas, misalnya:

• Negara wajib mengumumkan status tertentu ketika indikator objektif telah terpenuhi, tanpa menunggu kalkulasi politik.

• Dalam keadaan bencana skala besar, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk membuka data, mengundang partisipasi publik, dan membentuk mekanisme independen untuk menelusuri penyebab bencana serta merekomendasikan koreksi kebijakan.

Dengan begitu, status bencana nasional tidak lagi menjadi “kartu yang dihemat”, tetapi bagian dari mekanisme normal sebuah negara yang menghormati nyawa warganya.

3. Menjamin hak atas kebenaran dan pemulihan

Amandemen Kelima juga dapat menegaskan hak rakyat atas kebenaran dalam setiap bencana besar: kebenaran tentang apa yang terjadi, siapa yang mengambil keputusan, dan bagaimana kebijakan akan diperbaiki. Hak ini menjadi dasar lahirnya:

• kewajiban negara melakukan audit kebijakan,

• kewajiban membuka akses informasi,

• dan kewajiban menyediakan jalur hukum yang realistis bagi warga untuk menggugat negara maupun pelaku usaha.

Dari Sumatera untuk Indonesia: Jangan Lagi Menormalkan Bencana

Bencana di Sumatera tidak boleh lagi dilihat sebagai “rutinitas tahunan” yang cukup dijawab dengan bantuan sembako dan tenda pengungsian. Ia adalah alarm keras bahwa cara kita bernegara sedang bermasalah.

Selama konstitusi membiarkan:

• kedaulatan rakyat direduksi menjadi suara lima tahunan,

• tata kelola lingkungan tunduk pada transaksi jangka pendek,

• dan penanganan bencana bergantung pada keberanian politis sesaat,

maka bencana berikutnya hanya soal waktu.

Karena itu, diskusi tentang Amandemen Kelima UUD 1945 harus kita tarik keluar dari ruang akademik yang sempit dan kita letakkan di tengah percakapan publik: di media, di forum warga, di organisasi masyarakat sipil. Pertanyaannya bukan lagi, “Apakah kita siap mengubah UUD?”

Pertanyaan yang lebih jujur adalah:

“Berapa banyak lagi bencana dan nyawa yang harus kita biarkan jadi korban sebelum kita berani membenahi cara negara ini diatur?”

Sumatera sudah berkali-kali mengirimkan pesan. Saatnya negara berhenti gagap, berhenti bersembunyi di balik istilah teknis, dan berani mengakui bahwa akar persoalannya ada pada desain kekuasaan itu sendiri.

Dan di situlah Amandemen Kelima UUD 1945 menemukan urgensi paling konkretnya:

bukan sebagai proyek elitis, tetapi sebagai ikhtiar kolektif untuk memastikan bahwa ketika bencana datang, negara hadir bukan sekadar dengan slogan dan kunjungan singkat—melainkan dengan struktur dan tanggung jawab yang benar-benar berpihak pada rakyat.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

ID COMM: Pasar Mobil Listrik RI Berpotensi Stagnan, Daya Beli Jadi Rem Utama

Jakarta, Aktual.com — Lonjakan penjualan mobil listrik dalam tiga tahun terakhir dinilai belum cukup menandai pelebaran pasar yang sehat. ID COMM menilai pertumbuhan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di Indonesia berpotensi stagnan, terutama karena daya beli konsumen yang masih lemah dan struktur pasar otomotif yang belum berubah signifikan.

Research Associate ID COMM, Claudius Surya atau Audi, mengatakan adopsi mobil listrik selama ini masih dikendalikan kelompok konsumen menengah atas. “Daya beli orang-orang di Indonesia ini masih cukup rendah,” ujar Audi, Kamis (11/12/2025). Menurutnya, sebagian besar pembeli EV adalah early adopters yang memiliki preferensi gaya hidup, bukan konsumen rata-rata yang kini masih sensitif terhadap harga.

Data Gaikindo menunjukkan penjualan battery electric vehicle (BEV) meningkat dari 15.318 unit pada 2023 menjadi 43.188 unit pada 2024. Dalam delapan bulan 2025, penjualan kembali naik menjadi 51.191 unit. Namun di tengah tren positif tersebut, Audi menilai pasar EV secara struktural tidak melebar ke segmen berpendapatan menengah yang menjadi fondasi industri otomotif nasional.

Hal ini berkaitan dengan daya beli masyarakat yang stagnan di tengah tekanan ekonomi makro. Kenaikan harga barang kebutuhan, perlambatan pertumbuhan ekonomi, serta beban kredit rumah dan konsumsi membuat alokasi pembelian kendaraan baru semakin terbatas. “Kalau kita mau buat mobil listrik makin grow, mobil listrik yang sekarang 190 juta itu harus dianggap sebagai disposable, yang dibuang aja,” ujar Audi. Ia menilai konsumen baru bisa memandang EV sebagai pilihan rasional bila memiliki kemampuan belanja minimal Rp250–300 juta.

Audi memperkirakan pasar EV akan memasuki fase stagnan saat kelompok konsumen berdaya beli tinggi dan FOMO mencapai titik jenuh. “Begitu semua orang yang FOMO ini sudah nyampe level ini semua, ya sudah, penjualannya stagnan,” jelasnya. Ia memproyeksikan stagnasi dapat terjadi saat penetrasi EV menyentuh 20 persen dari total penjualan mobil nasional.

Dari sisi otomotif, tantangan lain adalah keterbatasan pasar di luar Jakarta dan Jabodetabek. Dua wilayah ini menyumbang 40–50 persen total penjualan mobil nasional. Jika adopsi EV tidak meluas ke kota tingkat dua dan tiga, industri akan kesulitan menembus skala produksi yang ekonomis. Dengan pasar nasional sekitar 800 ribu unit per tahun, penetrasi stabil membutuhkan minimal 350–400 ribu unit EV tahunan. “Tapi apakah bisa naik jadi 350 ribu, time will tell,” kata Audi.

Terkait dihentikannya insentif impor CBU EV, Audi menilai dampaknya tidak signifikan karena mayoritas model kini berstatus CKD. “Tapi narasinya mungkin ke banyak orang akan bikin khawatir,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

KLH Perketat Keamanan usai Pekerja PT PMT Curi Besi 200 Kg Tercemar Radiasi Nuklir

Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) RI melakukan penyegelan yang dilakukan di PT Peter Metal Technology Indonesia (PMT) guna mencegah risiko pencemaran radioaktif di Kabupaten Serang, Kamis (11/9/2025). ANTARA/HO-KLH.
Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) RI melakukan penyegelan yang dilakukan di PT Peter Metal Technology Indonesia (PMT) guna mencegah risiko pencemaran radioaktif di Kabupaten Serang, Kamis (11/9/2025). ANTARA/HO-KLH.

Jakarta, Aktual.com – Empat pekerja PT Peter Metal Technology (PMT) mencuri besi seberat 200 kilogram (kg) yang tercemar radiasi nuklir Cesium-137. Tiga petugas security, dan satu operator forklift PT PMT mencuri barang bukti radiasi nulkir yang tersimpan sementara di gudang penyimpanan PT PMT, Kawasan Industri Modern Cikande, Serang, Banten.

Deputi Bidang Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Irjen Polisi Rizal Irawan menyatakan akan memperketat pengamanan di area interim storage PT PMT usai kasus pencurian tersebut. Ia menegaskan, pengamanan gudang kini tidak lagi diserahkan kepada petugas internal perusahaan.

“Pengamanan sekarang tidak lagi diserahkan kepada satpam internal karena justru satpam terlibat dalam pencurian. Mulai sekarang pengamanan diambil alih sepenuhnya oleh Polda Banten melalui Polres Serang,” katanya, Kamis (11/12/2025).

Koordinasi dengan Gegana Brimob juga dilakukan untuk menentukan titik aman penempatan personel berdasarkan perhitungan keselamatan radiasi.

Rizal menambahkan, standar operasional prosedur (SOP) baru telah disiapkan untuk memastikan wilayah penyimpanan hanya dapat diakses petugas resmi Satgas Cesium-137.

“Kami sudah berkoordinasi dengan Polres dan Gegana Brimob. Nantinya akan ditempatkan personel di area PT PMT dengan memperhitungkan parameter keselamatan,” ujarnya.

Selain penjagaan personel, KLH memasang garis polisi di sejumlah titik strategis sekitar gudang penyimpanan. Setiap pergerakan orang dan barang kini wajib dicatat dalam buku register harian.

“Seluruh keluar masuk barang maupun orang akan dicatat. Hanya pihak yang berkepentingan atau petugas Satgas Cesium-137 yang diizinkan masuk,” tambah Rizal.

KLH juga menggelar rapat internal dengan Polda Banten untuk mematangkan pola pengamanan menyeluruh, termasuk tata kelola akses, dokumentasi pergerakan barang, serta koordinasi lintas lembaga hingga penentuan lokasi penyimpanan permanen.

Menurut Rizal, gudang di PT PMT adalah gudang penyimpanan sementara. Pemerintah akan membuat gudang permanen untuk menyimpan barang yang terkena radiasi.

“Saat ini barang bukti memang berada di interim storage, yaitu gudang sementara. Nantinya akan ada permanent storage. Hal ini sedang dibahas bersama Bapeten dan BRIN karena mereka memiliki kewenangan terkait penentuan bangunan dan standar penyimpanan,” ucapnya.

Rizal menyebutkan BRIN dan Bapeten masih mencari lokasi yang layak. Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan.

“Ada banyak kriteria yang harus dipenuhi, misalnya tidak berada di zona gempa, tidak berada di wilayah rawan banjir, serta memenuhi persyaratan teknis penyimpanan radionuklida,” katanya.

Besi sempat Dijual ke Lapak Rongsok

Sebelumnya, Kepolisian Resor (Polres) Serang, Banten, menangkap empat orang yang terlibat dalam sindikat pencurian limbah besi terkontaminasi radioaktif Cesium-137 dari sebuah perusahaan di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten.

Kapolres Serang AKBP Condro Sasongko, Rabu (10/12), mengatakan kasus ini melibatkan petugas keamanan perusahaan berinisial SH, MZ, SM, dan operator forklif berinisial RO.

Pelaku mengangkut 200 kg besi dari gudang ke lapak rongsok di Kecamatan Bandung, Serang. Besi tersebut kini sudah dikembalikan ke interim storage PT PMT.

Awalnya, polisi menangkap pelaku berinisial RO (26) pada Senin (8/12). RO merupakan pelaku utama yang membawa keluar limbah besi dari lokasi penyimpanan.

“Dari keterangan RO, polisi menangkap dua sekuriti PT PMT, yakni SA dan MZ, warga Kecamatan Bandung. Keduanya diduga kuat membantu proses pencurian dengan memfasilitasi akses ke area penyimpanan limbah radioaktif,” ucapnya.

Selanjutnya, polisi menangkap penadah berinisial SM (29) di Kecamatan Bandung, Kabupaten Serang. SM memiliki lapak rongsok yang menerima besi curian terkontaminasi radioaktif.

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi

Berita Lain