Manado, Aktual.com – Pakar ekonomi Universitas Sam Ratulangi Manado, Provinsi Sulawesi Utara, Agus Tony Poputra mengatakan langkah pemerintah harus menyentuh faktor-faktor fundamental dalam menangani nilai rupiah yang sejak setahun terakhir terus melemah.

“Sejak 15 Juli 2013, kurs rupiah terhadap dolar tidak pernah kembali ke angka di bawah Rp10.000 per dolar. Bahkan pada 5 Maret 2015 menembus angka Rp13.000 per dolar AS,” kata Agus, di Manado, Senin (15/6).

Bukan tidak mungkin situasi tahun 1998 terulang kembali jika BI dan pemerintah tidak melakukan kebijakan yang substansial untuk mencegahnya, katanya.

Dia mengatakan persiapan pemerintah untuk membentuk Crisis Management Protocol (CMP) dapat saja meredam penurunan rupiah lebih lanjut lewat jalur psikologis. Namun, efektivitasnya tergantung pada persepsi dan respons pelaku pasar uang dan efektvitasnya tidak menetap.

Terdapat berbagai pendapat, katanya, bahwa pelemahan rupiah memberi keuntungan bagi Indonesia karena dapat meningkatkan ekspor. Hal itu benar hanya jika ekspor Indonesia jauh melampaui impor serta ekspor tersebut berupa barang jadi maupun barang intermediate. Namun fakta menunjukan impor Indonesia telah melewati ekspor pada beberapa tahun terakhir.

“Selain itu, ekspor Indonesia kebanyakan berupa komoditas sehingga harganya murah dan sangat fluktuatif. Dengan demikian, besarnya penerimaan ekspor komoditas tidak semata persoalan kurs tetapi juga volatilitas harga,” jelasnya.

Pendapat yang menjustifikasi pelemahan rupiah tersebut kurang mempertimbangkan kepentingan konsumen.

Pelemahan rupiah akan mendorong kenaikan inflasi lewat sisi biaya (cost push inflation) mengingat barang dan jasa impor sudah mendominasi pasar Indonesia. Juga, karena kebanyakan bahan baku diimpor.

“Inflasi lewat sisi biaya juga terjadi dari peningkatan beban keuangan produsen yang memiliki utang luar negeri yang ditranslasikan ke harga jual produk yang lebih tinggi, hal ini berdampak pada tergerusnya daya beli konsumen,” jelasnya.

Stabilisasi rupiah yang hakiki tidak dapat diselesaikan lewat kebijakan yang responsif. Kebijakan tersebut umumnya hanya memberi solusi jangka pendek.

Terdapat beberapa faktor yang membuat rupiah sangat rentan terhadap pengaruh global. Pertama, kurangnya usaha serius pemerintah selama beberapa dekade mendorong produksi barang substitusi impor. Hasilnya tekanan impor semakin deras yang berujung Rupiah semakin terekspos.

Kedua, lambatnya penerapan kebijakan hilirisasi terutama di sektor pertambangan. Ini membuat sumber daya alam terdeplesi luar biasa namun nilai tambah domestiknya sangat kecil. Selain itu, terjadi “export illusion” yang signifikan pada sektor pertambangan yaitu nilai ekspor besar tetapi devisa masuk kecil. Ini membuat Dana Pihak Ketiga perbankan dalam negeri tumbuh lambat serta cadangan devisa tidak meningkat signifikan.

Selama empat tahun terakhir, katanya, cadangan devisa Indonesia hanya berkutat pada 95-124,64 miliar dolar dimana tertinggi sebesar USD 124,64 miliar dicapai pada Agustus 2011.

Angka tertinggi ini sulit dicapai kembali, bahkan Mei 2015 posisinya “hanya” sebesar 110,8 miliar dolar. Jumlah sebesar itu membuat intervensi BI untuk menstabilisasi Rupiah tidak terlalu kuat.

Ketiga, lebih dari 20 tahun pemerintah tidak memberi perhatian serius terhadap kebijakan “local content”. Dampaknya, nilai impor bahan baku semakin meningkat seiring bertambahnya permintaan produk untuk pasar domestik maupun ekspor.

Keempat, meningkatnya perilaku konsumsi barang impor sebagai alat aktualisasi diri sehingga meningkatkan permintaan barang impor. Kondisi ini terjadi karena minimnya kampanye untuk menggunakan produk dalam negeri.

Kelima, penerapan kebijakan devisa yang terlalu bebas. Ini mengakibatkan sulit mengendalikan pergerakan devisa sehingga rupiah menjadi mudah dimainkan.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka